Penelitian
Berbasis Pelayanan dalam Pengembangan Obat Rianto Setiabudy ; Anggota Komite Etik Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Nasional |
KOMPAS, 10 Juli 2021
Belum lama berselang
diberitakan ada calon vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan di Indonesia
dihentikan oleh pemerintah pada Tahap Uji Klinik Fase I. Selanjutnya,
pemerintah memutuskan bahwa calon vaksin ini akan dikembangkan dalam konteks
“Penelitian Berbasis Pelayanan”. Kebijakan ini perlu dikaji
dengan sangat hati-hati. Bila Penelitian Berbasis Pelayanan dalam
pengembangan obat ini diartikan bahwa vaksin yang belum lolos uji klinik ini
dapat digunakan dalam layanan masyarakat, kemudian baru akan diteliti
keamanan dan efektivitasnya, maka proses ini akan bertentangan dengan urutan
logis dalam pengembangan obat. Penerapan proses
penelitian semacam ini selain dapat membahayakan keselamatan masyarakat, juga
tak sesuai prinsip etika yang berlaku selama ini. Saat ini, masih banyak
warga masyarakat Indonesia belum mampu menilai secara kritis kebenaran
informasi terkait produk kesehatan yang menjanjikan penyembuhan atau
pencegahan penyakit. Banyak dari mereka ingin segera menggunakannya, begitu
mendengar janji-janji menggembirakan itu. Keadaan semacam ini sering
terjadi saat ketidakpastian muncul akibat belum tersedia pengobatan efektif
dalam menghadapi suatu penyakit. Saat ini, kita pun dapat melihat bagaimana
antusiasme berlebihan merebak terhadap produk kesehatan yang dijanjikan dapat
menyembuhkan Covid-19 seperti hidroksiklorokuin, oseltamivir, plasma
konvalesens, ivermectin, dan lain-lain. Walaupun belum punya bukti
ilmiah kuat terkait khasiat obat-obat ini dalam menghadapi Covid-19, banyak
orang yang merasa memerlukan menyerbu untuk membeli. Sikap tergesa seperti
ini bisa berbahaya karena ketika kelak terjadi efek samping atau bahkan
kematian, masyarakat sering tak menyadarinya. Ini tentu berbeda bila
obat-obat yang digunakan ini dikembangkan melalui penelitian ketat di mana
penggunaan obat harus dipantau cermat oleh para dokter atau para peneliti
ahli di bidangnya. Sistem pengembangan obat
baru yang berlaku di seluruh dunia sampai sekarang adalah “Pelayanan Berbasis
Penelitian”. Artinya efektivitas dan keamanan suatu obat baru, harus
dibuktikan dulu dalam penelitian sistematik. Setelah semua terbukti
kekhasiatannya, barulah obat itu boleh dijual dan digunakan untuk pelayanan
masyarakat. Penelitian sistematik ini
awalnya dimulai oleh pabrik obat dengan melakukan uji laboratorium dengan
menggunakan hewan coba. Bila hasilnya baik, pabrik obat akan menyampaikan
hasil uji coba ini kepada Otoritas Regulasi Obat (ORO) di negara terkait
(untuk Indonesia ialah Badan Pengawasan Obat dan Makanan, BPOM). Setelah
seluruh pengujian tahap ini terpenuhi, ORO akan memberi izin kepada pabrik
obat bersangkutan untuk mencobakannya pada manusia (uji klinik) dengan
urut-urutan sistematik. Pada Uji Klinik Fase I,
pertama-tama obat akan dicobakan pada sekelompok kecil orang sehat. Tujuannya
untuk mengetahui gerak, efek, toksisitas, dan tingkat dosis yang bisa
diterima tubuh manusia normal. Bila hasilnya bagus, ORO akan memberi izin
untuk “naik kelas” dengan melakukan Uji Klinik Fase II. Dalam fase ini, obat
baru itu boleh dicobakan pada sejumlah kecil orang sakit di bawah pengawasan
sangat ketat. Hasilnya dilaporkan lagi
oleh pabrik obat ke ORO. Bila dinilai baik, ORO akan kembali memberikan izin
untuk Uji Klinik Fase III di mana obat diujicobakan pada sejumlah besar orang
sakit dalam kondisi menyerupai penggunaan obat dalam pelayanan pengobatan
normal. Bila hasilnya aman dan
efektif, ORO akan memberikan izin edar. Setelah semua tahapan ini dilakukan,
barulah obat baru itu boleh digunakan untuk pelayanan kesehatan. Dalam
keadaan normal seluruh proses ini biasanya akan memakan waktu sekitar 10
tahun. Namun dalam keadaan pandemi, khusus untuk obat atau vaksin
anti-Covid-19, proses ini dipercepat dan dipermudah. Pemberian izin oleh ORO
dalam proses percepatan ini dinamakan Emergency Use Authorization. Namun
demikian, walaupun izin edar telah diberikan, perusahaan pembuat obat masih
diharuskan melakukan post-marketing surveillance. Tujuan utamanya, untuk
mendapatkan data keamanan lebih lengkap setelah obat digunakan. Pada tahap ini, yang ingin
diketahui adalah adanya efek samping (terutama yang berbahaya) jarang terjadi
dari penggunaan obat. Seluruh rangkaian penelitian ini memperlihatkan betapa
telitinya ORO dalam memastikan efektivitas dan keamanan suatu obat baru
sebelum dinyatakan boleh digunakan dalam pelayanan. Jadi jelas, Pelayanan
Berbasis Penelitian adalah konsep yang disusun dengan urutan logis dan
didasarkan pada prinsip etis yang kuat demi terjaganya keselamatan manusia. Konsep
terbalik Kini, masalah yang
dihadapi Indonesia ialah berlakunya konsep terbalik yaitu “Penelitian
Berbasis Pelayanan”. Konsep ini mengundang pertanyaan, baik dari segi etika
maupun logika. Dari segi etika, pertanyaannya “etiskah kita menggunakan untuk
pelayanan kesehatan suatu produk kesehatan yang belum diketahui benar
efektivitas dan keamanannya, atau apa lagi bila produk itu dijual umum
padahal belum terbukti manfaat dan keamanannya?”. Dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No 32 Tahun 2018 tentang sel punca dikatakan bahwa pelayanan sel
punca harus bersifat nirlaba. Artinya bila ada biaya yang ditarik dari
pasien, hanyalah untuk menutup biaya pengolahan, bukan untuk mencari
keuntungan. Dari segi logika, tentu
tidak logis bila ada yang menyatakan “gunakanlah produk obat/vaksin baru ini
dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat, namun kepastian kekhasiatan dan
keamanannya belum diketahui secara pasti karena baru akan dibuktikan.” Karena
itu, konsep Penelitian Berbasis Pelayanan ini dapat menimbulkan salah
penafsiran. Bila penafsirannya seperti di atas, jelas melanggar sistematika
penelitian yang selama ini kembangkan, dan juga melanggar etika penelitian. Lebih jauh lagi,
penafsiran semacam ini akan memudahkan terjadinya bias dalam penelitian
karena di dalamnya bisa saja tidak dilakukan kelompok pembanding dalam uji
klinis, tidak dilakukan pengacakan (randomisasi), tidak ada penyamaran
(blinding) dan sebagainya. Ketika hasil penelitian ini menjadi dasar dari
pernyataan bahwa obat atau vaksin baru itu telah terbukti “aman dan efektif,”
tentu pernyataan itu tak memiliki dasar ilmiah kuat. Oleh karena itu, tak
mengherankan bila kesimpulan ini bias. Namun, bagaimana
seharusnya penafsiran yang benar dari konsep “Penelitian Berbasis Pelayan”
ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, yang paling penting dilihat adalah obat
yang akan diteliti. Apakah obat yang akan diteliti benar-benar obat yang
telah lama diguna -kan (telah menjadi tradisi) dalam pelayanan kesehatan
masyarakat ataukah obat baru? Kemudian, juga perlu dilihat apakah tujuan dari
penelitian ini. Penelitian ini biasanya
muncul karena ada keingintahuan apakah obat yang sejak lama digunakan ini
efektif dan aman dalam penyembuhan. Kedua hal tersebut menjadi dasar
dilakukannya Penelitian Berbasis Pelayanan. Berikut adalah contoh
kasus dalam menjelaskan Penelitian Berbasis Pelayanan. Pelayanan cuci darah
bagi masyarakat adalah pelayanan rutin yang diberikan ke pasien berpenyakit
ginjal menahun. Biaya cuci darah ini menimbulkan beban berat bagi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan karena setiap kali pelayanan
ini menimbulkan biaya cukup besar, sekitar Rp 800.000 hingga Rp 1,5 juta.
Cuci darah ini bisa dilakukan dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis.
BPJS ingin tahu, mana dari kedua metode ini yang lebih cost-effective. Di
sini, penelitian berbasis pelayanan dapat dilakukan. Contoh lain. Sejak 2000
tahun sebelum Masehi, dalam sistem pelayanan kesehatan kuno, masyarakat China
telah terbiasa menggunakan tanaman bernama qinghaosu (Artemisia annua L)
dalam menurunkan demam. Namun, sekitar tahun 1960-an, banyak negara mengalami
masalah resistensi parasit malaria terhadap obat standar yang digunakan saat
itu yaitu klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Untuk mengatasi masalah
ini para ilmuwan China kemudian melakukan penelitian ilmiah pada tanaman
herbal yang selama ini telah digunakan dan akhirnya menemukan obat
antimalaria baru yaitu artemisinin. Temuan ini akhirnya membuahkan hadiah
Nobel tahun 2015 bagi Prof You-you Tu. Kedua contoh ini
diharapkan dapat menggambarkan dengan jelas bagaimana penelitian berbasis
pelayanan diterapkan secara logis dan etis. Kasus
jamu Kemudian, bagaimana halnya
dengan pengembangan jamu? Di Indonesia pengembangan jamu dan tanaman herbal
dimasukkan pada konteks saintifikasi jamu yang diteliti berdasarkan
Penelitian Berbasis Pelayanan (Surat Keputusan Menkes No 003 Tahun 2010). Di
sini, tanaman herbal secara tradisional telah dikenal baik dan sudah rutin
digunakan untuk pelayanan kesehatan sehari-hari. Contoh herbal yang lazim
digunakan antara lain kurkuma, meniran, keji beling dan lain-lain. Bila tanaman herbal ini
ingin dikembangkan menjadi obat yang jelas kekhasiatannya secara ilmiah
melalui Penelitian Berbasis Pelayanan, tentu tak bermasalah. Namun ini tak
berarti semua bahan herbal pasti aman sehingga secara otomatis boleh
dimasukkan dalam skema Penelitian Berbasis Pelayanan. Contoh dalam kaitan ini
derris elliptica yang digunakan sebagai tuba untuk ikan, atau juga benalu teh
yang konon efektif untuk mengobati kanker. Kita belum tahu persis
efektivitas dan keamanan dari derris elliptica atau benalu teh. Kalau pun
benar efektif, biasanya tanaman ini tergolong obat yang toksik. Pada saat
ini, kita juga tahu bahwa vinkristin, atropin, striknin, arekolin dan
lain-lain adalah senyawa-senyawa toksik yang berasal dari tanaman. Karena itu
bahan obat herbal yang tidak digunakan secara rutin dalam pengobatan
tradisional, tidak dengan sendirinya boleh dimasukkan skema Penelitian
Berbasis Pelayanan. Dari segi finansial, perlu
pula diperhatikan bahwa bila suatu obat atau vaksin dikembangkan di luar
mekanisme yang berlaku secara internasional, maka produk semacam ini akan
sulit diekspor karena negara-negara tujuan ekspor biasanya akan menilai
beberapa hal seperti bagaimana kualitas datanya, bagaimana cara produk ini
dikembangkan, serta adakah izin edar produk ini di negara asalnya. Bila pengembang tak bisa
memberikan data secara memuaskan, para importir cenderung akan menolak
memberi izin edar. Bila ini terjadi, maka produk yang dikembangkan di
Indonesia ini hanya bisa dijual di dalam negeri saja. Pengembang pun akan
sulit untuk mendapatkan kembali investasi yang telah ditanamkan. Sebagai penutup, saya
ingin mengingatkan bahwa kebijakan Penelitian Berbasis Pelayanan ini mudah
disalahgunakan oleh para pengembang obat/vaksin yang ingin mengambil jalan
pintas. Bila penyimpangan ditoleransi, ini akan menjadi preseden kurang baik.
Dan bila ternyata produk yang dihasilkan efektivitas dan keamanannya kurang
memadai, maka masyarakatlah yang akan menjadi korban. Inilah yang harus kita
hindari! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar