Minggu, 18 Juli 2021

 

Membaca Roman Atheis, Mendedah Alam Pikiran Achdiat K. Mihardja

Chris Wibisana ;  Wartawan Tirto.id

TIRTO.ID, 14 Juli 2021

 

 

                                                           

Petang itu, persil nomor 11 di Gang Kebon Manggu di pusat Kota Bandung menjadi saksi bisu guncangnya kepribadian Hasan. Sebermula adalah percakan sangat biasa tentang film antara Hasan dan Rusli. Si kawan itu menyesal tidak mengajak Hasan menyaksikan sebuah film di bioskop. Rusli setengah mati memuji film tersebut sebagai ciptaan manusia yang mengagumkan.

 

Itu baru satu film. “Cobalah pikirkan, betapa hebat ciptaan-ciptaannya seperti kapal terbang, radio, listrik, dan lain-lain,” kata Rusli.

 

Hasan bersorak dalam hati. Hasan pikir, inilah saat baginya untuk mengislamkan lagi si “kapir modern” itu. Hasan merasa bekal ilmu agama yang dipelajarinya sejak kecil bakal cukup untuk mematahkan argumentasi Rusli.

 

“Ya,” kata Hasan. “Tapi, apa artinya kepandaian manusia itu, bila dibandingkan dengan kepandaian Tuhan yang menciptanya.”

 

Bukannya insaf, Rusli cuma tersenyum simpul. Hasan benar-benar tidak menduga reaksi itu. Hasan tak menyangka Rusli bakal menangkis semua argumennya dengan begitu ligat.

 

Rusli balik “menceramahi” Hasan mengenai proyeksi keilmuan manusia yang begitu transformatif dan memperlancar kehidupan manusia. Reaksi-reaksi kimia yang menciptakan benda-benda dimajukan Rusli sebagai bukti mutlak kedigdayaan manusia terhadap alam.

 

“Nah, tidak mungkinkah pula, bahwa manusia itu sekali kelak akan bisa menemui unsur-unsur yang belum ditemuinya di udara sekarang ini, unsur-unsur mana akan ternyata bisa kita ambil dan gunakan untuk membikin nyawa manusia?” ujar Rusli.

 

Hasan terbahak-bahak mendengar ceramah itu. Rusli yang semula tenang agaknya terbawa juga.

 

Hasan menjawab balik, “Saya tertawa, oleh karena bagiku manusia yang berangan-angan mau membikin nyawa adalah orang yang miring otaknya, kemasukan setan. Orang macam begitu itu adalah orang yang kufur, yang murtad, yang durhaka, karena mau menyamai Tuhan Maha Pencipta!”

 

“Ah,” sergah Rusli. “Mengapa Saudara berkata begitu? Itu pikiran kolot. Tuhan itu tidak ada, Saudara!”

 

Hasan tercengang, dadanya sesak menahan amarah yang menggejolak. Perkataan Rusli itu benar-benar mengusik harga dirinya, lebih-lebih perasaan keagamaannya. Pikiran Hasan berkecamuk, “Gila dia! Kapir dia! Murtad dia!”

 

Meski begitu, perkataan itu majal di tenggorokan dan tidak sempat keluar. Rusli lantas meminta maaf dan mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Tapi, seberkas api telanjur menyala di hati kecil Hasan. Bukan semangat menegakkan tauhid, melainkan api keraguan dan kebimbangan.

 

Hasan merasa dikuliti hidup-hidup dan pulang dengan hati ambyar. Nalarnya dipenuhi pertengkaran antara rasionalitas yang menisbikan keberadaan Tuhan dan keyakinan agama yang dianutnya.

 

Sejak petang itu, Hasan memulai tapak pertama dalam suatu perjalanan. Dia kembali harus mencari, atau tepatnya mempertanyakan kembali, Sang Maha Utama yang selama ini jadi pujaannya.

 

Serba Tanggung

 

Fragmen debat Hasan dan Rusli itu barangkali terlalu vulgar menurut ukuran hari ini. Tetapi itulah sepenggal adegan yang disajikan Achdiat Karta Mihardja dalam romannya yang masyhur, Atheis. Sejak diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1949, Atheis tidak lekang. Bukan saja karena gaya tuturnya yang ekspresif, tapi juga kontroversi yang membuatnya menuai pujian sekaligus bertabur kecaman.

 

Ajip Rosidi Dalam Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia (1969) menilai roman Atheis mempunyai karakteristik bentuk maupun isi yang belum pernah ada dalam sejarah sastra Indonesia. Kehidupan dan citra kemelut manusia yang dihadang tantangan zaman membuat Atheis menjadi istimewa dan orisinal.

 

Penilaian lain disampaikan Kusdiratin, dkk. dalam Memahami Novel Atheis (1985). Distorsi kepribadian Hasan yang dahsyat dinilai sebagai efek dari ketidakseimbangan hubungan vertikal dengan Tuhan dan relasi horizontal dengan sesama manusia. Alhasil, isi jiwa Hasan benar-benar mendesak hingga akhirnya pecah dalam kegamangan. Hasan benar-benar hancur karenanya.

 

Penilaian-penilaian itu tentu sampai juga ke telinga Achdiat. Dalam artikel “Pencipta Versus Pengkritiknya” yang dimuat dalam bunga rampai Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 3 (2009, hlm. 182), Achdiat berterus-terang bahwa Atheis pada dasarnya bersifat poly-interpretable sebagaimana karya-karya sastra lainnya. Roman Atheis bisa ditafsirkan dan dikritik sesuai penerimaan dan penghayatan pembacanya.

 

Achdiat pun mengaku mendengar pula sejumlah kecaman atas karyanya. Tokoh Hasan, misalnya, dikecam berkarakter lemah karena gagal menahan pengaruh buruk rekan-rekannya dan ikut-ikutan menjadi atheis. Padahal, dia dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. Apalagi di akhir cerita, Hasan diceritakan tewas. Lantaran penutup cerita itu, Achdiat ditengarai telah “memenangkan” atheisme serta “mengalahkan” seorang saleh yang bimbang semacam Hasan.

 

Lain itu, beberapa hal dalam novel itu juga terkesan serba tanggung. Hasan dikisahkan taat beragama, tapi Achdiat tidak begitu kuat menuliskan argumen theisme dalam ceritanya. Achdiat juga disebut tak tuntas dalam mengurai ajaran-ajaran Karl Marx dan Lenin melalui mulut kawan-kawan Hasan, seperti Rusli dan Anwar.

 

Pendek kata, tokoh-tokoh Achdiat itu dinilai kurang representatif untuk menggambarkan pertentangan antara theisme dan atheisme. Hasan gagal mewakili wajah Islam yang saleh dan teguh kala digempur nilai-nilai materialisme, sementara Rusli gagal mewakili ajaran Marx dan Lenin.

 

Achdiat Menjawab

 

Achdiat agak masygul dengan penilaian macam itu. Achdiat heran, mengapa mereka tidak bisa menerima karakterisasi Hasan, Rusli, atau Anwar apa adanya, termasuk kondisinya yang “tidak representatif” itu.

 

“Tidakkah suatu kenyataan bahwa pada umumnya kaum terpelajar kita tidak ahli dalam soal-soal agama, dan demikian pula soal-soal ideologi politik atau filsafat macam marxisme, leninisme, anarkisme, nihilisme, dan sebagainya itu?” balas Achdiat. “Kebanyakannya adalah seperti tokoh-tokoh dalam Atheis itu, bukan expert seperti yang diinginkan para kritikus,” balas Achdiat (2009, hlm. 185).

 

Menurut Achdiat, orang-orang seperti Hasan yang tidak mahir menekuni pengetahuan agama maupun marxisme memang ada dalam dunia nyata. Taraf pengetahuan Hasan tidak tuntas karena pendidikannya juga sederhana. Jadi, wajarlah Hasan mengalami krisis jati diri kala berhadapan dengan dua ajaran yang saling bertentangan.

 

Lalu, bagaimana dengan Hasan yang dimatikan di akhir cerita? Bukankah Hasan itu saleh dan meskipun terombang-ambing, dia adalah wakil golongan saleh itu? Kalau begitu, benarkah Achdiat berpihak pada atheisme?

 

Lagi-lagi Achdiat menangkis praduga ini. Sebagai roman, Atheis bernapas realisme yang polos, bukan metafora yang mengandung lambang-lambang. Ia tidak membawa tendensi apa-apa. Tiap tokohnya pun tidak menyimbolkan apa-apa selain dirinya sendiri.

 

“Hasan adalah Hasan. Rusli adalah Rusli. Anwar adalah Anwar. Mereka unik, tidak dua, tidak tiga,” tegas Achdiat (2009, hlm. 187).

 

Karenanya, kematian Hasan bukan dimaksudkan untuk mencitrakan kemenangan atheisme atas theisme. Achdiat menambahkan, “Itu hanya satu akibat yang logis daripada motivasi-motivasi dalam rangka cerita yang secara wajar dikuasai oleh hukum-hukum alam, kejiwaan, ruang dan waktu.”

 

Di Mana Achdiat Berdiri?

 

Di luar kontroversi mengenai kandungan Atheis, roman itu agaknya cocok pula disebut sebagai cerminan alam pikiran Achdiat yang kompleks.

 

Sebagai autodidak—dia tidak melanjutkan pendidikan formal lagi usai lulus Algemeene Middelbare School jurusan Sastra Timur (AMS-A) lantaran keuangan orang tuanya tidak memungkinkan, Achdiat mereguk banyak pengetahuan tentang marxisme, feodalisme, filsafat, hingga ilmu pengetahuan lain melalui bacaan. Bacaan pula yang membentuknya jadi seorang nasionalis. Dia diketahui juga ikut terlibat dalam pendirian Indonesia Moeda Cabang Surakarta.

 

Dalam dokumenter Aki Achdiat: Suara dari Jaman Pergerakan besutan Tinuk R. Yampolsky yang diproduksi Lontar Foundation (2004), Achdiat berterus-terang ihwal pandangan politiknya.

 

“Aki (kata ganti Achdiat untuk dirinya sendiri—red) anti tiga, ya: anti-feodaal-system yang berkelas-kelas, antikolonial yang bersatu dengan feodal, dan antikedaerahan,” aku Achdiat.

 

Karenanya, Achdiat enggan menyandang embel-embel raden di depan namanya, meski berasal dari keluarga priyayi. Malahan, secara berolok, dia menggelari dirinya MBS alias Manusia Biasa Saja.

 

Pendirian Achdiat untuk sengaja berjarak dari aristokrasi tercermin dari penerimaannya terhadap sintesis kebudayaan Timur dan Barat semasa Polemik Kebudayaan pada 1930-an. Polemik panjang terkait kebudayaan Indonesia ini semula dipantik oleh Sutan Takdir Alisjahbana di Poedjangga Baroe dan direspons oleh sejumlah penulis dan intelektual.

 

Sebagian kalangan teguh berprinsip bahwa adat-istiadat harus dipertahankan, sedang di sisi lain, tuntutan menerima budaya Barat yang dinamis-progresif juga tidak kalah kencang.

 

“Aki secara persoon sependirian dengan Sanusi Pane. Jadi, perkawinan ‘Faust’ dan ‘Arjuna’. ‘Faust’ [wakil] orang Barat yang mau menguasai alam, dan ‘Arjuna’ [wakil] manusia Timur yang mau menguasai dirinya sendiri,” imbuh Achdiat.

 

Achdiat menegaskan lagi pandangannya itu dengan membukukan artikel-artikel polemik tersebut di bawah judul Polemik Kebudayaan (1977). Dia pun menulis kata pengantar untuk bunga rampai penting itu.

 

Kebudayaan feodal, menurut Achdiat, sudah terlampau beku untuk abad ke-20. Di dalam adat yang ditamsilkannya “tiada lapuk kena hujan tiada lekang kena panas”, menurut Achdiat (1977, hlm. 5), “Fikiran tidak mungkin kritis, perasaan tidak mungkin berkembang menurut kodrat kepribadiannya. Dan hal itu tidak mungkin menimbulkan sikap hidup dan pandangan dunia yang sanggup mendorong manusia untuk menguasai alam sekelilingnya guna keperluan dirinya sendiri.”

 

Tapi, kebudayaan Barat yang diperkenalkan oleh kaum kolonialis pun tak dapat serta-merta diterima. Pasalnya, kendati demokrasi, liberalisme, dan parlementarisme telah tumbuh sejak Revolusi Prancis 1789, ketiganya begitu eksklusif dan tak sampai mengena ke masyarakat bumiputra. Rasionalisme, individualisme, dan materialisme—gagasan modern yang terkemuka pada masa itu—masih tabu untuk dibahas terus-terang.

 

Karenanya, gagasan mengupas kembali kebudayaan Timur dengan pisau analisis kebudayaan Barat yang modern adalah jalan yang dirasa Achdiat paling tepat. Tawaran ini pula yang dimajukan Sanusi Pane selama berlangsungnya Polemik Kebudayaan. Achdiat sendiri menilai, “Mengaji, mengupas, dan memeriksa demikian itu adalah syarat-syarat untuk hidupnya suatu kebudayaan, sebab hanya dengan cara demikianlah kebudayaan itu akan mungkin bertunas dengan segar.” ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar