Kerumitan
Garcia Marquez dan Keindahan Metafora Akhmad Idris ; Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi
Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya, Surabaya |
KOMPAS, 11 Juli 2021
Judul
:
Para Peziarah yang Janggal (Terjemahan
dari Strange Pilgrims yang juga terjemahan dari naskah asli Doce Quentos
Peregrinos) Penulis
:
Gabriel Garcia Marquez Penerjemah
:
Ariyantri E. Tarman Penerbit
:
Gramedia Pustaka Utama Cetakan
: I, 2021 Tebal
: 189 halaman -------------------------- ISBN : 978-602-06-3842-3 Pada umumnya orang
melakukan ziarah suatu proses perenungan. Sementara pemilihan tempat-tempat
sakral sebagai tujuan didasari atas makna dari ziarah itu sendiri yang
berarti kunjungan ke tempat yang dianggap mulia atau keramat. Namun dalam buku Para
Peziarah yang Janggal, Gabriel Garcia Marquez justru menyajikan cerita-cerita
pendek tentang ziarah yang tidak pada umumnya. Sebut saja seperti cerita
tentang ziarah seorang mantan presiden ke negara yang pernah dipimpinnya
hanya untuk meramal kematiannya menggunakan ampas kopi dalam cerpen Bon
Voyage, Tuan Presiden hingga cerita tentang seekor anjing yang bisa menangis
saat menziarahi ‘calon’ kuburan pemiliknya. Agaknya hal-hal tak biasa inilah
yang membuat Gabriel Garcia Marquez menyebut para peziarah dalam
cerpen-cerpennya sebagai ‘yang janggal’. Jejak
rumit Garcia Marquez Di dalam Para Peziarah
yang Janggal, terdapat dua belas judul cerpen yang diselesaikan dalam rentang
waktu delapan belas tahun. Jika dikalkulasikan secara matematis, maka setiap
cerpen membutuhkan waktu setahun lebih untuk dikatakan layak terbit, namun
menulis karya sastra tidak sesederhana kalkulasi matematis. Gabriel Garcia Marquez
mengisahkan bahwa ide cerita pertama bermula pada tahun 1970-an yang berisi
tentang mimpinya menghadiri pemakamannya sendiri. Kurang-lebih selama dua
tahun dia berhasil mengumpulkan 64 gagasan cerita pendek. Pada tahun 1974,
Marquea sadar bahwa 64 ide cerita itu tak akan pernah menjadi novel sebagaimana
rencana awalnya, tetapi akan menjadi sekumpulan cerita pendek. Dua tahun kemudian Marquez
mulai menulis dua cerita pertama “Jejak Darahmu di Salju” dan “Musim Panas
Kebahagiaan Nona Forbes”, lalu memublikasikannya. Marquez sempat kehilangan
energi untuk menyelesaikan ceritanya yang ketiga tentang mimpi menghadiri
pemakaman dirinya sendiri, namun kemudian berlanjut lahi ketika dia
mengalihkan perhatian ke cerita keempat. Sampai suatu saat Marquez memutuskan
untuk menepikan sejenak 64 ide cerita itu. Empat tahun Gabriel Garcia
Marquez mengendapkannya, lalu dengan susah payah melanjutkan. Akhirnya, dia
berhasil merekonstruksi tiga puluh cerita dari 64 ide tersebut. Dari tiga
puluh cerita tersebut, Marquez akhirnya hanya merekonstruksi delapan belas cerita.
Dia berusaha kembali menulis, namun di sisi lain Marquez juga menyadari bahwa
dia telah kehilangan antusiasme, yang akhirnya kembali tertunda. Pada tahun 1979, dia
disibukkan dengan upaya lainnya untuk memulai Cronica de una muerte anunciada atau Chronicle of a Death Foretold, lalu antara Oktober 1980 dan Maret
1984 dia menyibukkan diri dengan menulis di kolom mingguan demi menjaga
rutinitas menulisnya. Marquez mulai melanjutkan menulis delapan belas cerita
yang tertunda, berhenti sejenak ketika lelah, lalu melanjutkannya lagi.
Selang setahun lebih sedikit, enam dari delapan belas tema yang ada berakhir
di tempat sampah. Satu di antaranya adalah cerita tentang mimpinya menghadiri
pemakamannya sendiri. Akhirnya Marquez
memutuskan, dua belas cerita yang tersisa dipublikasikan dalam kumpulan
cerpen Para Peziarah yang Janggal (Strange Pilgirms) setelah dua tahun
berjibaku dengan rasa lelah. Namun, lagi-lagi Gabriel Garcia Marquez kembali
menghadapi masalah di menit-menit terakhir. Dia terganggu dengan keragu-raguan
ihwal gambaran kota-kota Eropa yang melatari ceritanya yang hanya berdasarkan
memori jarak jauh. Marquez ingin memverifikasi ingatannya setelah dua puluh
tahun tak menziarahinya, agar kembali terhubung dengan kota-kota tersebut. Setelah melakukan ziarah
singkat ke kota-kota tersebut, ternyata dua puluh tahun membuat sebuah kota
menjadi asing. Dua puluh tahun telah mengubah banyak hal yang akhirnya
membuatnya sadar bahwa dia membutuhkan perspektif mengenai waktu. Akhirnya,
setelah kembali dari ziarah, Marquez menulis ulang semua cerita dari awal
dalam kurun waktu setahun lebih enam bulan, dan jadilah dua belas cerita
pendek dalam buku ini. Agaknya proses kreatif
yang panjang dan melelahkan, serta pergulatan gagasan dalam memberi makna
dalam karya-karyanya yang membuat Gabriel Garcia Marquez meraih penghargaan
Nobel Sastra pada tahun 1982 lewat karyanya, One Hundred Years of Solitude. Marquez hanya menyajikan karya
yang benar-benar ‘matang’, tak peduli jika itu berarti harus banyak cerita
yang ditulisnya berakhir nasibnya di tong sampah. (halaman 7-13) Pesona
ungkapan metaforis Garcia Marquez Setiap karya sastra memang
dituntut indah, karena jika hanya berguna, sastra dan berita tak akan pernah
berbeda. Oleh sebab itu, Horace, yang juga dikutip oleh Rene Wellek dan
Austin Warren dalam Theory of Literature, menyebutkan bahwa karya seni
(sastra) harus mengandung dulce dan utile. Dulce berarti indah dan utile
berarti berguna. Keindahan karya sastra membuatnya seolah menjadi benda
berkelas karena memiliki ciri khas, sedangkan nilai guna di dalamnya
menjadikan sastra seolah petuah yang mengandung banyak hikmah. Aspek dulce
dalam karya sastra dapat dicapai dengan banyak cara, satu di antaranya adalah
bermain-main dengan metafora. Kamus serba tahu Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan
metafora sebagai penggunaan kelompok kata atau kata bukan dalam arti yang
sebenarnya, tetapi menggunakan persamaan atau perbandingan. Karena bukan arti
yang sebenarnya, pembacanya secara tidak langsung diajak oleh penulisnya
untuk menebak-nebak arti yang sebenarnya dari persamaan atau perbandingan
tersebut. Dengan kata lain, metafora pada satu sisi secara sengaja
menyembunyikan maksud yang sebenarnya dengan tujuan tertentu yang membuat
karya sastra lebih estetis, sekaligus di satu sisi lainnya memperjelas maksud
yang tersembunyi lewat pilihan ungkapan metaforis yang sesuai dengan konsep
pengetahuan manusia. George Lakoff dan Mark Johnson dalam Metaphors We Live
By menyebutnya dengan nama metafora konseptual. Menurut George Lakoff dan
Mark Johnson, metafora konseptual adalah hasil pemetaan silang antara
ungkapan yang ditampakkan (disebut sebagai ranah sumber atau source domain)
dan maksud yang disembunyikan (disebut sebagai ranah target atau target
domain) berdasarkan pemahaman terhadap budaya dan lingkungan fisik
masyarakat. Pemetaan ini akan menghasilkan sebuah analogi konseptual yang
memiliki kesesuaian antara source domain dan target domain-nya. Pola seperti ini mampu
dieksplorasi dengan baik oleh Garcia Marquez dalam mendeskripsikan beberapa
objek di dalam Para Peziarah yang Janggal, seperti saat Garcia Marquez
mengungkapkan ketakmanusiawian rumah sakit jiwa dengan sebutan metaforis
‘dasar neraka’ dalam cerpen "Aku
Kemari Hanya untuk Meminjam Telepon": “Kita
ini di mana?” Suara muram dan jelas dari
tetangganya menjawab: “Di
dasar neraka.” (halaman 90) Kutipan di atas merupakan
kutipan singkat yang berupa dialog antara tokoh Maria yang dituduh gila
dengan teman tidur sebelahnya di sebuah rumah sakit jiwa. Tampak jelas bahwa
teman tidur Maria menyamakan rumah sakit jiwa yang mereka tempati dengan
dasar neraka. Dalam hal ini, dasar neraka dapat disebut sebagai source domain
sebab menjadi ungkapan yang ditampakkan dan rumah sakit jiwa sebagai target
domain karena menjadi maksud sebenarnya yang disembunyikan. Berdasarkan gambaran
budaya dan lingkungan fisik di dalam cerpen "Aku Kemari Hanya untuk
Meminjam Telepon", penggunaan metafora ‘dasar neraka’ untuk menyebut
rumah sakit jiwa dilandasi atas satu kesamaan, yakni sama-sama tidak
memanusiakan manusia alias sangat menyiksa. Di dasar neraka, manusia akan
disiksa dengan hukuman yang tak terbayangkan perihnya. Sama halnya dengan
kondisi rumah sakit jiwa di dalam cerpen tersebut, mulai dari kebrutalan para
penjaga dalam memperlakukan para pasien tanpa belas kasihan hingga memberikan
makanan yang bahkan tidak layak diberikan pada seekor anjing. Selain metafora tempat,
Garcia Marquez juga menyajikan metafora makhluk⸻berakal⸻ yang berupa ungkapan
‘malaikat tak bersayap’ untuk menyebut seorang perempuan berhati mulia di
dalam cerpen "Sang Santa", sebagaimana kutipan berikut ini: “Orang
yang sesungguhnya menanggung beban kehidupan sehari-hari adalah kakak
perempuannya, Bibi Antonietta, malaikat tak bersayap yang bekerja untuk Bella
Maria selama berjam-jam pada siang hari.” (halaman 49) Ungkapan metaforis
‘malaikat tak bersayap’ sebagai ranah sumber untuk menyebut seorang perempuan
berhati mulia yang bernama Bibi Antonietta sebagai ranah target didasari atas
satu kesamaan, yaitu sama-sama memiliki sikap yang baik dan mulia. Di dalam
cerpen "Sang Santa", Bibi Antonietta dikisahkan sebagai sosok
perempuan yang rajin membersihkan lantai marmer apartemen dengan sapu &
pengki hingga tampak sangat berkilau dan dengan sukarela menampung tokoh
Margorito di rumahnya saat Margorito tak lagi mampu membayar sewa kamar pada
Bella Maria. Kebaikan dan ketulusan
hati Bibi Antonietta tak jauh berbeda dengan karakter malaikat yang menjadi
simbol dari kebaikan, berbanding terbalik dengan karakter setan/iblis yang
menjadi simbol kejahatan. Oleh sebab itu, perempuan berhati mulia kerap
disebut dengan panggilan malaikat tak bersayap yang berarti jiwanya sama
dengan malaikat tetapi tidak memiliki sayap karena ia tetaplah manusia biasa. Metafora terakhir, selain
metafora tempat dan makhluk, adalah metafora hewan yang dihadirkan oleh
Garcia Marquez lewat sebutan ‘beruang kutub’ untuk menyebut petugas rumah
sakit jiwa bertubuh raksasa yang biasa dipanggil Herculina dalam cerpen
"Aku Kemari Hanya untuk Meminjam Telepon". Untuk lebih jelasnya,
dapat dilihat pada kutipan berikut: “Petugas
itu bertanggung jawab atas kasus-kasus sulit, dan dua tahanan rumah sakit
dicekik sampai mati dengan lengan beruang kutubnya yang piawai dalam seni
pembunuhan tak disengaja.” (halaman 82) Jika dikaitkan dengan
metafora konseptual versi George Lakoff dan Mark Johnson, maka tampak jelas
bahwa ‘lengan beruang kutub’ lah yang menjadi source domain dan petugas
perempuan bertubuh raksasa menjadi target domain. Persamaan yang menonjol
antara dua sosok tersebut adalah bentuk fisik serta daya serang terhadap
lawannnya. Di dalam cerpen "Aku
Kemari Hanya untuk Meminjam Telepon", petugas perempuan bertubuh raksasa
tersebut pernah mencekik dua tahanan rumah sakit hingga mampus dan mampu menghentikan
tokoh Maria cukup dengan hantaman tangan besarnya yang membuat maria terkapar
tak berdaya di atas lantai. Deskripsi ini mirip dengan
struktur tubuh beruang kutub yang memiliki tinggi bisa lebih dari 2,5 meter
dengan berat 400 hingga 600 kilogram, serta dapat melukai satu orang manusia
hanya dengan sekali serangan. Tak berlebihan jika Garcia Marquez menyebut
petugas wanita itu dengan sebutan beruang kutub. Akhir kata, metafora
konseptual adalah satu di antara cara Garcia Marquez untuk mempertegas sisi
‘janggal’ pada diri para peziarah dalam tiga belas cerpennya. Sebuah bukti
bahwa setiap karya sastra selain tak hanya berguna, tapi juga mempesona. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar