Laut
Kita Sarat Pungli Oki Lukito ; Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim,
Perikanan; Pengurus DPD Pelra Jawa Timur dan Bali |
KOMPAS, 10 Juli 2021
Masalah pungutan liar atau
pungli di kawasan pelabuhan kembali mencuat saat Presiden Joko Widodo
menerima keluhan dari para sopir truk kontainer di Tanjung Priok, Jakarta,
beberapa waktu lalu (Kompas, 12/6/2021). Faktanya bukan hanya soal pemalakan
terhadap sopir truk oleh preman, pungli diperkirakan juga sudah menjadi
endemik di industri pelayaran. Korbannya tidak hanya kapal-kapal niaga
nasional (INSA), tetapi juga merambah ke kapal kapal rakyat tradisional
(Pelra) yang melayani logistik antarpulau ataupun kapal nelayan. Sejujurnya, pungli ini
tidak hanya terjadi di pelabuhan yang menyebabkan biaya tinggi operasional,
tetapi di tengah laut pun pungutan tidak resmi itu marak dan akut. Dampaknya
berimbas pada tarif biaya logistik. Secara tidak langsung biaya operasional
akan dibebankan pada tarif jasa yang ujung-ujungnya dibayar konsumen. Perlu dicatat, sebelum
terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tanggal 21 Oktober
tentang Saber Pungli, kapal nelayan, armada pelayaran rakyat sering menjadi
bulan-bulanan oknum penegakan hukum (gakum) di laut. Mulai dari pungutan Rp
50.000, Rp 100.000, bahkan ada yang mencapai jutaan rupiah. Ditengarai, perbuatan
rasuah itu juga merasuk di otoritas pelabuhan yang berurusan dengan
penerbitan surat pemberitahuan berlayar (SPB). Sebab, pada kenyataannya tidak
semua kapal, terutama kapal rakyat dan kapal ikan, mempunyai kelengkapan
dokumen sebagaimana disyaratkan regulator. Misalnya dokumen radio, kesehatan
dan dokumen kelayakan kapal, manifes ABK, buku pelaut nakhoda, juru mesin,
kelasi, serta kelengkapan keselamatan berlayar kerap dijadikan modus. Celah
lainnya adalah penerbitan surat dispensasi barang muatan di atas dek kapal
(on deck) yang praktiknya tawar-menawar. Bukan hanya itu, persoalan
lain yang juga menghantui sekitar 800 kapal Pelra dan rentan jadi sasaran
pungli adalah aturan ketentuan titik serah solar bersubsidi yang tidak
diberikan di lokasi asal kapal. Contohnya, kapal ada di Pelabuhan Gresik,
tetapi titik serahnya berada di Semarang sesuai dengan lampiran surat keputusan
BPH Migas. Untuk menuju Semarang perlu biaya tambahan membeli solar
nonsubsidi yang selisih harganya Rp 3.000-Rp 5.000 per liter. Sementara
stasiun pompa bahan bakar bersubsidi (SPBB) sebagai penyalur BBM subsidi
rentan dikenai sanksi jika melanggar. Hal itu pun dijadikan incaran oknum. Buku pelaut termasuk
menjadi sasaran empuk dan dipermasalahkan oknum aparat. Pasalnya, salah satu
buku pelaut untuk Juru Mesin Pelayaran Rakyat (JMPR) dan Mualim Pelayaran
Rakyat (MPR) yang berwarna merah tidak berlaku di Makassar dan yang di Pulau
Jawa hanya bisa diurus di Semarang, Jawa Tengah. Sedangkan buku pelaut Basic
Safety Training (BST) warna hijau yang diterbitkan oleh Direktorat Perkapalan
dan Kepelautan (Ditkapel), Kementerian Perhubungan, untuk kru KLM banyak yang
tidak memenuhi ketentuan menyangkut ijazah kelulusan dan pengurusannya via
online tidak bisa diakses lagi. Dihadang Kejadian ironi beberapa
waktu lalu menimpa kapal nelayan asal Probolinggo, Jawa Timur. Empat kapal
ikan bermuatan penuh setelah seminggu di laut itu ketika berlayar menuju
pelabuhan dihadang di perairan dekat Pelabuhan Ikan Mayangan, Kota
Probolinggo, dan dimintai sejumlah uang oleh oknum kapal patroli karena
nakhodanya tidak bisa menunjukkan surat kesehatan ABK. Keesokan harinya, menurut
pengakuan nakhoda, uang Rp 4 juta yang diminta sehari sebelumnya
dikembalikan. Operasi gelapnya bocor ke petinggi di instansi di Kawasan
Ujung, Tanjung Perak, Surabaya. Demikian pula dengan digantungnya izin
beroperasinya kapal cantrang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
rawan dijadikan ajang pungli jika nelayan bersikeras berlayar. Kejadian serupa kerap
dialami armada kapal rakyat di sejumlah wilayah ketika akan keluar atau masuk
pelabuhan. Di Gresik, misalnya, nakhoda kapal tradisional dengan trayek
Gresik-Banjarmasin sedikitnya harus berbekal uang ekstra Rp 5 juta-Rp 8 juta
sekali jalan. Ditengarai terdapat 6-8 lokasi ”cium pantat” di perairan Gresik
yang biasanya menjadi lokasi penghadangan oknum Gakkum. Kapal penghadang yang
digunakan dari berbagai jenis, dari kelas patroli hingga speedboat. Uang yang
diminta besarannya bervariasi, Rp 100.000 hingga Rp 500.000 tergantung dari
asal institusinya. Jika ada kelengkapan dokumen kapal yang kurang atau habis
masa berlakunya, tarifnya jutaan rupiah. Pernah terjadi nakhoda
kapal rakyat dengan muatan kosong dari Banjarmasin diminta setor Rp 3 juta,
lokasinya sekitar 10 mil sebelum masuk Pelabuhan Gresik. Operasi ”ramah
lingkungan” itu terbongkar setelah nakhoda menginfokan ke lembaga swadaya
masyarakat. Dua hari kemudian, uang dikembalikan atas perintah petinggi salah
satu instansi Gakkum Jawa Timur. Kejadian serupa dialami
kapal yang akan keluar Pelabuhan Kalimas, Surabaya, dengan tujuan Bima, Nusa
Tenggara Barat, ataupun Makassar. Pemilik kapal mengeluh. Nakhodanya dimintai
Rp 3 juta-Rp 4 juta sekali jalan. Di Pelabuhan Paotere,
Makassar, kapal rakyat keluar masuk pelabuhan, nakhoda sedikitnya menyiapkan
”upeti” Rp 2 juta-Rp 3 juta, sedangkan untuk keluar masuk Pelabuhan Bima Rp 200.000-Rp
300.000. Hal serupa berlangsung pula di perairan Kalimantan Selatan, sekitar
Batu Licin, Banjarmasin, yang merupakan pangkalan kapal rakyat dari sejumlah
daerah. Pemalakan tampaknya bukan menjadi rahasia umum dan hampir semua
pemangku kepentingan pelayaran menjadi korbannya. Kementerian Koordinator
Bidang Kemaritiman perlu mengondisikan kementerian di bawahnya untuk
pencegahan pungli yang semakin marak terjadi. Banyak lembaga yang terlibat
dalam penegakan peraturan pelayaran, seperti TNI Angkatan Laut, Polisi Laut
(Polair), Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Bea dan Cukai, Kesatuan
Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KP3) atau Port Security Authority, hingga
Administrator Pelabuhan (Adpel) masih bertindak sendiri sesuai dengan payung
hukum instansinya. Undang-Undang (UU) Nomor
17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengamanatkan pemerintah untuk membentuk
Badan Penjagaan Laut dan Pantai (sea and coast guard) sebagai lembaga tunggal
yang berwenang dalam kegiatan penegakan aturan di bidang pelayaran. Menurut
catatan, lebih kurang sembilan instansi mempunyai kewenangan di laut sesuai
dengan ketentuan UU yang dimiliki. Tujuh instansi di antaranya memiliki dan
dilengkapi kapal patroli, yaitu TNI AL, Polair, KPLP (Kementerian
Perhubungan), Bea Cukai (Kementerian Keuangan), Satgas 115 KKP, dan Bakamla. Dengan banyaknya instansi
yang mengurusi laut seharusnya pemangku kepentingan pelayaran merasa nyaman
dan aman selama berada di laut. Bukan sebaliknya, satu kapal bisa
diberhentikan dan diperiksa di tengah laut lebih dari dua kali oleh kapal
patroli dari instansi berlainan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar