Kamis, 29 Juli 2021

 

Vaksin, Pengetahuan, dan Kebenaran

Arindra Karamoy ;  Program Doktoral FEB Universitas Trisakti

DETIKNEWS, 29 Juli 2021

 

 

                                                           

Banyaknya vaksin yang beredar di masa pandemi ini tentunya adalah berita baik. Sudah banyak kajian dan studi yang menyatakan bahwa vaksin sangat membantu untuk cepatnya imun tubuh muncul dalam menghadapi virus SarsCOV2. Memang tidak membuat tubuh kebal, tapi meringankan gejala jika terinfeksi virus penyebab COVID-19.

 

Di sisi lain, banyaknya jenis vaksin atau lebih tepatnya brand vaksin ini memunculkan perdebatan sendiri. Masing-masing vaksin dibuat dengan metode yang berbeda-beda dan diproduksi oleh negara berbeda pula. Persis di sini muncul perdebatannya.

 

Vaksin A buatan negara X lebih baik dengan efikasi sekian persen. Yang lain berargumen, vaksin B dari negara Y lebih baik karena pembuatannya lebih 'aman'. Berbagai argumen muncul untuk memberikan alasan satu lebih pro dengan satu vaksin ataupun yang kontra. Perdebatannya lama kelamaan bukan lagi di tataran mencari mana yang memang paling baik saat ini --bukan yang terbaik-- tapi menjadi politis bahkan ideologis.

 

Sejauh ini belum ada yang tahu pasti bagaimana menghadapi virus SarsCov2. Yang dapat dilakukan para ilmuwan sekarang adalah membuat kajian, mungkin dilakukan setiap hari dan berubah tiap hari karena akan muncul hasil berbeda tiap saat. Jadi memang belum ada kebenaran tunggal tentang virus ini, begitu juga dengan vaksin. Mungkin tidak akan pernah ada kebenaran tunggal untuk beberapa tahun ke depan terkait vaksin, karena seringnya virus ini bermutasi.

 

Ada masalah epistemologis berkaitan dengan fenomena pasca kebenaran. Kebenaran, yang sekarang memang sulit dicapai dalam menghadapi virus SarsCov2, belum akan hadir dalam waktu dekat. Menurut J. Sudarminta, epistemologi adalah cabang ilmu filsafat sistematik yang secara khusus mengkaji persoalan bersifat umum, menyeluruh, dan mendasar tentang pengetahuan manusia.

 

Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan menemukan ciri-ciri umum dan hakiki serta ruang lingkup pengetahuan manusia; bagaimana pengetahuan itu diperoleh dan diuji kebenarannya --manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui.

 

Epistemologi juga bermaksud secara kritis mengkaji andaian dan syarat-syarat logis yang memungkinkan pengetahuan manusia tentang realitas diperoleh, serta dasar pertanggungjawaban atas klaim kebenaran pengetahuan tersebut.

 

Jadi permasalahan epistemologis dari fenomena virus dan vaksin memang sungguh ada dan nyata, atau bahkan perdebatan yang sering kita tonton dan baca di media memang semuanya berujung kepada gagalnya, atau belum berhasilnya, semua pemangku kepentingan termasuk masyarakat untuk mengetahui. Bahwa pengetahuan tentang virus dan vaksin belum sepenuhnya terang dan jelas. Semua pihak masih mencari.

 

Masih banyak yang perlu dicari untuk menemukan kebenaran tentang virus maupun vaksin, begitu juga dengan pertanggungjawaban akan kebenaran tersebut. Yang bisa kita masing-masing lakukan adalah terus belajar dan berpikiran terbuka tentang virus, vaksin, dan bahkan bagaimana memahami pandemi ini. Biarkan kebenaran tentang vaksin itu nantinya hadir dan memunculkan dirinya sendiri.

 

Lalu, terkait dengan pasca kebenaran, banyak yang mencoba mencari kebenaran tentang virus, vaksin, dan pandemi dengan --secara sadar atau tidak-- mencampurnya dengan emosi. Kamus Oxford mendefinisikan pasca kebenaran berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan pada saat fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan kepercayaan pribadi. Yakni emosi yang muncul dari pengetahuan yang ia yakini kebenarannya tanpa mau mendengarkan argumen orang lain.

 

Jika didalami, bahkan akan samar terbaca adanya bias ideologis. Dapat dijadikan indikator dengan banyaknya kaum anti vaksin, memilih-milih vaksin, konspirasi pandemi, konspirasi hegemoni negara asal vaksin dan virus, dan lain sebagainya. Jika digali lebih jauh, tentunya akan muncul juga masalah kesesatan pikir secara logis terutama dalam menalar informasi-informasi yang dianggap benar.

 

Mungkin fenomena gagalnya (malasnya?) masyarakat luas dalam mempelajari data, informasi, dan pengetahuan secara kritis memang merupakan zeitgeist abad ke-21. Jika demikian, pekerjaan rumah kita masih sangat banyak. Tidak hanya terkait virus, vaksin, dan pandemi, tapi juga berpikir kritis secara umum. Masalah ini dapat diagendakan kemudian, tapi yang paling penting sekarang adalah untuk segera meningkatkan vaksin di seluruh Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar