Menyemai
Benih Kebangsaan Pendidikan Tamansiswa Ki Darmaningtyas ; Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa
(PKBTS) |
KOMPAS, 3 Juli 2021
Tanggal 3 Juli sebetulnya
merupakan salah satu tonggak sejarah pendidikan nasional, karena pada tanggal
3 Juli 1922 itu, Soewardi Soerjaningrat yang kemudian berganti nama menjadi
Ki Hadjar Dewantara mendirikan sekolah baru yang terbuka untuk dimasuki oleh
semua golongan dan diajar oleh guru- guru dari bangsa sendiri. Sekolah tersebut kemudian
dikenal dengan Perguruan Tamansiswa. Dipilih sebutan “perguruan” dan bukan
“sekolah” karena maknanya memang berbeda dengan sekolah-sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial. “Perguruan” dari kata
paguron (Jawa), berasal dari perkataan 'guru' (leeraar, teacher). Arti
harfiah dari perguruan ialah tempat, di mana guru tinggal. Orang pun dapat
mengambil asalnya dari perkataan "berguru' (meguru, Jawa), yaitu
belajar, maka pada perkataan itu dapat dilekatkan pengertian: pusatnya studi.
Perkataan peguron juga sering mendapat arti 'ajarannya itu sendiri', yaitu di
mana pribadi guru itu merupakan unsur terkemuka, maka dengan ini paguron
berarti: haluan yang dianut. Ketiga makna peguron
tersebut dipakai oleh insan Tamansiswa karena mereka menghendaki pusat studi,
dengan haluan yang lebih dulu ditentukan, dan sekaligus juga rumah guru.
Menurut KHD, jenis rumah merangkap sekolah, tidak sama dengan sekolah
pondokan, di mana sifat kekeluargaan sering kali terdesak dan sedikit sekali
hubungan kekeluargaan antara murid dengan direktur, yang biasanya komandan
yang amat ditakuti (Pendidikan: 56-58). Pilihan pada bentuk
kelembagaan “paguron” ini, menurut sejarawan Abdurrahman Surjomihadjo, karena
Tamansiswa mencari semangat dari pondok pesantren. Oleh karena paguron, maka
panggilan untuk guru disebut “pamong”. Ini selaras dengan sistem yang
dikembangkan, yaitu sistem among, yang berarti mengabdi dengan membimbing. Ki
Mangoen Sarkoro menggambarkan seperti hubungan seorang pengasuh dengan
anaknya, atau dalam pewayangan seperti antara punakawan Semar dengan Arjuna,
bukan relasi antara majikan dan pekerja. Dorongan
Istri Dalam sistem among ini
unsur asah, asih, dan asuh amat kuat untuk mengantarkan agar anak-anak dapat
tumbuh dan berkembang jiwa kemerdekaannya. Ini sejalan dengan konsep
pendidikan yang menumbuhkan cipta (logika), rasa (seni, filsafat, sastra) dan
karsa (perbuatan). Oleh karena sekolah itu sebagai paguron dan gurunya
menjadi pamong, maka muridnya beraktivitas di taman sesuai tingkat usia
mereka, seperti Taman Indria (TK), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman
Madya (SMA), serta Taman Karya (SMK). Ki Hadjar Dewantara (KHD),
sebelum mendirikan Perguruan Tamansiswa dikenal sebagai seorang pergerakan
kemerdekaan melalui dunia jurnalistik. Tulisannya yang berjudul "Als Ik
Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda) membuat pemerintah
kolonial marah dan kemudian mengasingkan ke Belanda. Tapi di Belanda dia dan
istrinya justru belajar banyak hal. Pada saat itu (1913-1919)
masyarakat di Belanda sedang berkobar-kobar perasaannya pada pemikiran
Rabindranath Tagore (India) dan Maria Montesori (Italia). Kedua tokoh ini
menganggap pendidikan dan pengajaran di Eropa sangat menyuburkan intelektual,
namun mematikan perasaan, sehingga hanya menjadikan manusia mesin belaka. Sejak itu, KHD membangun
relasi dialog dengan Tagore dan Montessori. Tagore sempat berkunjung ke
Tamansiswa di Yogyakarta. Sebaliknya KHD beserta insan Tamansiswa sempat
berkunjung ke Shanti Niketan di India. Salah satu pamong Tamansiswa yang
sempat ke Shanti Niketan dan kelak jadi tokoh nasional adalah penulis Rusli.
Di belakang Pendapa Tamansiswa juga ada Wisma India yang pernah didiami
maestro tari India, Miss Mrinalini. Menurut Ki Priyo Dwiarso,
orang yang sempat menjadi murid langsung KHD, saat di negeri Belanda, Nyi
Sutartinah (istri KHD) membantu KHD mencari tambahan nafkah dengan menjadi
guru di Frobelschool (Kindergarten), sekolah yang didirikan oleh Frobel
(Friedrich Wilhelm August Frobel). Pengalaman sang istri
menjadi guru di Kindergarten itu semakin memperkaya khazanah KHD terhadap
konsep pendidikan Frobel yang menjadikan permainan sebagai media pendidikan
anak. Dan setelah kembali ke Tanah Air (1919), berkat inspirasi dan dorongan
sang istri itulah KHD putar haluan dari gerakan politik ke pendidikan dan
kebudayaan. Perkenalannya dengan
metode permainan yang dikembangkan oleh Frobel dan dialog yang intens antara
KHD dengan Tagore dan Montessori itulah yang kelak mewarnai pandangan-pandangan
pendidikan dan kebudayaan KHD. Dari Frobel, KHD mendapat pelajaran
dijadikannya permainan anak sebagai media pendidikan, dari Montessori
memperoleh inspirasi mengenai pentingnya memberikan dan menumbuhkan jiwa
merdeka pada anak, sedangkan dari Tagore, KHD memperoleh penguatan pada aspek
budaya. Hanya saja untuk konsep
merdeka KHD sedikit berbeda dengan konsep merdeka Montessori. Menurut KHD,
merdeka (vrijheid) kita tidak bebas, tapi dibatasi oleh swa disiplin
(zelfdicipline), yaitu sepanjang tak merusak salam bahagia serta tertib
damainya masyarakat. Dalam rumusan Ki Mangoen Sarkoro, kemerdekaan itu harus
mengarah ke pengabdian umat manusia yang paling intensif. Sedangkan metode
Montessori absoluut vrijheid (merdeka mutlak). Dari ketertarikan KHD pada
semangat pembaruan yang ditawarkan oleh Tagore dan Montessori itulah, maka di
ruang Pendapa Tamansiswa saat itu dipasang potret Tagore dan Montessori,
sehingga sempat menimbulkan perkiraan banyak orang bahwa Tamansiswa itu
beraliran Tagore dan Montesori. Padahal tidak demikian.
Pemasangan potret itu karena KHD memandang Tagore dan Montessori sebagai
petunjuk jalan baru, pembongkar pendidikan lama serta pembangun aliran baru,
yang sesuai dengan aliran Tamansiswa, yang terambil dari adat pendidikan yang
masih hidup dalam masyarakat kita atau masih nampak bekas-bekasnya, yaitu
aliran yang disebut sebagai kultural nasional (KHD, Pendidikan:131). Dalam penjelasannya
mengenai metode Montessori, Frobel, dan Taman Kanak; KHD mengakui bahwa
Tamansiswa boleh dibilang memakai kedua-duanya sebagai yang terkandung dalam
sifat pendidikan Montessori dan Frobel, akan tetapi pelajaran pancaindra dan
permainan itu tidak terpisah, yaitu dianggap satu, sebab dalam Tamansiswa
hiduplah kepercayaan, bahwa dalam setiap tingkah laku dan segala keadaan
hidupnya anak-anak itu sudah diisi oleh "Sang Maha Among" segala
alat-alat yang bersifat mendidik si anak (Ibid:242) Benih
kebangsaan Dasar Tamansiswa adalah
Pancadarma, yaitu kodrat alam, kebudayaan, kemerdekaan, kebangsaan, dan
kemanusiaan. Dasar tersebut diambil dari nilai-nilai yang sudah berkembang di
masyarakat dan sekaligus menjadi cita-cita Tamansiswa untuk diwujudkan. Benih-benih kebangsaan KHD
sendiri muncul sejak usia 12 tahun ketika akhirnya harus berpisah dengan kawan
bermainnya lantaran harus bersekolah, sementara kawannya tidak bisa
bersekolah hanya karena bukan anak priayi. Realitas sosial yang tragis itulah
yang menyadarkan adanya stratitifikasi sosial di masyarakat berdasarkan
status sosial orang tua dan dipertajam melalui pendidikan yang segregatif.` Atas dasar pengalaman
pribadinya itulah mengambil jalan perjuangan yang berbasis kerakyatan dan
kebangsaan. Perguruan Tamansiswa harus terbuka untuk semua golongan, maka
alasan kebangsaan menjadi dasarnya karena mampu mengakomodasi berbagai
golongan yang tumbuh di masyarakat. Paham kebangsaan dan jiwa
nasionalis yang menjadi dasar Tamansiswa itu kelak menjadi fondasi
pembangunan pendidikan nasional, setelah Indonesia merdeka 1945 dan KHD
ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan dan Pengajaran. Meskipun masa jabatannya
singkat, hanya tiga bulan, tapi berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan
nasional yang berwawasan kebangsaan. Paham kebangsaan itu kelak
juga menjiwai perumusan Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 1950 junto UU No 12
Tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Pengajaran di Sekolah, yang disusun pada saat
menteri pendidikan dijabat oleh Sarmidi Mangunsarkara dari Tamansiswa. Ini
merupakan UU pendidikan yang sangat inklusif, nasionalis, dan memberikan
kebebasan kepada warga untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan keyakinan
yang mereka anut. Bandingkan dengan UU No 2
Tahun 1989 atau UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
sangat etatis dan tidak inklusif. Praksis pendidikan di
lapangan tidak terlepas dari regulasi. Ketika regulasinya inklusif, maka
praksis pendidikan juga inklusif, namun ketika regulasinya eksklusif, maka
praksis pendidikan di lapangan juga amat eksklusif. Munculnya Surat Keputusan
Bersama (SKB) Tiga Menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri
Dalam Negeri, dan Menteri Agama, tentang Seragam Sekolah (yang kemudian
dibatalkan oleh Mahkamah Agung) adalah cermin dari praksis pendidikan yang
eksklusif dan tidak berwawasan kebangsaan. Praksis pendidikan yang
eksklusif dan mengeksklusikan yang beda itu tampak pula dari ucapan salam
perjumpaan/pengakhiran pelajaran yang menggunakan bahasa agama mayoritas.
Demikian pula dalam hal berdoa selalu menggunakan doa agama mayoritas.
Padahal, dalam kelas ada pemeluk agama minoritas, sehingga mereka selalu
merasa tereksklusikan di kelas. KHD mengembangkan ucapan salam
perjumpaan/pengakhiran dengan mengadopsi bahasa universal, yaitu “Salam dan
Bahagia”, yang akan dijawab dengan ucapan “Salam”. Sayang, konsep dan praksis
pendidikan Tamansiswa yang indah, inklusif, memerdekakan, berbudaya, dan
manusiawi itu tergerus oleh zaman sehingga sulit mendapatkan contoh baik di
lingkungan Perguruan Tamansiswa saat ini. Meski demikian, tidak
salah bila para penggiat pendidikan, bermimpi agar negara hadir untuk
mewujudkan konsep dan praksis pendidikan kebangsaan seperti yang sudah
dijalankan oleh Tamansiswa masa silam. Besarnya kerinduan tersebut tampak
dari maraknya pengkajian pemikiran dan praksis pendidikan Tamansiswa selama
lima tahun terakhir di berbagai kalangan. Kerinduan itu dipicu oleh
praksis pendidikan nasional, terutama di sekolah-sekolah negeri yang makin
agamis dan cenderung menebarkan benih-benih intoleransi. Sekolah-sekolah
negeri yang pada masa lalu menjadi pilihan pertama bagi setiap orang tua yang
ingin menyekolahkan anaknya tanpa adanya hambatan berupa suku, ras, agama,
dan golongan; sekarang justru berada dalam darurat intoleransi; sehingga bila
dibiarkan berlarut sekolahnya yang seharusnya menyemai benih-benih
kebangsaan, justru berkontribusi bagi hancurnya suatu bangsa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar