Selasa, 13 Juli 2021

 

Laut Kita Sarat Pungli

Oki Lukito ;  Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan; Pengurus DPD Pelra Jawa Timur dan Bali

KOMPAS, 10 Juli 2021

 

 

                                                           

Masalah pungutan liar atau pungli di kawasan pelabuhan kembali mencuat saat Presiden Joko Widodo menerima keluhan dari para sopir truk kontainer di Tanjung Priok, Jakarta, beberapa waktu lalu (Kompas, 12/6/2021). Faktanya bukan hanya soal pemalakan terhadap sopir truk oleh preman, pungli diperkirakan juga sudah menjadi endemik di industri pelayaran. Korbannya tidak hanya kapal-kapal niaga nasional (INSA), tetapi juga merambah ke kapal kapal rakyat tradisional (Pelra) yang melayani logistik antarpulau ataupun kapal nelayan.

 

Sejujurnya, pungli ini tidak hanya terjadi di pelabuhan yang menyebabkan biaya tinggi operasional, tetapi di tengah laut pun pungutan tidak resmi itu marak dan akut. Dampaknya berimbas pada tarif biaya logistik. Secara tidak langsung biaya operasional akan dibebankan pada tarif jasa yang ujung-ujungnya dibayar konsumen.

 

Perlu dicatat, sebelum terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tanggal 21 Oktober tentang Saber Pungli, kapal nelayan, armada pelayaran rakyat sering menjadi bulan-bulanan oknum penegakan hukum (gakum) di laut. Mulai dari pungutan Rp 50.000, Rp 100.000, bahkan ada yang mencapai jutaan rupiah.

 

Ditengarai, perbuatan rasuah itu juga merasuk di otoritas pelabuhan yang berurusan dengan penerbitan surat pemberitahuan berlayar (SPB). Sebab, pada kenyataannya tidak semua kapal, terutama kapal rakyat dan kapal ikan, mempunyai kelengkapan dokumen sebagaimana disyaratkan regulator. Misalnya dokumen radio, kesehatan dan dokumen kelayakan kapal, manifes ABK, buku pelaut nakhoda, juru mesin, kelasi, serta kelengkapan keselamatan berlayar kerap dijadikan modus. Celah lainnya adalah penerbitan surat dispensasi barang muatan di atas dek kapal (on deck) yang praktiknya tawar-menawar.

 

Bukan hanya itu, persoalan lain yang juga menghantui sekitar 800 kapal Pelra dan rentan jadi sasaran pungli adalah aturan ketentuan titik serah solar bersubsidi yang tidak diberikan di lokasi asal kapal. Contohnya, kapal ada di Pelabuhan Gresik, tetapi titik serahnya berada di Semarang sesuai dengan lampiran surat keputusan BPH Migas. Untuk menuju Semarang perlu biaya tambahan membeli solar nonsubsidi yang selisih harganya Rp 3.000-Rp 5.000 per liter. Sementara stasiun pompa bahan bakar bersubsidi (SPBB) sebagai penyalur BBM subsidi rentan dikenai sanksi jika melanggar. Hal itu pun dijadikan incaran oknum.

 

Buku pelaut termasuk menjadi sasaran empuk dan dipermasalahkan oknum aparat. Pasalnya, salah satu buku pelaut untuk Juru Mesin Pelayaran Rakyat (JMPR) dan Mualim Pelayaran Rakyat (MPR) yang berwarna merah tidak berlaku di Makassar dan yang di Pulau Jawa hanya bisa diurus di Semarang, Jawa Tengah. Sedangkan buku pelaut Basic Safety Training (BST) warna hijau yang diterbitkan oleh Direktorat Perkapalan dan Kepelautan (Ditkapel), Kementerian Perhubungan, untuk kru KLM banyak yang tidak memenuhi ketentuan menyangkut ijazah kelulusan dan pengurusannya via online tidak bisa diakses lagi.

 

Dihadang

 

Kejadian ironi beberapa waktu lalu menimpa kapal nelayan asal Probolinggo, Jawa Timur. Empat kapal ikan bermuatan penuh setelah seminggu di laut itu ketika berlayar menuju pelabuhan dihadang di perairan dekat Pelabuhan Ikan Mayangan, Kota Probolinggo, dan dimintai sejumlah uang oleh oknum kapal patroli karena nakhodanya tidak bisa menunjukkan surat kesehatan ABK.

 

Keesokan harinya, menurut pengakuan nakhoda, uang Rp 4 juta yang diminta sehari sebelumnya dikembalikan. Operasi gelapnya bocor ke petinggi di instansi di Kawasan Ujung, Tanjung Perak, Surabaya. Demikian pula dengan digantungnya izin beroperasinya kapal cantrang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) rawan dijadikan ajang pungli jika nelayan bersikeras berlayar.

 

Kejadian serupa kerap dialami armada kapal rakyat di sejumlah wilayah ketika akan keluar atau masuk pelabuhan. Di Gresik, misalnya, nakhoda kapal tradisional dengan trayek Gresik-Banjarmasin sedikitnya harus berbekal uang ekstra Rp 5 juta-Rp 8 juta sekali jalan. Ditengarai terdapat 6-8 lokasi ”cium pantat” di perairan Gresik yang biasanya menjadi lokasi penghadangan oknum Gakkum.

 

Kapal penghadang yang digunakan dari berbagai jenis, dari kelas patroli hingga speedboat. Uang yang diminta besarannya bervariasi, Rp 100.000 hingga Rp 500.000 tergantung dari asal institusinya. Jika ada kelengkapan dokumen kapal yang kurang atau habis masa berlakunya, tarifnya jutaan rupiah.

 

Pernah terjadi nakhoda kapal rakyat dengan muatan kosong dari Banjarmasin diminta setor Rp 3 juta, lokasinya sekitar 10 mil sebelum masuk Pelabuhan Gresik. Operasi ”ramah lingkungan” itu terbongkar setelah nakhoda menginfokan ke lembaga swadaya masyarakat. Dua hari kemudian, uang dikembalikan atas perintah petinggi salah satu instansi Gakkum Jawa Timur.

 

Kejadian serupa dialami kapal yang akan keluar Pelabuhan Kalimas, Surabaya, dengan tujuan Bima, Nusa Tenggara Barat, ataupun Makassar. Pemilik kapal mengeluh. Nakhodanya dimintai Rp 3 juta-Rp 4 juta sekali jalan.

 

Di Pelabuhan Paotere, Makassar, kapal rakyat keluar masuk pelabuhan, nakhoda sedikitnya menyiapkan ”upeti” Rp 2 juta-Rp 3 juta, sedangkan untuk keluar masuk Pelabuhan Bima Rp 200.000-Rp 300.000. Hal serupa berlangsung pula di perairan Kalimantan Selatan, sekitar Batu Licin, Banjarmasin, yang merupakan pangkalan kapal rakyat dari sejumlah daerah. Pemalakan tampaknya bukan menjadi rahasia umum dan hampir semua pemangku kepentingan pelayaran menjadi korbannya.

 

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman perlu mengondisikan kementerian di bawahnya untuk pencegahan pungli yang semakin marak terjadi. Banyak lembaga yang terlibat dalam penegakan peraturan pelayaran, seperti TNI Angkatan Laut, Polisi Laut (Polair), Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Bea dan Cukai, Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KP3) atau Port Security Authority, hingga Administrator Pelabuhan (Adpel) masih bertindak sendiri sesuai dengan payung hukum instansinya.

 

Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengamanatkan pemerintah untuk membentuk Badan Penjagaan Laut dan Pantai (sea and coast guard) sebagai lembaga tunggal yang berwenang dalam kegiatan penegakan aturan di bidang pelayaran. Menurut catatan, lebih kurang sembilan instansi mempunyai kewenangan di laut sesuai dengan ketentuan UU yang dimiliki. Tujuh instansi di antaranya memiliki dan dilengkapi kapal patroli, yaitu TNI AL, Polair, KPLP (Kementerian Perhubungan), Bea Cukai (Kementerian Keuangan), Satgas 115 KKP, dan Bakamla.

 

Dengan banyaknya instansi yang mengurusi laut seharusnya pemangku kepentingan pelayaran merasa nyaman dan aman selama berada di laut. Bukan sebaliknya, satu kapal bisa diberhentikan dan diperiksa di tengah laut lebih dari dua kali oleh kapal patroli dari instansi berlainan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar