Bantuan
2 T Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 28 Juli 2021
BUKAN main. Hanya itu yang
bisa saya tulis. Kok ada orang menyumbang uang Rp 2 triliun. Orangnya tidak
pernah dikenal. Sudah lama pula meninggal dunia. Saya harus menghubungi
Prof Dr dr Hardi Darmawan. Saya tidak punya nomor telepon beliau. Tapi saya
kenal dengan kakak beliau. Yang sejak sebelum pandemi tinggal di Singapura. Saya hubungi sang kakak.
Saya pun mendapat nomor telepon Prof Hardi. Saya kirim WA ke beliau. Lalu
Prof Hardi yang menelepon saya kemarin sore. Awalnya beliau saya ajak bicara
dalam bahasa Mandarin. Tapi Prof Hardi mengatakan tidak bisa berbahasa ibunya
itu. Maka kami pun menggunakan bahasa Indonesia. "Sumbangan itu betul
ya, Prof? Kok fantastis sekali," kata saya. "Betul. Saya kenal
baik keluarga itu," jawab beliau. Prof Hardi lantas
bercerita. Tiga hari lalu beliau dihubungi putri pengusaha itu. "Saya
diminta ikut menyaksikan," ujar Prof Hardi. Prof Dr dr Hardi Darmawan
adalah guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Juga
aktivis di gereja Katolik Palembang. Termasuk menjadi pendiri lembaga
pendidikan Katolik Caritas. Bahkan pernah mendapat penghargaan dari Sri Paus. "Resminya bantuan itu
nanti untuk kapolda, gubernur, atau Pemprov Sumsel?" tanya saya. "Ke Kapolda Sumsel
Pak Eko Indra Heri," ujar Prof Hardi. "Siapa yang
menentukan bahwa bantuan itu untuk kapolda Sumsel? Apakah atas arahan Prof
Hardi?" tanya saya lagi. "Bukan arahan saya.
Itu langsung keinginan keluarga. Untuk diberikan ke kapolda," jawab Prof
Hardi. "Bantuan itu nanti
bentuknya uang kontan, cek, atau transfer? Atau berbentuk bantuan bahan
makanan?" “Bentuknya uang. Akan
ditransfer besok," jawab Prof Hardi kemarin sore. Berarti hari ini. "Apakah boleh
ditransfer ke rekening Polda? Juga apakah boleh dikirim ke rekening pribadi
kapolda?" tanya saya sambil mengingatkan aturan yang ada. “Masih diatur. Mungkin
disiapkan rekening khusus." Ya sudah. Saya tidak ingin bertanya
lebih lanjut tentang itu. Ada orang yang ingin menyumbangkan uang besar kok
ditanya prosedur. Yang penting diterima dulu. Semoga yang menyumbang itu bisa
menyaksikan dengan bahagia dari surga di atas sana. Akidi Tio, pengusaha yang
menyumbang Rp 2 triliun itu, meninggal tahun 2009 lalu. Saat itu Tio berusia
89 tahun. Berarti 101 tahun hari ini. Beliau meninggal akibat serangan
jantung. Makamnya juga di Palembang. Istri Tio sudah meninggal
lebih dulu: tahun 2005. Juga di Palembang. Dalam usia 82 tahun. Mereka punya
7 orang anak. Hanya seorang, putri, yang masih tinggal di Palembang. Yang
lain tinggal di Jakarta. "Semua jadi pengusaha sukses," ujar Prof
Hardi. Tio adalah pasien Prof
Hardi. Istri Tio pasien istri Prof Hardi, yang juga seorang dokter.
"Saya dan istri akrab dengan keluarga Pak Tio," ujar Prof Hardi. Menurut Prof Hardi,
keluarga Pak Tio sudah bersahabat dengan Kapolda Irjen Eko Indra Heri jauh ke
masa belakang. Yakni ketika Eko masih perwira dan masih bertugas di Direskrim
Polda Sumsel. Ketika Eko pindah tugas menjadi kapolres di Langsa,
hubungan itu tetap akrab. Tio adalah orang Aceh. Ia lahir di Langsa, Aceh
Timur. Salah satu adiknya punya pabrik di Langsa. Saya pun menghubungi
Bupati Aceh Timur Rocky Hasbalah Thaib. Siapa tahu kenal dengan keluarga Tio.
"Beliau sudah lama meninggalkan Langsa. Kami tidak kenal di sini. Yang
jelas di Langsa memang banyak penduduk Tionghoa sejak dulu," katanya. Dilihat dari marganya
(Tio), berarti Akidi dari suku Tiuchu. Di Palembang memang banyak juga suku
Tiuchu. Laksamana Cheng Ho –dengan armadanya yang besar– cukup lama singgah
di Palembang. Nama Palembang dalam bahasa Mandarin disebut Ju Gang (巨港) –pelabuhan besar. Sebagian armada Cheng
Ho pilih menetap di Palembang –tidak meneruskan pelayaran ke Jawa dan
kembali ke Tiongkok. Prof Hardi sendiri lahir,
besar, dan sekolah di Palembang. Pun gelar dokternya dari Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang. Setelah itu dr Hardi memperdalam ilmu
penyakit tropik di Amerika Serikat. Yakni di New Orleans. Prof Hardi ingat persis
sosok Tio yang rendah hati. "Setiap datang ke tempat praktik saya selalu
hanya mengenakan baju dan celana putih," ujarnya. "Tapi mengapa semua
teman saya yang Tionghoa di Palembang tidak mengenal Tio?" tanya saya. Itu, katanya, karena Tio
sangat rendah hati. Juga tidak mau menonjol. "Beliau banyak sekali
menyumbang. Tapi selalu hanya atas nama hamba Tuhan," ujarnya. Beliau, katanya, pernah
punya pabrik kecap, pabrik mebel, kebun sawit, dan juga kontraktor bangunan. Saya pun menghubungi teman
lama. Nihil. "Saya tidak kenal nama itu sama sekali," jawab Alex
Noerdin –dua kali menjadi Gubernur Sumsel yang sukses. Lalu saya menghubungi
seorang mantan menteri asal Palembang. Jawabnya sama. Saya juga menghubungi lima
orang pengusaha Tionghoa di sana. Tidak ada yang mengenal nama itu. Saya hubungi juga seorang
Tionghoa bermarga Tio. "Saya tidak tahu siapa beliau. Tapi sebagai
sesama marga Tio saya ikut bangga," katanya. Berarti pengusaha ini
memang luar biasa rendah hatinya. Low
profil high profit. Dan yang seperti itu banyak sekali di lingkungan
masyarakat Tionghoa. Saya punya banyak teman
Tionghoa seperti itu. Sehari-hari hanya pakai sandal. Bajunya pun lusuh dan
dari kain yang biasa-biasa saja. Namanya tidak pernah disebut di mana-mana.
Tapi uangnya luar biasa banyaknya. Saya malu kalau pakai baju
bagus di depan mereka. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar