Ki
Manteb Soedharsono, antara Kreasi Artistik dan Makna Dedikasi Purnawan Andra ; Pamong Budaya pada Direktorat Pengembangan
dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek |
KOMPAS, 9 Juli 2021
Dunia seni pertunjukan
tradisi kembali berduka. Dalang wayang kulit gaya Surakarta, Ki Manteb
Soedharsono, meninggal di kediamannya di Desa Doplang, Kecamatan
Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada Jumat (2/7/2021) pukul
09.45. Seniman kelahiran Palur, Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, 31 Agustus
1948, tersebut selama ini dikenal sebagai dalang setan yang ”pancen oye”
karena keterampilan dan kepiawaiannya dalam memainkan boneka wayang (sabet). Sabet merupakan bentuk
ekspresi dalang untuk memaksimalkan aspek dramatisasi dalam memainkan wayang
sesuai dengan karakter tokoh dan suasananya. Kekuatan sabet menjadikan wayang
lebih hidup dan atraktif, terutama ketika adegan bertarung atau perang. Sabet
membuat wayang seperti seorang aktor yang berlaga dalam film aksi. Kemampuan ini merupakan
buah proses kreatif yang panjang. Lahir dari keluarga seniman tradisi, ayah
Ki Manteb adalah Ki Hardjo Brahim Hardjowijoyo, seorang dalang wayang kulit
dari Sukoharjo dan ibunya yang bernama Nyi Darti, seorang penabuh gamelan.
Bakat Ki Manteb sebagai dalang wayang kulit sudah terlihat sejak kecil.
Totalitas dan kesungguhannya terasah bukan dari bangku pendidikan seni,
tetapi ditempa oleh pergulatan artistik yang intens, termasuk menimba ilmu pada
para dalang senior, seperti Ki Narto Sabdo dan Ki Sudarman Gondodarsono. Pergaulan kreatif tersebut
menumbuhkan kreasi artistik dalam gaya sabetan-nya yang khas, yang berbeda
dari dalang-dalang lainnya. Gerak wayang-wayangnya menjadi lebih hidup,
ekspresif dan artistik dengan gerak-gerak atraktif seperti salto dan
jumpalitan. Hal ini tentu saja
menimbulkan pro-kontra pada masanya. Terlebih dunia wayang yang tidak bisa
lepas dari pakem yang mesti terus dipegang dan ditaati. Namun, Ki Manteb
tetap memantapkan diri untuk terus bereksplorasi. Tidak hanya secara teknis,
pergumulan kreatif yang intens dengan dunia artistik membentuk sikap kuat dan
pemikiran mendalam mengenai dunia seni pedalangan yang digelutinya. Ki Manteb
adalah seniman yang mau dan mampu melakukan pembacaan lebih mendalam pada
cerita, menginterpretasinya dengan cerdas dan mengontekstualitaskannya dengan
kondisi riil dan terkini di masyarakat. Karena itu, wajar jika isu-isu aktual
hadir dalam cerita Kresna Jumeneng Ratu (peringatan HUT RI di Istana Negara
tahun 2019) atau refleksi pandemi dalam episode Rama Tambak dan Jamus
Kalimasada. Ki Manteb menyikapi kelir
layar panggung wayangnya sejalan dengan filosofi yang dikandungnya. Wayang
adalah babaran kehidupan, dramatika artistik dan juga tafsir nilai simbolis
sekaligus. Di hadapan bentangan kain putih itu, ia menghadirkan sosok wayang
bukan sebagai bayangan belaka, tetapi mampu menjelmakannya laksana film yang
memutar episode hidup manusia. Ia dengan detail
menggarap, mengolah dan mengelola ruang artisitik kelir. Budayawan Blontank
Poer mencatat bahwa Ki Manteb bereksplorasi kreatif dengan mengubah
pencahayaan dari blencong yang berbahan bakar minyak menjadi tata lampu
modern yang beraneka warna. Hal ini dilakukannya sebagai bagian dari eksperimen
artistik untuk menciptakan kesan dramatis. Ki Manteb juga memiliki
kemampuan, kepekaan, dan kreativitas dalam menyusun komposisi musik gamelan
tradisi maupun kontemporer. Lakon-lakon yang ia bawakan bak pertunjukan opera
wayang yang komunikatif, spektakuler, aktual, dan menghibur. Panggung wayang
kulit Ki Manteb menjadi spektakel yang mempesona. Edukasi Meskipun demikian, Ki
Manteb meyakini bahwa wayang memiliki nilai edukasi. Seni wayang lebih dari
sekadar pertunjukan yang merangsang rasa keindahan sensoris, tetapi sebuah
stimulasi pemupuk kematangan pribadi seseorang terhadap nilai-nilai hidup
yang lebih bermakna. Spirit kebudayaannya tidak hanya terdapat dalam wujud
fisik, tetapi juga ada pada tuturan simbolis nilai bagi tatanan etis dan
filosofis yang lebih baik. Wayang tak hanya
mempertunjukkan teknik permainan boneka, tetapi juga menyampaikan pesan dan
nilai moral. Ia menyampaikan piwulang, nasihat, kritik, cerita tentang
kebenaran dan kebaikan. Wayang menjadi refleksi yang menautkan makna peristiwa
dan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki (Setiawan, 2016). Bagi Ki Manteb, wayang
adalah sebuah tontonan sekaligus tuntunan. Pesan moral dalam pementasan
wayang hadir lewat rangkaian kisah dan citra tokoh wayangnya sebagai
representasi kehidupan. Simbolisme yang dibawanya mampu membuat berbagai hal
sanggup diartikulasikan dengan multiperspektif dan multitafsir. Ia meyakini
formulasi semacam ini bisa menjadi kunci eksistensi dan esensi wayang. Pada setiap pementasan
wayang terjadi proses transformasi nilai moral kepada penonton. Sejak zaman
Jawa kuno hingga kini, pementasan wayang adalah tontonan massal, baik untuk
tujuan ritual, komunal maupun sosial-politik. Pertunjukan wayang dengan
kebijaksanaan ini menjadi semacam ”mekanisme referensial” proses belajar dan
introspeksi. Pembacaan atasnya akan tetap kontekstual dalam waktu mendatang. Dengannya, kita bisa
belajar bahwa identitas Indonesia tidak selalu harus menurut simbol-simbol
tradisional yang archaic, tetapi juga eksplorasi yang lebih terbuka, yang
berarti dinamis dan segar mengolah simbol-simbol tradisional atau bukan, yang
juga berarti ketidakputusasaan untuk terus menjelajah kemungkinan-kemungkinan
baru. Satu yang pasti, hal ini mesti digarap luwes dan kreatif; kreatif
memainkan kemajemukan, bidang bahu selebar-lebarnya dalam menyediakan ruang
gerak yang bebas tapi reflektif bagi pembacaan yang lebih kritis tentang
identitas, tradisi, modernitas, dan diri kita sebagai manusia. Maturnuwun Ki Manteb,
sugeng kondur ke alam kelanggengan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar