Selasa, 13 Juli 2021

 

Pintu Khusus untuk Parpol Parlemen

Fadli Ramadhanil ;  Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

KOMPAS, 10 Juli 2021

 

 

                                                           

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 terkait verifikasi partai politik calon peserta pemilu sangat mengherankan. Putusan ini memberikan pintu khusus bagi partai politik yang lolos ambang batas parlemen di pemilu sebelumnya, atau yang memiliki kursi di DPR dengan mudahnya menjadi peserta Pemilu 2024.

 

Partai politik di parlemen “cukup” hanya mendaftar, lalu diverifikasi secara administrasi, untuk kemudian ditetapkan menjadi peserta pemilu. Sebaliknya, partai politik yang tidak lolos ambang batas parlemen pada pemilu sebelumnya, dan tidak memiliki kursi di DPR, mesti mendaftar, diverifikasi secara administrasi dan faktual untuk dapat ditetapkan menjadi peserta pemilu.

 

Aroma keanehan dalam putusan ini begitu kuat. Selain dengan mudah menimbulkan kesan tidak fair bagi sesama partai politik untuk bisa menjadi peserta pemilu, Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020 ini menjungkirbalikkan putusan MK pada 2017 yang memerintahkan seluruh partai politik calon peserta pemilu mesti diverifikasi secara faktual.

 

Suara hakim tak bulat

 

Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 ini tidak mendapatkan suara bulat dari sembilan hakim konstitusi.Tiga orang hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Mereka adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.

 

Dalam pendapat berbedanya, ketiga hakim konstitusi ini enggan mengubah pendirian MK dari apa yang sudah diputus di dalam Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017 yang memerintahkan seluruh parpol calon peserta pemilu wajib untuk diverifikasi secara faktual, termasuk parpol yang sudah lolos ambang batas parlemen, dan memiliki kursi di DPR. Fondasi utama dari pendapat berbeda tiga hakim ini adalah upaya penyederhanaan partai politik, mesti dimulai dari verifikasi yang ketat dan terukur.

 

Hal penting yang patut dicermati dari Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020 ini, sembilan orang hakim konstitusi yang pada tahun 2017 memerintahkan secara bulat seluruh parpol calon peserta pemilu mesti diverifikasi secara faktual, tujuh diantaranya adalah orang yang sama dengan yang memutus perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Partai Garuda ini. Hanya I Dewa Gede Palguna dan Maria Farida Indrati yang sudah berganti dengan Daniel Yusmic dan Enny Nurbaningsih. Dikurangi Saldi Isra dan Suhartoyo, artinya, ada lima orang hakim konstitusi yang mengubah pendiriannya 180 derajat.

 

Perubahan pendirian hakim terhadap suatu isu konstitusional yang dibawa oleh pemohon ke MK memang bukan sesuatu yang haram untuk dilakukan. Hal ini terpampang jelas dalam beberapa perkara. Misalnya perubahan pendirian Mahkamah terhadap desain keserentakkan pemilu. Selain itu, juga ada perubahan pendirian Mahkamah terkait dengan kualifikasi atau prasyarat bagi mantan terpidana untuk maju kembali menjadi calon kepala daerah.

 

Tetapi, di dalam perubahan pendirian tersebut, Mahkamah selalu mencantumkan refleksi yang mendalam atas putusan sebelumnya, serta ada kondisi aktual objektif yang terjadi ditengah masyarakat. Pertanyaan pentingnya sekarang, kondisi aktual dan obyektif apa yang terjadi ditengah perkembangan kepemiluan hari ini, sehingga Mahkamah perlu melonggarkan syarat menjadi peserta pemilu bagi parpol yang punya kursi di parlemen?

 

Tak memulihkan

 

Jika Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 dibaca dengan hati-hati, ada dua masalah utama yang perlu menjadi sorotan. Pertama, putusan ini inkonsisten dengan pendekatan MK yang selama ini menginginkan terjadinya penyederhanaan partai politik. Dalam beberapa putusannya, konsen MK di dalam memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus banyak undang-undang terkait sistem pemilu selalu mengarah kepada upaya penyederhanaan jumlah partai politik.

 

Proses penyederhanaan partai politik ini, menurut MK, mesti dimulai dari penyederhanaan partai politik menjadi peserta pemilu. Hal ini terurai panjang lebar di dalam Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017. Melalui putusan ini, MK memerintahkan kepada KPU untuk memverifikasi semua partai politik menjelang Pemilu 2019.

 

Tujuan utamanya, seluruh partai politik mesti diuji kesiapan organisasinya jika hendak mengikuti pemilu. Pengujian dan pemeriksaan itu menurut MK mesti dilakukan tanpa kecuali. Perlakuan yang sama mesti dilakukan terhadap partai politik yang memiliki kursi di DPR, partai yang tidak punya kursi di DPR, maupun partai politik baru.

 

Tetapi, upaya penyederhanaan partai politik melalui verifikasi menjelang menjadi peserta pemilu, dengan begitu mudahnya dianulir oleh MK. Padahal, antara Putusan 53/PUU-XV/2017 dengan Putusan 55/PUU-XVIII/2020 hanya berselang 2 tahun 6 bulan. Lagi pula, tidak ada kondisi luar biasa yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, sehingga MK perlu mengubah pendiriannya terkait ini.

 

Kedua, Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 ini sama sekali tidak memulihkan kerugian konstitusional yang dimohonkan oleh Partai Garuda. Padahal, amar putusan MK mengatakan mengabulkan sebagian permohonan Partai Garuda. Pertanyaannya, bagian mana yang dikabulkan oleh MK, sementara Partai Garuda sama sekali tidak meminta apa yang diputus oleh MK?

 

Justru yang diputus oleh MK malah semakin merugikan Partai Garuda. Partai Garuda pada pokoknya meminta agar seluruh partai politik yang sudah lolos verifikasi pada pemilu sebelumnya, otomatis menjadi peserta pemilu pada pemilu berikutnya. Intinya, sebagai partai politik yang sudah menjadi peserta Pemilu 2019, Partai Garuda menginginkan mereka tidak diverifikasi lagi pada Pemilu 2024 dan setelahnya.

 

Namun yang diputus oleh MK, justru mempermudah jalan partai politik yang lolos ambang batas parlemen atau memiliki kursi di DPR untuk menjadi peserta pemilu. Sembilan partai politik yang ada di DPR saat ini cukup mendaftar dan diverifikasi secara administrasi saja. Sementara, partai yang tidak lolos ambang batas parlemen pada pada Pemilu 2019, tetapi mesti diverifikasi secara faktual.

 

Partai Garuda tidak lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019. Sehingga, apa yang diputus oleh MK jelas tidak memulihkan hak konstitusional Partai Garuda. Ini terlihat juga dengan lontaran kekecewaan dari fungsionaris Partai Garuda setelah MK membacakan putusan. Sesuatu yang aneh, pemohon sangat kecewa, padahal permohonannya dikabulkan sebagian.

 

Partai politik adalah jangkar utama demokrasi. Fungsinya penting bagi masyarakat. Oleh sebab itu, organisasi partai mesti disiapkan secara serius, agar kerja-kerjanya tidak hanya menjelang pemilu saja. Tapi betul-betul menjadi agregasi kepentingan publik luas. Verifikasi yang detail menjelang pemilu adalah pemantik, agar partai politik semakin kuat, dan bekerja untuk masyarakat. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar