Sabtu, 10 Juli 2021

 

Hadirkan Kedaruratan, Hadirkan Harapan

Budiman Tanuredjo ;  Wartwan Senior Kompas

KOMPAS, 3 Juli 2021

 

 

                                                           

“Mari kita optimistis. Jangan  pesimistis. Bangsa ini tidak akan menjadi bangsa besar jika masyarakatnya pesimistis. Masih banyak masyarakat  yang mencintai negeri ini. Mari kita bersatu untuk negeri ini.”

 

Prof Dr dr Samsuridjal Djauzi, Sp.PD-KAI

 

Di tengah kecemasan dan kekhawatiran publik soal tidak  terkendalinya penularan Covid-19, pandangan Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2021 itu terasa menyejukkan. Samsuridjal menyampaikan pendapat itu saat menerima Anugerah Cendekiawan Berdedikasi Kompas secara virtual  di Jakarta. Selain kepada Samsuridjal, Kompas juga memberikan Anugerah Cendekiawan Berdedikasi kepada Nafsiah Mboi, mantan Menteri Kesehatan.

 

Kegalauan sedang terjadi di Republik. Ada perasaan cemas dan gemas. Ada  perasaan marah dan lelah.  Ada perasaan jengkel. Ada situasi psikologis yang menekan ketika warga dikungkung pandemi. Penularan Covid-19 yang begitu tinggi mencemaskan. Penularan harian terus berada di angka 20.000. Bahkan, pada hari Jumat, 2 Juli 2021, sudah berada pada angka 25.830. Layanan kesehatan kolaps. Jakarta yang punya fasilitas kesehatan terlengkap mempersiapkan 60.000 tempat tidur. Itu sudah terlampaui. Angka pada  Kamis sudah 72.000 pasien.  ”Jakarta memang krisis,” ucap Gubernur Jakarta Anies Baswedan.  Kematian di Jakarta dan daerah lain begitu tinggi.

 

Jeritan rakyat terjadi di mana-mana. Krisis kamar. Krisis oksigen. Cari rumah sakit susah dan segala litani jeritan publik. Pada 1 Juli 2021, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemberlakuan  pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat diterapkan 3 Juli - 20 Juli 2021. Presiden menunjuk  Luhut Binsar Pandjaitan, menteri paling senior di kabinet Jokowi,  sebagai koordinator PPKM darurat Jawa dan Bali. Tidak ada kata terlambat untuk itu.

 

Pandemi di Indonesia memang melahirkan banyak narasi. Ada lockdown. Karantina wilayah. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro. PPKM mikro dengan penebalan. Dan kini PPKM darurat. Narasi-narasi itu memancing perdebatan. Namun, perdebatan itu kadang terasa kosong karena orang punya pemahaman berbeda soal definisi itu.

 

Ini ibarat apa yang dikatakan sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana bahwa bahasa Indonesia dalam puisi ibarat, ”kegirangan sahut menyahut kicauan burung-burung di hutan.” Perdebatan terjadi terhadap satu definisi yang dipahami berbeda-beda. Ibarat kicauan burung di hutan. Padahal, esensinya adalah ”pembatasan  kegiatan masyarakat”.

 

Yang terjadi adalah perdebatan hampa mengenai konsep. Situasi diperparah dengan perilaku pemimpin yang tak satu kata dan perbuatan. Tidak walk the talk. Ingin menggembirakan semuanya. Corak pemimpin di pusat dan daerah yang kadang semau gue karena memikirkan citra politik.  Tidak ada komando tunggal.  Buah dari itu semua adalah kepanikan seperti yang terlihat sekarang. Semua sudah berlalu.

 

Semoga PPKM darurat  yang diumumkan Presiden Jokowi  tak hanya sekadar istilah. Kedaruratan harus hadir di lapangan  pada hari pertama.  Jika pesan  kedaruratan  fisik itu tak nyata, dikhawatirkan situasi akan sama saja. Kedaruratan di kawasan favorit  Jakarta, untuk sepeda dan olahraga,  perlu dihadirkan secara nyata.   TNI, Polri, dan satpol PP perlu hadir serta nyata menutup jalan, misalnya,  meski tidak harus menjadi situasi darurat sipil.

 

Selain hadirnya kedaruratan, sinyal harapan harus dikirimkan. Negara hadir mempersiapkan tempat isolasi mandiri terpusat. Mengubah stadion, mengubah gedung pertemuan sebagai rumah sakit darurat. Menambah kapasitas rumah sakit dan memobilisasi sumber daya manusia.

 

Keresahan publik mencari rumah sakit barangkali bisa dijawab dengan sistem informasi rumah sakit real time. Pengetesan berbasis wilayah perlu dilakukan untuk memisahkan orang terinfeksi agar tak menulari yang lain. Percepatan vaksinasi menjadi keniscayaan dengan membuka sentra vaksin berserak, tetapi berkesinambungan. Tidak perlu mobilisasi dalam jumlah yang mengandung risiko penularan.

 

Sinyal harapan dan kedaruratan harus dihadirkan bersama. Pemerintah perlu  menyampaikan sinyal, siap mengatasi pandemi bersama  masyarakat. Seperti kata Samsuridjal, masih banyak orang baik di negeri ini. Ada Rimawan Pradiptyo (Sonjo, Sambatan Yogya),  ada Ketua Umum Gerakan Sejangkauan Tangan Endry Sulistyo yang mengumpulkan sayuran untuk diambil yang membutuhkan, ada Rifqi (Koordinator Relawan Sibulan) yang menyediakan ambulans gratis untuk mengantar pasien Covid-19, ada LaporCovid-19, dan masih banyak lagi gerakan akar rumput untuk  membantu sesama.

 

Gerakan akar rumput  mulai lelah. Dalam pernyataan sikap bersama Lembaga Kemanusiaan di Yogyakarta, mereka menyatakan, ”Kepada masyarakat DIY, kami segenap gerakan kemanusiaan, mohon maaf, kami telah sampai pada batas kemampuan kami. Kami tidak mampu melangkah lebih jauh untuk mengambil kebijakan afirmatif dan progresif untuk masyarakat DIY. Saatnya otoritas menunjukkan sense of crisis dan  sense of urgency untuk menangani eskalasi situasi tidak berkembang jadi lebih buruk.”

 

Sinyal bendera putih akar rumput dikibarkan. Namun, hadirnya PPKM darurat hendaknya memberi sinyal kegentingan negara  untuk mengatasi pandemi, untuk mengambil kebijakan afirmatif penyelamatan bangsa.

 

Singkirkan dulu kepentingan politik pragmatis, kesampingkan  dulu gagasan mercusuar pembangunan  infrastruktur, termasuk ibu kota baru.  Fokuslah pada penyelamatan manusia dan bangsa agar ”api” semangat akar rumput tetap menyala. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar