Sabtu, 24 Juli 2021

 

Kebajikan dalam Prinsip Kedaruratan

Hasanudin Abdurakhman ;  Cendekiawan, penulis

DETIKNEWS, 19 Juli 2021

 

 

                                                           

Salat Idul Adha di seluruh Indonesia dianjurkan untuk dilaksanakan di rumah masing-masing. Sebabnya kita semua sudah tahu, karena sedang berkecamuknya pandemi Covid-19. Indonesia sekarang dalam situasi yang sangat parah, masuk golongan paling parah di dunia. Ini situasi yang sangat genting. Karena itu langkah-langkah yang harus kita ambil juga harus sesuai dengan situasi itu.

 

Salat Idul Adha adalah ibadah sunah yang dalam keadaan normal saja boleh ditinggalkan, apalagi dalam situasi darurat. Sebenarnya pemerintah dan para ulama pun sudah menegaskan bahwa Salat Jumat yang wajib pun untuk sementara ditiadakan. Keputusan itu tentu dibuat dengan pertimbangan sahih, berdasarkan kaidah fiqh. Tidak perlu ada gugatan terhadap keputusan itu.

 

Yang mempermasalahkan sering kali adalah orang-orang yang tidak memakai basis pertimbangan ilmu agama, melainkan hanya memakai rasa. Rasanya tidak enak kalau mengabaikan kewajiban yang diperintahkan Allah. Rasanya seperti ingkar kepada Allah. Padahal tidak ada keingkaran di situ. Memaksa untuk terus berkumpul dan beribadah dengan akibat berupa kemudaratan justru merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dari Allah.

 

Bukan hanya kita yang begitu. Kota Mekkah sebagai pusat peribadatan umat Islam juga menerapkan hal yang sama. Pemerintah Arab Saudi membatasi jumlah jamaah haji, dan sangat membatasi akses ke Masjidil Haram. Praktis tempat suci itu ditutup untuk kegiatan di luar ibadah haji.

 

Fokus kita sekarang adalah menjaga keselamatan diri dan orang lain. Ini pun merupakan perintah Allah. Jangan salah berprinsip, dengan mengatakan bahwa kematian adalah kehendak Allah, lantas orang boleh bersikap sembrono. Kematian adalah takdir Allah, tapi menjaga keselamatan diri dan orang lain adalah kewajiban manusia.

 

Fokus berikutnya adalah membantu orang-orang yang memerlukan. Muhammadiyah melakukan langkah yang sangat mulia dengan menganjurkan agar dana yang tadinya diperuntukkan bagi penyembelihan kurban disalurkan untuk membantu orang-orang yang terkena dampak pandemi ini.

 

Keduanya bertujuan sama. Kurban juga bertujuan membantu orang susah. Tapi dalam situasi sekarang, bantuan daging kurban menjadi sangat mewah, saat yang lebih dibutuhkan orang-orang adalah sesuatu yang bisa menyambung hidup mereka dalam arti harfiah, yaitu obat-obatan dan alat kesehatan. Sangat tepat kalau bantuan seperti itu ditempatkan pada prioritas paling tinggi.

 

Pikiran kita soal standar-standar kebajikan harus diubah, disesuaikan dengan keadaan. Dalam keadaan darurat, prinsip-prinsip kedaruratan harus menjadi dasar dalam berpikir. Sangat keliru bila pikiran yang mendasari tindakan masih dipertahankan dengan pola pikir situasi normal.

 

Soal ini perlu ditekankan berulang-ulang, karena masih sangat banyak orang yang tidak paham, dan tidak mau paham. Konyolnya, suara-suara keberatan terhadap langkah-langkah ini tidak saja berasal dari kalangan awam. Pengurus MUI Pusat pun ada yang menyatakan keberatan terhadap peniadaan ibadah di masjid dalam ketentuan PPKM Darurat yang dikeluarkan pemerintah. Tokoh-tokoh agama di berbagai tempat banyak yang bersuara senada.

 

Yang lebih parah, masih saja ada yang menuduh bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah ini sebagai bentuk permusuhan kepada umat Islam. Seakan pemerintah hendak melarang orang beribadah. Pemerintah digambarkan sebagai kelompok anti-Islam.

 

Ini situasi darurat. Dalam situasi darurat sangat penting untuk mendengar dan melaksanakan komando dari pemimpin, tanpa banyak bertanya, apalagi menggugat. Terlebih untuk hal-hal yang sebenarnya sudah sangat jelas status hukumnya secara fiqh.

 

Kalau kita tak bisa membantu, setidaknya jangan jadi beban atau penghalang. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar