Kidung
Tolak Bala dan Estetika Istana Guntur Soekarnoputra ; Putra Sulung Presiden Pertama RI; Pemerhati
Sosial |
KOMPAS, 18 Juli 2021
Membaca artikel di harian
Kompas (20/6/2021), yang ditulis Mawar Kusuma Wulan berjudul ”Kidung Tolak
Bala dan Estetik Istana”, saya tertarik untuk memberikan komentar dan
pandangan atas artikel tersebut. Tulisan tersebut
membangkitkan kenangan pada masa puluhan tahun lalu ketika saya masih
kanak-kanak dan tinggal di Istana Merdeka, Jakarta, sejak 1949, dan merasakan
hampir semua Istana Kepresidenan di Indonesia. Namun, saat dewasa, di
awal Orde Baru, saya dan keluarga harus meninggalkan Istana Merdeka secara
tergesa-gesa. Saat itu, keluarga hanya diberikan waktu 2 x 24 jam untuk
segera pergi sehingga tidak sempat membawa seluruh benda-benda milik pribadi,
apalagi Bung Karno melarang keras keluarga membawa benda-benda milik Istana,
yang notabene inventarisasi negara. Selain hanya sempat
membawa seperangkat pakaian yang kebetulan belum dicuci dan masih di lemari
pakaian kotor, juga hanya bisa mengangkut sejumlah barang pribadi. Di
antaranya, peralatan-peralatan sulap, alat melukis seperti kotak cat minyak
merek Rembrandt lengkap dengan palet dan kuas, piringan-piringan hitam Elvis
Presley, Orkes Gumarang, Taruna Ria, dan Kwartet Bintang juga Band Aneka
Nada, kelompok musik saya waktu itu. Saya sengaja meninggalkan
Istana Merdeka pada hari terakhir deadline pukul 00.00. Sebenarnya saya
sempat terpikir hendak membawa sebuah lukisan wanita telanjang di ruang makan
pribadi di sebelah kamar tidur. Namun, hal ini akan melanggar larangan Bung
Karno karena lukisan tersebut adalah milik negara. Kebetulan juga, bagasi
mobil sport Kharman Ghia, kepunyaan saya, juga tidak cukup untuk memuat
barang ”curian” itu. Alhasil, saya batal membawa lukisan wanita telanjang. Barter
kemeja ”Arrow” Berapakah jumlah lukisan
Istana yang dikoleksi Bung Karno saat itu? Tidak ada yang tahu pasti.
Perkiraan saya, jumlahnya sampai 3.000 lukisan, yang terdiri dari 2.000
lukisan yang dipajang di istana, mulai dari Istana Merdeka dan Istana Negara,
Jakarta, Istana Cipanas, Istana Bogor, Istana Yogyakarta (Gedung Agung),
Istana Bali (Tampaksiring), juga istana di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.
Sementara, masih ada sekitar 1.000 lukisan yang masih tersimpan rapi di
gudang istana dalam keadaan tergulung belum dibingkai. Benar apa yang ditulis di
harian Kompas, salah seorang kurator lukisan di era Bung Karno adalah Dullah.
Istilah yang digunakan saat itu bukan kurator, melainkan pengurus lukisan
termasuk koleksi keramik dan patung-patung yang diberikan atau dibeli Bung
Karno. Selain Dullah, pelukisnya,
Istana juga menunjuk AR Gapoer sebagai pelaksana administrasi. Dialah yang
setiap hari memeriksa kondisi seluruh benda-benda seni koleksi Bung Karno di
Istana Merdeka, Istana Negara, dan berkeliling secara berkala ke
istana-istana lainnya, termasuk Wisma Tamu (Wisma Negara di kompleks Istana
Jakarta), Pelabuhan Ratu; dan Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala) yang
diberikan Bung Karno kepada Dewi Soekarno. Mengenai kategorisasi
lukisan-lukisan seperti yang diutarakan Mike Susanto, di era Bung Karno
istilah kurator itu belum dikenal. Juga soal harga lukisan-lukisan tersebut,
sejauh yang saya ketahui hal itu tidak pernah disebut-sebut. Pasalnya, tidak ada tolok
ukurnya untuk menilai secara materi dan rupiah lukisan-lukisan tersebut,
mengingat Bung Karno mengoleksi lukisan-lukisan dengan berbagai cara. Selain
ada yang dibeli langsung dari pelukisnya, biasanya pembayarannya dicicil, ada
juga dengan jalan barter. Misalnya, lukisannya dihargai dengan kemeja merek
Arrow milik Presiden Soekarno. Bahkan, ada juga pelukis
yang secara sukarela menghadiahkan lukisannya kepada Bung Karno ketika
berulang tahun. Dan, ada yang langsung memberikan kepada Bung Karno meskipun
saat itu Bung Karno secara terus terang menjelaskan kepada sang pelukis bahwa
dirinya sama sekali tidak punya uang. Seperti mantan Kapolri Hoegeng Iman
Santoso yang memberikan hadiah sebuah lukisan kepada Bung Karno secara
gratis. Bung Karno yang terkenal
sebagai Presiden, yang kantongnya selalu kempis untuk membeli lukisan,
akhirnya sering dibantu oleh pengusaha-pengusaha yang menjadi sahabatnya
sejak di era perjuangan revolusi. Misalnya, pada periode 1927-1933, ada
Dasaad Musin, Hasyim Ning. Belakangan, ada juga pengusaha bernama Markam dan
Karkam. Oleh karena itu, jika kita
hendak mengetahui harga lukisan-lukisan Istana tersebut secara satu per satu
pada saat itu, rasanya sangat sulit karena sangat bervariatif dan tidak ada
tolok ukurnya. Menurut hemat saya, jika kita sekarang ingin mengetahui harga
setiap lukisan tadi ada baiknya kita panggil juru lelang Christy yang
terkenal dari Singapura dan menilai harga lukisan-lukisan tersebut satu per
satu. Hal tersebut di atas
pernah saya utarakan kepada Sekretaris Menteri Sekretariat Negara S Utomo
melalui telepon untuk bahan pemikiran. Saya juga sempat mendengar bahwa
Kementerian Keuangan tengah melakukan revaluasi aset atau penilaian terhadap
setiap lukisan Istana, yang perkembangannya sampai sekarang belum dilaporkan
ke publik. Di era Bung Karno, semua
koleksi lukisan keramik, patung-patung di Istana Kepresidenan, seluruhnya
adalah koleksi pribadi Bung Karno. Tidak ada benda-benda seni milik pribadi
pejabat-pejabat pemerintahan seperti sekarang yang ditulis dalam artikel
tersebut di atas, milik pejabat yang sengaja dipajang di sekitar Istana untuk
memperindah ruang kerjanya. Dahulu, untuk menunjukkan
apakah lukisan itu milik Bung Karno pribadi atau negarta, dapat dilihat dari
belakang frame setiap lukisan. Lukisan pribadi milik Bung Karno akan
dituliskan sendiri oleh Bung Karno: ”milik Bung Karno”. Sebaliknya lukisan
yang dibeli Bung Karno dengan uang negara dituliskan ”milik negara”. Untuk mengetahui jumlah
lukisan koleksi Bung Karno pada saat itu, sebenarnya mudah karena kalau tidak
salah pada 1964, Bung Karno pernah memerintahkan agar seluruh lukisan-lukisan
koleksinya dibuat foto reproduksinya dan dicetak di dua negara, yaitu Jepang
dan RRT (kini China). Buku tersebut terdiri dari empat buku berisikan koleksi
Bung Karno yang jumlahnya ada sekitar 2.000 (atau 3.000) foto lukisan
berwarna. Namun, sayang, saat ini
buku koleksi lukisan-lukisan tersebut sudah tidak terdengar lagi
keberadaannya. Saya tidak pernah dengar lagi ada di mana, sementara saya
sendiri tidak memiliki salinan buku-buku tersebut. Barangkali Arsip Nasional
masih menyimpannya karena buku-buku tersebut terdiri dari empat jilid. Jadi,
jika hendak mengetahui jumlah sebenarnya dari koleksi lukisan Bung Karno,
buku-buku tersebut harus dicari dan dapat menjadi acuan yang akurat sekarang
ini terkait keberadaan koleksi lukisan istana. Berpindah
lokasi Pada masa era Presiden
Soeharto, saya masih sempat memantau sebagian kecil kondisi lukisan, keramik,
dan patung-patung koleksi Bung Karno karena masih diizinkan untuk berkunjung,
bahkan menginap di Istana Cipanas, Jawa Barat. Kebetulan, sejak dulu Istana
Cipanas menjadi tempat favorit saya untuk menginap di salah satu paviliunnya.
Di sana, salah satunya, ada bangunan yang pernah dirancang dan dibangun Bung
Karno, yaitu Rumah Bentol, rumah yang dindingnya dibangun dengan konstruksi
batu-batu kali. Di era pandemi Covid-19
melanda Indonesia, saat berkunjung ke Istana Merdeka menemui Presiden Joko
Widodo, saya menunggu di ruang tunggu Istana Merdeka, yang dahulu bernama
kamar merah karena seluruh gorden-gordennya oleh Ibu Fatmawati Soekarno
dipilih warna merah. Di kamar merah tersebut tergantung sebuah lukisan besar
yang dinamakan ”Putri Mutiara”. Lukisan tersebut karya pelukis Philipina,
Garcia Ilamas. Lukisan tadi ternyata
tidak saya temukan lagi. Di ruang pertemuan dengan Presiden, saya juga tidak
menemukan lukisan Kawan-kawan Revolusi, karya Sudjojono, yang menjadi
kebanggaan Bung Karno bahkan menjadi latar belakang sampul buku Di Bawah
Bendera Revolusi jilid I dan II. Setelah bertemu dengan
Presiden ketika hendak pulang, saya berkesempatan untuk melongok ke
kamar-kamar yang berada dekat ruang pertemuan, termasuk kamar makan keluarga
yang sekarang berubah total menjadi ruang kerja. Di ruang tersebut dahulu
tergantung lukisan ”Dua Orang Pengemis dan Gadis Aceh”, karya Dullah. Saya juga memperhatikan
lubang bekas tembusan kanon MIG-17 yang diawaki oleh Daniel Alexander Maukar
yang tepat mengenai kursi di mana Bung Karno biasa duduk makan bersama
keluarga. Ternyata tembok tersebut sudah ditambal kembali di era Orde Baru.
Begitu pula lubang bekas peluru yang menembus kaca benggala di ruang
kredensial Istana Merdeka itu pun sudah lenyap di era Orde Baru. Ketika saya menginap di
Istana Cipanas, seluruh lukisan di era Bung Karno masih tergantung pada
tempatnya. Pada November beberapa tahun lalu menginap lagi di Istana Cipanas,
saya sempatkan ”melongok” gedung utamanya. Ternyata ada beberapa lukisan yang
tidak saya temukan lagi, antara lain lukisan reproduksi karya Rembrandt.
Kemudian lukisan ”Wanita Solo Berkebaya” yang tergantung di dinding sebelah
lukisan ”Seribu Pandang” itu pun tidak saya temukan. Di awal Orde Baru, saat ke
Istana Bogor karena diundang hadir resepsi acara Wakil Presiden Adam Malik,
saya diizinkan untuk meninjau kamar-kamar di Istana. Yang tidak saya temui di
antaranya lukisan karya Trubus, kalau tidak salah ingat sebuah lukisan
wanita. Saya mengenal Trubus cukup baik karena yang bersangkutan sering
mengajar saya cara melukis menggunakan cat minyak dan pensil. Almarhum Trubus biasanya
datang ke Istana Merdeka malam hari sebelum makan malam dan memberi pelajaran
di ruang tengah Istana Merdeka, tempat sidang-sidang kabinet. Selain melukis
sosok manusia dan pemandangan, Trubus juga piawai melukis wayang kulit. Saya
sering minta dilukiskan tokoh-tokoh wayang seperti Gatotkaca, Bima, dan
Sentiaki yang menjadi favorit saya. Belakangan saya baru tahu bahwa Trubus
sempat masuk tahanan karena keanggotaannya di Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra) yang konon berafiliasi kepada PKI. Di saat era Orde Baru,
seluruh patung-patung tanpa busana terutama di gedung induk Istana Merdeka
dan Istana Negara, oleh Ibu Negara di perintahkan agar dibalut dengan kain
putih sehingga nilai estetikanya menjadi menurun. Bahkan, banyak lukisan
wanita tanpa busana, seperti lukisan ”Ni Polok” dan ”Di antara Bunga-bunga
Sepatu Warna Merah”, karya Le Majeur ”terpaksa” harus masuk gudang. Patung telanjang yang harus
dibalut kain putih termasuk di antaranya yang diberi nama si Denok oleh Bung
Karno. Belakangan saya temui patung tersebut sudah pindah lokasi di Istana
Cipanas dan berada di antara rumpun bunga-bunga. Patung pemanah yang semula
berada di tengah-tengah kolam di depan Istana Merdeka, hingga kini juga harus
hijrah ke kolam di depan Istana Negara. Kalau disebutkan oleh Mike
Susanto bahwa lukisan-lukisan tersebut di antaranya dapat menjadi ”obat
penenang” jika pembahasan di rapat belum mendapat kesepakatan, hal itu ada
benarnya. Jika Bung Karno sedang ”sumpek” pikirannya, kerap kali duduk
berjam-jam di depan sebuah lukisan pemandangan karya Basuki Abdullah atau
lukisan Jatayu, Sinta, Rahwana yang saat ini juga sudah taka ada lagi di
tempatnya semula. Akhir dari artikel ini,
saya akan mengomentari pendapat Mike Susanto yang ingin agar seorang calon
presiden harus dinilai terlebih dahulu bagaimana apresiasi dan perspektif
seninya terhadap lukisan koleksi istana. Menurut Mike, karena kalau tidak
dinilai, sang capres bisa dinilai kering seni dan seperti sosok yang tidak
tahu kebudayaan dan peradaban karena urusan paling jujur dari peradaban di
antaranya estetika. Wah hebat! Pendapat Mike
tentu sah-sah, tetapi saya khawatir, jangan-jangan persyaratan itu akan membuat
heboh seperti urusan tes wawasan kebangsaan di Komisi Pemberantasan
Korupsi beberapa waktu lalu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar