Sabtu, 24 Juli 2021

 

Mencegah Perkawinan Anak

Rita Pranawati ;  Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia

KOMPAS, 23 Juli 2021

 

 

                                                           

Peristiwa perkawinan anak masih terus marak terjadi. Pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebab dari meningkatnya kasus perkawinan anak.

 

Kemiskinan orangtua, aktivitas anak yang tak produktif, dan pergaulan bebas dianggap menjadi penyebab meningkatnya perkawinan anak selama pandemi. Kondisi ini tentu membahayakan bagi perlindungan anak dan masa depan bangsa Indonesia.

 

Negara perlu hadir mengurai perkawinan anak semaksimal mungkin. Terjadinya perkawinan anak akan mengancam sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa datang. Akibat perkawinan anak, pendidikan anak menjadi terputus, angka kematian ibu dan bayi meningkat, lahir anak dengan kondisi tengkes (stunting), serta terjadi kemiskinan berulang pada anak yang mengalami perkawinan anak.

 

Perkawinan anak bisa terjadi karena dimohonkan dispensasi kawin atau menikah secara resmi. Selain itu, ada perkawinan anak yang tidak tercatat. Tahun lalu, terdapat 59.117 permohonan dispensasi kawin dengan permohonan tertinggi terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Angka ini meningkat signifikan dari 15.574 permohonan pada 2018 dan 29.359 permohonan pada 2019.

 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, terdapat 10,35 persen perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun. Angka ini memprihatinkan meski turun dari 11,2 persen tahun 2018, dengan daerah terbanyak Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.

 

Data itu memberikan gambaran bagaimana praktik perkawinan anak terjadi di Indonesia. Sebagian perkawinan anak berjalan kultural, sedangkan yang lain menggambarkan proses permohonan dispensasi kawin ke pengadilan.

 

Kenaikan permohonan dispensasi kawin pada satu sisi menggambarkan tren meningkatnya perkawinan usia anak, tetapi pada sisi lain juga merupakan kondisi peningkatan kesadaran hukum. Dengan demikian, upaya pencegahan dan penanganannya dapat dikanalisasi sejak pra permohonan, proses persidangan, hingga pasca-putusan.

 

Kenaikan angka permohonan dispensasi kawin di antaranya karena hadirnya revisi Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 yang mensyaratkan kenaikan usia perkawinan yang diizinkan, yaitu 19 tahun bagi pria dan wanita.

 

Meski demikian, harus dilakukan upaya komprehensif untuk mencegah, menangani, hingga mitigasi jika terjadi perkawinan usia anak.

 

Pra-peradilan

 

Pemerintah sedang menyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang mengatur dispensasi kawin. Sebelumnya, Mahkamah Agung telah memiliki Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin. Namun, aturan tersebut dirasa belum cukup kuat untuk melakukan pencegahan perkawinan anak dalam proses peradilan.

 

RPP ini diharapkan dapat memberikan kebijakan yang mengatur upaya pencegahan sebelum anak dimohonkan dispensasi. Upaya itu, di antaranya, adalah adanya surat keterangan pendidikan anak dari dinas pendidikan untuk mengetahui kondisi pendidikan anak.

 

Surat keterangan sehat khusus permohonan dispensasi kawin untuk memastikan kondisi kesehatan anak yang dikeluarkan rumah sakit atau puskesmas. Adanya kasus seorang anak diminta mengaku hamil agar permohonan dispensasi kawin dikabulkan adalah kekerasan terhadap anak. Kedua surat keterangan tersebut dibutuhkan untuk mendapatkan gambaran kondisi anak, sekaligus upaya pencegahan melalui proses pada institusi terkait.

 

Salah satu prasyarat penting lainnya adalah asesmen terhadap anak yang dimohonkan dispensasi. Dengan adanya asesmen, diharapkan anak dapat diketahui kondisinya, mengapa harus menikah, serta apa problem yang dihadapi. Beberapa alasan yang sering diajukan kenapa anak dimohonkan dispensasi kawin, di antaranya adalah karena anak dianggap memiliki relasi yang berlebihan, hamil, atau ingin menikah.

 

Asesmen dilakukan untuk memverifikasi kondisi anak sekaligus memberikan konseling kepada anak. Asesmen dilakukan dengan mengundang calon pasangan, kedua orangtua, dan orangtua calon pasangan. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran utuh perkawinan dan melakukan intervensi yang diperlukan. Sekali lagi, upaya pencegahan dilakukan dalam setiap tahapan.

 

Pengaturan melalui peradilan

 

Proses di peradilan menjadi benteng formal terakhir dalam mencegah perkawinan anak. Lahirnya Perma No 5/2019 yang mengatur atau mengadili perkara dispensasi kawin merupakan respons progresif MA.

 

Meski demikian, peningkatan kapasitas hakim harus terus ditingkatkan karena mengadili perkara dispensasi kawin membutuhkan perspektif perlindungan anak yang kuat. Hakim pidana harus memiliki sertifikat hakim anak jika mengadili perkara pidana anak. Sudah seharusnya pula hakim yang mengadili perkara perdata anak memiliki sertifikat pelatihan hakim anak.

 

Mendengarkan pendapat dalam perkara dispensasi kawin menjadi bagian penting sebagai penerapan prinsip perlindungan anak. Anak harus didengarkan secara terpisah oleh hakim dan didampingi oleh pekerja sosial atau psikolog jika dibutuhkan.

 

Hakim mendengarkan pendapat anak untuk memastikan kondisi anak, mengapa dimohonkan dispensasi kawin. Dengan demikian, hakim akan memutuskan berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak. Oleh karena itu, infrastruktur pengadilan, khususnya pengadilan agama, juga harus dilengkapi untuk peradilan perdata anak, sebagaimana peradilan pidana.

 

Penasihatan dalam persidangan menjadi salah satu syarat proses peradilan perkara dispensasi kawin. Sudah semestinya penasihatan memastikan bagaimana nasib pendidikan anak, risiko terhadap kesehatan reproduksi, kerentanan ekonomi, dan kerentanan psikologis anak jika menikah.

 

Sebab, sejatinya tujuan perkawinan sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Dalam hal ini, proses penasihatan dalam persidangan penting untuk memastikan ketercapaian tujuan perkawinan tersebut.

 

Peran pemangku kepentingan

 

Proses peradilan permohonan dispensasi kawin diupayakan sebagai proses kehati-hatian untuk melindungi anak Indonesia. Semua pihak terkait pada pra-permohonan dispensasi kawin— di antaranya dinas yang mengurusi perlindungan anak, dinas kesehatan, dan dinas pendidikan—sudah seharusnya mendukung upaya advokasi pencegahan perkawinan anak.

 

Selain itu, para pihak juga harus mengawal putusan dispensasi kawin. Semua pihak harus mengawal mitigasi jika permohonan dispensasi kawin dikabulkan. Hal ini untuk mengurangi dampak dari perkawinan anak. Kerja sama lintas sektor, termasuk kantor Kementerian Agama, sangat diperlukan untuk mengurangi risiko perkawinan anak.

 

Anak harus dipastikan terpenuhi hak pendidikan serta mendapatkan pendampingan psikologis dan kesehatan. Semua upaya mitigasi ini dilakukan untuk menjaga kesejahteraan anak dan mengurangi risiko kematian ibu dan anak, kasus tengkes, konflik dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga kemiskinan pada anak.

 

Jika mitigasi tidak dilakukan, kesejahteraan anak akan semakin buruk. Hal ini akan berdampak pada kualitas SDM Indonesia di masa akan datang.

 

Pada akhirnya, pemerintah daerah harus berjejaring hingga tingkat desa/kelurahan untuk mencegah perkawinan anak.

 

Pemerintah daerah mengonsolidasikan dinas dan kementerian terkait untuk mengupayakan pencegahan melalui optimalisasi peran sekolah, Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), penyuluh agama, penyuluh Keluarga Bencana (KB), dan puskesmas.

 

Kepala desa/lurah menjadi benteng terakhir dalam mengedukasi dan mencegah terjadinya perkawinan anak. Dengan bersatunya seluruh pemangku kepentingan, perkawinan anak secara kultural ataupun lewat proses dimohonkan dispensasi kawin dapat dicegah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar