Duduk
Bersama Cari Solusi Bersama Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 10 Juli 2021
Ekonom M Chatib Basri
menulis status di Instagram-nya. ”Di tengah bencana, pada diri manusia
terdapat lebih banyak sifat yang dapat dikagumi ketimbang dibenci.” Kutipan
itu diambil dari Albert Camus. Status Chatib dimaksudkan untuk mengantar
program vaksinasi gratis Kanisius di Jakarta Convention Center. Covid-19 tidak lagi
sekadar wabah, tetapi problem kemanusiaan. Secara global berdasarkan data
Worldometer, Jumat, 9 Juli 2021, Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 186
juta orang dan menewaskan lebih dari 4 juta orang. Lebih dari 170 juta orang
sembuh. Di Indonesia, Covid-19 menginfeksi 2,4 juta orang, 63.760 meninggal,
dan 1,9 juta sembuh. Kasus aktif di Indonesia mencapai 359.455 dan 100.000 di
antaranya di Jakarta. Di tengah tekanan akibat
pandemi, bangsa ini patut bangga dengan voluntarisme masyarakat sipil. Ada
gerakan sosial, ”warga-bantu-warga” berupa portal berisi informasi soal
pandemi, cari rumah sakit, cara ber-isoman, penggalangan dana untuk tenaga
kesehatan, dan informasi lainnya. Galeri Bentara Budaya Jakarta yang selama
masa pandemi berhenti pameran diubah menjadi sentra vaksinasi bagi pekerja
media dan warga hasil kerja sama Dewan Pers, Kementerian Kesehatan, Pemprov
Jakarta. Di beberapa daerah,
masyarakat sipil tumbuh. Ada sukarelawan pemulasaran jenazah, penyedia
ambulans gratis, membangun shelter transisi bagi warga sebelum ke rumah
sakit. Ada yang menggalang dana untuk penyediaan makanan pokok, kebutuhan
pokok untuk keluarga yang menjalani isolasi mandiri. Inisiatif masyarakat sipil
tanpa SK, bahkan kadang tidak saling mengenal, itu merupakan modal sosial
bangsa ini. Banyak kearifan lokal bisa dikembangkan untuk memperkuat
solidaritas, apakah itu budaya jimpitan atau bantingan, sambatan, jogo
tonggo. Esensi semangat itu
membantu sesama. Teringat pada ungkapan dalam bahasa Jawa, urip kuwi kudu
migunani tumpraping liyan. Man for others. Situasi Indonesia memang
tidak sedang baik-baik saja. Satu malam mendengar obrolan komunitas dokter
tertangkap kesan mereka sudah tampak amat lelah. Kapasitas medis sudah tidak
mampu melayani pasien. Dalam situasi kritis, seorang tenaga kesehatan harus
memilih mana di antara pasien yang lebih memiliki peluang hidup lebih lama.
”Sebuah keputusan sulit dan bisa mengganggu kejiwaan.” Gerakan akar rumput ini
membanggakan meski mereka punya keterbatasan. Mereka pun minta maaf.
Inisiatif akar rumput didedikasikan untuk kerja kemanusiaan. ”Kemanusiaan tak kenal
batas teritori, tak kenal batas negara. Apalagi kelas sosial,” seorang
aktivis berkirim pesan Whatsapp kepada saya merespons usulan ”keblinger”
anggota DPR yang meminta pemerintah menyediakan rumah sakit pejabat. ”Pejabat harus
diistimewakan karena pejabat ngurus negara dan rakyat,” ucapnya. Tega nian
usulan itu meski kemudian dikoreksi rekan separtainya. Ketika kutipan Cicero,
”Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”, dijadikan acuan, saatnya
pemerintah memobilisasi segala sumber daya. Sumber daya lokal ataupun meminta
bantuan internasional yang sudah pulih. Peringatan politisi bahwa bangsa ini
bisa menjadi failed nation jika gagal menangani pandemi bisa saja dikatakan,
tetapi itu hanya akan membangkitkan pesimisme. Pengusaha senior menelepon
saya. Ia curhat dengan kondisi negeri yang saling mengecam, mengkritik, tanpa
solusi, di tengah situasi genting. ”Apa mereka tak bisa duduk bersama,
mencari solusi bersama, dan menyusun peta jalan bersama.” Sinyal kekompakan
penyelenggara negara di pusat dan daerah merupakan pesan penting bahwa negara
hadir. David Krisna Alka, aktivis
muda Muhammadiyah, mengirim pesan Buya Ahmad Syafii Maarif. Pesan itu
tersebar di media sosial. Buya Syafii berpesan,
”Banyak kritik yang dialamatkan kepada pemerintah yang dinilai kurang sigap
menangani Covid. Kritik itu sah, maka pemerintah mesti menyikapinya dengan
lapang dada dan jiwa besar. Namun, pemerintah telah bekerja keras dengan
mengeluarkan dana negara puluhan, bahkan ratusan triliun, perlu dihargai
kesungguhan melindungi rakyat. Jangan ada pikiran negatif, ancaman wabah
menjurus pada krisis politik nasional. Mari kita bahu-membahu sambil berdoa
mengobarkan optimisme, di tengah tantangan yang berat.” Pandangan Buya tepat.
Saatnya duduk bersama, mencari solusi, mencari jalan keluar bersama, untuk
menyelamatkan negeri. Pemerintah telah berbuat. Mengimpor vaksin dan
menggratiskan untuk tercapainya kekebalan kelompok (herd immunity). Ada
penyaluran bansos meski, sayangnya, ada juga yang disalahgunakan. Transformasi sistem
kesehatan coba dilakukan dengan konsultasi jarak jauh kesehatan yang
dilakukan Budi Gunadi Sadikin, menteri decisive dan problem solver. Begitu
juga model kepemimpinan Erick Thohir yang berani mengambil langkah tidak
biasa dan tidak populer untuk sebagian kalangan dan siap dikritik. Begitu
juga dengan Menlu Retno yang terus melakukan pendekatan ke dunia luar. Di
saat krisis, keputusan bukan antara baik dan buruk, melainkan yang kurang buruk
dan yang buruk. Pekerjaan masih banyak.
Layanan kesehatan dan ketersediaan SDM, termasuk penanganan pasien meninggal.
Organisasi boleh jadi faktor yang perlu dilihat. Siapa komandan yang punya
kewenangan dan otoritas penuh menyelamatkan manusia. Ada inkonsistensi. Ada
pengetatan, tetapi pintu masuk dari luar terbuka. Apakah perlu kementerian
khusus penanganan Covid-19 yang memikirkan peta jalan setelah pandemi menjadi
endemi? Atau, Presiden Jokowi sendiri? UU Karantina Kesehatan, UU Wabah, dan
UU Penanggulangan Bencana punya titik tekan dan perhatian berbeda. Duduklah bersama, mencari
solusi bersama, bergerak bersama. Satu komando, satu perlawanan, satu
strategi lawan Covid-19! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar