Sabtu, 31 Juli 2021

 

Nalar Agama Melawan Pandemi

Masdar Hilmy ;  Rektor UIN Sunan Ampel, Surabaya; Penyintas Covid-19

KOMPAS, 30 Juli 2021

 

 

                                                           

Jika dipetakan secara tipologis, di masyarakat dijumpai sekurangnya dua peran agama yang bertentangan dalam perang melawan Covid-19: peran produktif dan peran kontradiktif.

 

Peran produktif adalah ketika agama digunakan sebagai amunisi dalam mendukung penanggulangan Covid-19. Sebaliknya, peran kontradiktif terjadi ketika agama justru dijadikan sebagai alat untuk menggerus ikhtiar perang melawan pandemi.

 

Sepanjang masa pandemi, kedua peran ini benar-benar ada dan berdialektika di masyarakat. Pada masa-masa awal pandemi, bahkan narasi agama dijadikan sebagai alat propaganda oleh segelintir individu untuk mementahkan keberadaan Covid-19. Sebagian ada yang menganggap pandemi sebagai akal-akalan pihak tertentu untuk meruntuhkan semangat keberagamaan (teori konspirasi); tidak boleh takut melawan virus, tetapi takutlah hanya kepada Allah; urusan mati bukanlah karena virus, melainkan takdir Allah; dan seterusnya.

Disonansi kognitif

 

Namun, pada masa sekarang ini, terutama di tengah ”mengamuknya” varian baru Delta, kebanyakan masyarakat kita semakin sadar dan waspada terhadap realitas ancaman Covid-19. Kengerian menghantui di segala penjuru.

 

Kematian begitu dekat dengan kita. Ia menghampiri dan merenggut orang- orang terdekat, bahkan anggota keluarga kita. Kabar duka datang silih berganti tak ada putus-putusnya melalui kanal media sosial. Fenomena kematian dan penguburan jenazah korban Covid-19 mengentakkan kesadaran terdalam masyarakat bahwa kematian akibat Covid-19 benar-benar nyata dan tak bisa diremehkan.

 

Di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, lalu lalang dan bunyi sirene ambulans semakin mendramatisasi suasana batin masyarakat. Rasio kasus positif (positivity rate), tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) rumah sakit, sulitnya mendapatkan ruang perawatan, hingga fenomena telantarnya sejumlah pasien di rumah sakit semakin menguatkan derajat kepercayaan publik atas ancaman Covid-19 yang semakin nyata.

 

Perlahan tetapi pasti, pihak-pihak yang semula menyangsikan keberadaan Covid-19 sekarang terdiam seribu bahasa melihat ”parade kematian” yang begitu menyayat hati.

 

Di sini sebenarnya tengah terjadi apa yang disebut sebagai ”disonansi kognitif”, yakni ketika nalar tidak berfungsi secara konsisten dalam mencerna fenomena kehidupan ini. Di satu sisi kebanyakan masyarakat kita memercayai hal-hal gaib, terutama karena hal ini merupakan bagian dari rukun iman.

 

Di sisi lain, kognisi mereka belum bisa teryakinkan oleh realitas Covid-19 yang juga tidak kasatmata. Kesadaran dan keyakinan mereka baru benar-benar berubah ketika mereka menyaksikan korban telah berjatuhan di mana-mana. Dalam ungkapan yang agak hiperbolis, mereka benar-benar tertegun ketika kematian menjadi ”kenormalan baru” yang tak terbantahkan.

 

Keterbelahan nalar

 

”Disonansi kognitif” terjadi akibat keterbelahan nalar di ruang publik dalam memersepsi pandemi: antara nalar induktif-positivistik sains di satu sisi dan nalar deduktif-normatif agama di sisi lain. Keduanya seolah tak memiliki hubungan sama sekali, bahkan dikesankan bertabrakan secara diametral.

 

Akibatnya, penerapan protokol kesehatan dalam peribadatan dianggap sebagai penggerusan ”pakem” agama. Selain itu, regulasi tentang pengaturan rumah ibadah dan aktivitas peribadatan selama pandemi dianggap akan mengerdilkan, bahkan meruntuhkan, agama.

 

Pengambilan jenazah Covid-19 secara paksa oleh pihak keluarga yang terjadi di sejumlah rumah sakit menjadi contoh lain penyangkalan nalar publik atas kebijakan negara yang masih terbelah. Mereka menghendaki tata cara dan ritual pemulasaraan dan pemakaman jenazah harus berlangsung dalam bingkai tradisi keagamaan. Mereka meyakini bahwa protokol kesehatan tentang pemulasaraan dan pemakaman jenazah Covid-19 melanggar pakem tradisi keagamaan yang dapat berkonsekuensi pada penelantaran nasib arwah di alam kubur.

 

Beruntunglah, perlahan tetapi pasti, kondisi masyarakat sekarang ini relatif lebih well-informed dengan seluk-beluk Covid-19. Secara umum telah terjadi proses transformasi nalar publik ke arah yang lebih positif terhadap realitas pandemi. Proses transformasi masyarakat dalam menyikapi Covid-19 tentu saja tidak terlepas dari narasi positif-produktif yang dikembangkan secara simultan dan konsisten oleh para ilmuwan, agamawan, tokoh masyarakat, elite politik, dan sejumlah lembaga ormas dalam mengampanyekan ancaman nyata Covid-19 beserta semua aspeknya.

 

Pembobotan nalar keagamaan

 

Oleh karena itu, tantangan penanganan Covid-19 ke depan adalah bagaimana agar kebijakan pemerintah tidak dihadang oleh nalar keagamaan di tingkat akar rumput. Di sinilah keterbelahan nalar harus segera diatasi melalui pembobotan nalar keagamaan pada setiap kebijakan publik dalam penanggulangan Covid-19. Hal ini dimaksudkan agar nalar kebijakan publik tak terceraikan dari nalar keagamaan.

 

Keberhasilan keterpaduan di antara kedua nalar tersebut diukur, salah satunya, dari minimnya resistansi masyarakat atas kebijakan dimaksud. Arab Saudi merupakan salah satu negara yang berhasil mengatasi pembelahan antara nalar sekuler dan nalar keagamaan dalam setiap kebijakan publik terkait penanggulangan Covid-19.

 

Mungkin saja keberhasilan tersebut tidak semata terkait dengan absennya resistansi oposisional dari sejumlah kelompok kepentingan, tetapi juga terkait dengan skema bantuan sosial sebagai dispensasi atas dampak kerusakannya di tingkat akar rumput. Sebagai akibatnya, penutupan dua masjid besar sebagai pusat peribadatan haji—Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah—tidak diikuti kontroversi dan resistensi berlebihan di masyarakat.

 

Dalam konteks ini, pidato singkat Wapres Ma’ruf Amin, dalam acara malam takbir virtual Idul Adha 1442 H, patut diapresiasi. Mengutip pendapat ulama terkemuka Syekh Nawawi al-Bantani, Wapres menegaskan soal perlunya ketaatan publik terhadap semua regulasi penanganan pandemi yang berbasis kemaslahatan publik.

 

”Menaati peraturan pemerintah yang di dalamnya mengandung kemaslahatan umum hukumnya wajib mu’akkad atau sangat wajib,” demikian sergahnya. Narasi semacam ini merupakan upaya positif dalam ”penubuhan” (embodiment) narasi keagamaan ke dalam kebijakan publik yang diharapkan dapat mereduksi kontroversi dan resistansi publik.

 

Di samping itu, keberfungsian nalar keagamaan dalam setiap kebijakan penanggulangan pandemi bisa dimaksimalkan dalam dua tataran sekaligus; tataran preventif dan kuratif. Secara preventif, narasi keagamaan bisa digunakan sebagai basis argumentasi penerapan karantina wilayah (baca: PPKM darurat).

 

Strategi semacam ini pernah dilakukan Pemerintah Kota New York dengan cara mengutip Hadis Nabi Muhammad SAW di salah satu videotron: ”Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi, jika wabah terjadi di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari).

 

Jika perlu, ajakan pemerintah untuk memerangi Covid-19 harus dimaknai sebagai ”perang suci” (jihad) yang sesungguhnya di era pandemi dan kematian yang diakibatkan olehnya tergolong mati syahid, sebagaimana Hadis Nabi ”Barang siapa mati karena wabah, maka dia mati syahid.” (HR Bukhari).

 

Sebagai upaya terakhir, doa bersama secara virtual menjadi strategi preventif yang diharapkan dapat memompa imunitas tubuh melalui efek plasebo (placebo effect) atau efek sugesti dalam diri setiap individu. Semoga! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar