Selasa, 13 Juli 2021

 

Duduk Bersama Cari Solusi Bersama

Budiman Tanuredjo ;  Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 10 Juli 2021

 

 

                                                           

Ekonom M Chatib Basri menulis status di Instagram-nya. ”Di tengah bencana, pada diri manusia terdapat lebih banyak sifat yang dapat dikagumi ketimbang dibenci.” Kutipan itu diambil dari Albert Camus. Status Chatib dimaksudkan untuk mengantar program vaksinasi gratis Kanisius di Jakarta Convention Center.

 

Covid-19 tidak lagi sekadar wabah, tetapi problem kemanusiaan. Secara global berdasarkan data Worldometer, Jumat, 9 Juli 2021, Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 186 juta orang dan menewaskan lebih dari 4 juta orang. Lebih dari 170 juta orang sembuh. Di Indonesia, Covid-19 menginfeksi 2,4 juta orang, 63.760 meninggal, dan 1,9 juta sembuh. Kasus aktif di Indonesia mencapai 359.455 dan 100.000 di antaranya di Jakarta.

 

Di tengah tekanan akibat pandemi, bangsa ini patut bangga dengan voluntarisme masyarakat sipil. Ada gerakan sosial, ”warga-bantu-warga” berupa portal berisi informasi soal pandemi, cari rumah sakit, cara ber-isoman, penggalangan dana untuk tenaga kesehatan, dan informasi lainnya. Galeri Bentara Budaya Jakarta yang selama masa pandemi berhenti pameran diubah menjadi sentra vaksinasi bagi pekerja media dan warga hasil kerja sama Dewan Pers, Kementerian Kesehatan, Pemprov Jakarta.

 

Di beberapa daerah, masyarakat sipil tumbuh. Ada sukarelawan pemulasaran jenazah, penyedia ambulans gratis, membangun shelter transisi bagi warga sebelum ke rumah sakit. Ada yang menggalang dana untuk penyediaan makanan pokok, kebutuhan pokok untuk keluarga yang menjalani isolasi mandiri.

 

Inisiatif masyarakat sipil tanpa SK, bahkan kadang tidak saling mengenal, itu merupakan modal sosial bangsa ini. Banyak kearifan lokal bisa dikembangkan untuk memperkuat solidaritas, apakah itu budaya jimpitan atau bantingan, sambatan, jogo tonggo.

 

Esensi semangat itu membantu sesama. Teringat pada ungkapan dalam bahasa Jawa, urip kuwi kudu migunani tumpraping liyan. Man for others.

 

Situasi Indonesia memang tidak sedang baik-baik saja. Satu malam mendengar obrolan komunitas dokter tertangkap kesan mereka sudah tampak amat lelah. Kapasitas medis sudah tidak mampu melayani pasien. Dalam situasi kritis, seorang tenaga kesehatan harus memilih mana di antara pasien yang lebih memiliki peluang hidup lebih lama. ”Sebuah keputusan sulit dan bisa mengganggu kejiwaan.”

 

Gerakan akar rumput ini membanggakan meski mereka punya keterbatasan. Mereka pun minta maaf. Inisiatif akar rumput didedikasikan untuk kerja kemanusiaan.

 

”Kemanusiaan tak kenal batas teritori, tak kenal batas negara. Apalagi kelas sosial,” seorang aktivis berkirim pesan Whatsapp kepada saya merespons usulan ”keblinger” anggota DPR yang meminta pemerintah menyediakan rumah sakit pejabat.

 

”Pejabat harus diistimewakan karena pejabat ngurus negara dan rakyat,” ucapnya. Tega nian usulan itu meski kemudian dikoreksi rekan separtainya.

 

Ketika kutipan Cicero, ”Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”, dijadikan acuan, saatnya pemerintah memobilisasi segala sumber daya. Sumber daya lokal ataupun meminta bantuan internasional yang sudah pulih. Peringatan politisi bahwa bangsa ini bisa menjadi failed nation jika gagal menangani pandemi bisa saja dikatakan, tetapi itu hanya akan membangkitkan pesimisme.

 

Pengusaha senior menelepon saya. Ia curhat dengan kondisi negeri yang saling mengecam, mengkritik, tanpa solusi, di tengah situasi genting. ”Apa mereka tak bisa duduk bersama, mencari solusi bersama, dan menyusun peta jalan bersama.”

 

Sinyal kekompakan penyelenggara negara di pusat dan daerah merupakan pesan penting bahwa negara hadir.

 

David Krisna Alka, aktivis muda Muhammadiyah, mengirim pesan Buya Ahmad Syafii Maarif. Pesan itu tersebar di media sosial.

 

Buya Syafii berpesan, ”Banyak kritik yang dialamatkan kepada pemerintah yang dinilai kurang sigap menangani Covid. Kritik itu sah, maka pemerintah mesti menyikapinya dengan lapang dada dan jiwa besar. Namun, pemerintah telah bekerja keras dengan mengeluarkan dana negara puluhan, bahkan ratusan triliun, perlu dihargai kesungguhan melindungi rakyat. Jangan ada pikiran negatif, ancaman wabah menjurus pada krisis politik nasional. Mari kita bahu-membahu sambil berdoa mengobarkan optimisme, di tengah tantangan yang berat.”

 

Pandangan Buya tepat. Saatnya duduk bersama, mencari solusi, mencari jalan keluar bersama, untuk menyelamatkan negeri. Pemerintah telah berbuat. Mengimpor vaksin dan menggratiskan untuk tercapainya kekebalan kelompok (herd immunity). Ada penyaluran bansos meski, sayangnya, ada juga yang disalahgunakan.

 

Transformasi sistem kesehatan coba dilakukan dengan konsultasi jarak jauh kesehatan yang dilakukan Budi Gunadi Sadikin, menteri decisive dan problem solver. Begitu juga model kepemimpinan Erick Thohir yang berani mengambil langkah tidak biasa dan tidak populer untuk sebagian kalangan dan siap dikritik. Begitu juga dengan Menlu Retno yang terus melakukan pendekatan ke dunia luar. Di saat krisis, keputusan bukan antara baik dan buruk, melainkan yang kurang buruk dan yang buruk.

 

Pekerjaan masih banyak. Layanan kesehatan dan ketersediaan SDM, termasuk penanganan pasien meninggal. Organisasi boleh jadi faktor yang perlu dilihat. Siapa komandan yang punya kewenangan dan otoritas penuh menyelamatkan manusia. Ada inkonsistensi. Ada pengetatan, tetapi pintu masuk dari luar terbuka. Apakah perlu kementerian khusus penanganan Covid-19 yang memikirkan peta jalan setelah pandemi menjadi endemi? Atau, Presiden Jokowi sendiri? UU Karantina Kesehatan, UU Wabah, dan UU Penanggulangan Bencana punya titik tekan dan perhatian berbeda.

 

Duduklah bersama, mencari solusi bersama, bergerak bersama. Satu komando, satu perlawanan, satu strategi lawan Covid-19! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar