Hadirkan
Kedaruratan, Hadirkan Harapan Budiman Tanuredjo ; Wartwan Senior Kompas |
KOMPAS, 3 Juli 2021
“Mari
kita optimistis. Jangan pesimistis.
Bangsa ini tidak akan menjadi bangsa besar jika masyarakatnya pesimistis.
Masih banyak masyarakat yang mencintai
negeri ini. Mari kita bersatu untuk negeri ini.” Prof
Dr dr Samsuridjal Djauzi, Sp.PD-KAI Di tengah kecemasan dan
kekhawatiran publik soal tidak
terkendalinya penularan Covid-19, pandangan Cendekiawan Berdedikasi
Kompas 2021 itu terasa menyejukkan. Samsuridjal menyampaikan pendapat itu
saat menerima Anugerah Cendekiawan Berdedikasi Kompas secara virtual di Jakarta. Selain kepada Samsuridjal,
Kompas juga memberikan Anugerah Cendekiawan Berdedikasi kepada Nafsiah Mboi,
mantan Menteri Kesehatan. Kegalauan sedang terjadi
di Republik. Ada perasaan cemas dan gemas. Ada perasaan marah dan lelah. Ada perasaan jengkel. Ada situasi
psikologis yang menekan ketika warga dikungkung pandemi. Penularan Covid-19
yang begitu tinggi mencemaskan. Penularan harian terus berada di angka
20.000. Bahkan, pada hari Jumat, 2 Juli 2021, sudah berada pada angka 25.830.
Layanan kesehatan kolaps. Jakarta yang punya fasilitas kesehatan terlengkap
mempersiapkan 60.000 tempat tidur. Itu sudah terlampaui. Angka pada Kamis sudah 72.000 pasien. ”Jakarta memang krisis,” ucap Gubernur
Jakarta Anies Baswedan. Kematian di
Jakarta dan daerah lain begitu tinggi. Jeritan rakyat terjadi di
mana-mana. Krisis kamar. Krisis oksigen. Cari rumah sakit susah dan segala
litani jeritan publik. Pada 1 Juli 2021, Presiden Joko Widodo mengumumkan
pemberlakuan pembatasan kegiatan
masyarakat (PPKM) darurat diterapkan 3 Juli - 20 Juli 2021. Presiden
menunjuk Luhut Binsar Pandjaitan,
menteri paling senior di kabinet Jokowi,
sebagai koordinator PPKM darurat Jawa dan Bali. Tidak ada kata
terlambat untuk itu. Pandemi di Indonesia
memang melahirkan banyak narasi. Ada lockdown. Karantina wilayah. Pembatasan
sosial berskala besar (PSBB). Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat
(PPKM) mikro. PPKM mikro dengan penebalan. Dan kini PPKM darurat.
Narasi-narasi itu memancing perdebatan. Namun, perdebatan itu kadang terasa
kosong karena orang punya pemahaman berbeda soal definisi itu. Ini ibarat apa yang
dikatakan sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana bahwa bahasa Indonesia dalam
puisi ibarat, ”kegirangan sahut menyahut kicauan burung-burung di hutan.”
Perdebatan terjadi terhadap satu definisi yang dipahami berbeda-beda. Ibarat
kicauan burung di hutan. Padahal, esensinya adalah ”pembatasan kegiatan masyarakat”. Yang terjadi adalah
perdebatan hampa mengenai konsep. Situasi diperparah dengan perilaku pemimpin
yang tak satu kata dan perbuatan. Tidak walk the talk. Ingin menggembirakan
semuanya. Corak pemimpin di pusat dan daerah yang kadang semau gue karena
memikirkan citra politik. Tidak ada
komando tunggal. Buah dari itu semua
adalah kepanikan seperti yang terlihat sekarang. Semua sudah berlalu. Semoga PPKM darurat yang diumumkan Presiden Jokowi tak hanya sekadar istilah. Kedaruratan
harus hadir di lapangan pada hari
pertama. Jika pesan kedaruratan
fisik itu tak nyata, dikhawatirkan situasi akan sama saja. Kedaruratan
di kawasan favorit Jakarta, untuk
sepeda dan olahraga, perlu dihadirkan
secara nyata. TNI, Polri, dan satpol
PP perlu hadir serta nyata menutup jalan, misalnya, meski tidak harus menjadi situasi darurat
sipil. Selain hadirnya
kedaruratan, sinyal harapan harus dikirimkan. Negara hadir mempersiapkan
tempat isolasi mandiri terpusat. Mengubah stadion, mengubah gedung pertemuan
sebagai rumah sakit darurat. Menambah kapasitas rumah sakit dan memobilisasi
sumber daya manusia. Keresahan publik mencari
rumah sakit barangkali bisa dijawab dengan sistem informasi rumah sakit real
time. Pengetesan berbasis wilayah perlu dilakukan untuk memisahkan orang
terinfeksi agar tak menulari yang lain. Percepatan vaksinasi menjadi
keniscayaan dengan membuka sentra vaksin berserak, tetapi berkesinambungan.
Tidak perlu mobilisasi dalam jumlah yang mengandung risiko penularan. Sinyal harapan dan
kedaruratan harus dihadirkan bersama. Pemerintah perlu menyampaikan sinyal, siap mengatasi pandemi
bersama masyarakat. Seperti kata
Samsuridjal, masih banyak orang baik di negeri ini. Ada Rimawan Pradiptyo
(Sonjo, Sambatan Yogya), ada Ketua
Umum Gerakan Sejangkauan Tangan Endry Sulistyo yang mengumpulkan sayuran
untuk diambil yang membutuhkan, ada Rifqi (Koordinator Relawan Sibulan) yang
menyediakan ambulans gratis untuk mengantar pasien Covid-19, ada
LaporCovid-19, dan masih banyak lagi gerakan akar rumput untuk membantu sesama. Gerakan akar rumput mulai lelah. Dalam pernyataan sikap bersama
Lembaga Kemanusiaan di Yogyakarta, mereka menyatakan, ”Kepada masyarakat DIY,
kami segenap gerakan kemanusiaan, mohon maaf, kami telah sampai pada batas
kemampuan kami. Kami tidak mampu melangkah lebih jauh untuk mengambil
kebijakan afirmatif dan progresif untuk masyarakat DIY. Saatnya otoritas
menunjukkan sense of crisis dan sense
of urgency untuk menangani eskalasi situasi tidak berkembang jadi lebih
buruk.” Sinyal bendera putih akar
rumput dikibarkan. Namun, hadirnya PPKM darurat hendaknya memberi sinyal
kegentingan negara untuk mengatasi
pandemi, untuk mengambil kebijakan afirmatif penyelamatan bangsa. Singkirkan dulu
kepentingan politik pragmatis, kesampingkan
dulu gagasan mercusuar pembangunan
infrastruktur, termasuk ibu kota baru.
Fokuslah pada penyelamatan manusia dan bangsa agar ”api” semangat akar
rumput tetap menyala. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar