Selasa, 13 Juli 2021

 

Kerumitan Garcia Marquez dan Keindahan Metafora

Akhmad Idris ;  Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya, Surabaya

KOMPAS, 11 Juli 2021

 

 

                                                           

Judul : Para Peziarah yang Janggal (Terjemahan dari Strange Pilgrims yang juga terjemahan dari naskah asli Doce Quentos Peregrinos)

 

Penulis : Gabriel Garcia Marquez

 

Penerjemah : Ariyantri E. Tarman

 

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

 

Cetakan : I, 2021

 

Tebal : 189 halaman

 

--------------------------

 

ISBN : 978-602-06-3842-3

 

Pada umumnya orang melakukan ziarah suatu proses perenungan. Sementara pemilihan tempat-tempat sakral sebagai tujuan didasari atas makna dari ziarah itu sendiri yang berarti kunjungan ke tempat yang dianggap mulia atau keramat.

 

Namun dalam buku Para Peziarah yang Janggal, Gabriel Garcia Marquez justru menyajikan cerita-cerita pendek tentang ziarah yang tidak pada umumnya.

 

Sebut saja seperti cerita tentang ziarah seorang mantan presiden ke negara yang pernah dipimpinnya hanya untuk meramal kematiannya menggunakan ampas kopi dalam cerpen Bon Voyage, Tuan Presiden hingga cerita tentang seekor anjing yang bisa menangis saat menziarahi ‘calon’ kuburan pemiliknya. Agaknya hal-hal tak biasa inilah yang membuat Gabriel Garcia Marquez menyebut para peziarah dalam cerpen-cerpennya sebagai ‘yang janggal’.

 

Jejak rumit Garcia Marquez

 

Di dalam Para Peziarah yang Janggal, terdapat dua belas judul cerpen yang diselesaikan dalam rentang waktu delapan belas tahun. Jika dikalkulasikan secara matematis, maka setiap cerpen membutuhkan waktu setahun lebih untuk dikatakan layak terbit, namun menulis karya sastra tidak sesederhana kalkulasi matematis.

 

Gabriel Garcia Marquez mengisahkan bahwa ide cerita pertama bermula pada tahun 1970-an yang berisi tentang mimpinya menghadiri pemakamannya sendiri. Kurang-lebih selama dua tahun dia berhasil mengumpulkan 64 gagasan cerita pendek. Pada tahun 1974, Marquea sadar bahwa 64 ide cerita itu tak akan pernah menjadi novel sebagaimana rencana awalnya, tetapi akan menjadi sekumpulan cerita pendek.

 

Dua tahun kemudian Marquez mulai menulis dua cerita pertama “Jejak Darahmu di Salju” dan “Musim Panas Kebahagiaan Nona Forbes”, lalu memublikasikannya. Marquez sempat kehilangan energi untuk menyelesaikan ceritanya yang ketiga tentang mimpi menghadiri pemakaman dirinya sendiri, namun kemudian berlanjut lahi ketika dia mengalihkan perhatian ke cerita keempat. Sampai suatu saat Marquez memutuskan untuk menepikan sejenak 64 ide cerita itu.

 

Empat tahun Gabriel Garcia Marquez mengendapkannya, lalu dengan susah payah melanjutkan. Akhirnya, dia berhasil merekonstruksi tiga puluh cerita dari 64 ide tersebut. Dari tiga puluh cerita tersebut, Marquez akhirnya hanya merekonstruksi delapan belas cerita. Dia berusaha kembali menulis, namun di sisi lain Marquez juga menyadari bahwa dia telah kehilangan antusiasme, yang akhirnya kembali tertunda.

 

Pada tahun 1979, dia disibukkan dengan upaya lainnya untuk memulai Cronica de una muerte anunciada atau Chronicle of a Death Foretold, lalu antara Oktober 1980 dan Maret 1984 dia menyibukkan diri dengan menulis di kolom mingguan demi menjaga rutinitas menulisnya. Marquez mulai melanjutkan menulis delapan belas cerita yang tertunda, berhenti sejenak ketika lelah, lalu melanjutkannya lagi. Selang setahun lebih sedikit, enam dari delapan belas tema yang ada berakhir di tempat sampah. Satu di antaranya adalah cerita tentang mimpinya menghadiri pemakamannya sendiri.

 

Akhirnya Marquez memutuskan, dua belas cerita yang tersisa dipublikasikan dalam kumpulan cerpen Para Peziarah yang Janggal (Strange Pilgirms) setelah dua tahun berjibaku dengan rasa lelah. Namun, lagi-lagi Gabriel Garcia Marquez kembali menghadapi masalah di menit-menit terakhir. Dia terganggu dengan keragu-raguan ihwal gambaran kota-kota Eropa yang melatari ceritanya yang hanya berdasarkan memori jarak jauh. Marquez ingin memverifikasi ingatannya setelah dua puluh tahun tak menziarahinya, agar kembali terhubung dengan kota-kota tersebut.

 

Setelah melakukan ziarah singkat ke kota-kota tersebut, ternyata dua puluh tahun membuat sebuah kota menjadi asing. Dua puluh tahun telah mengubah banyak hal yang akhirnya membuatnya sadar bahwa dia membutuhkan perspektif mengenai waktu. Akhirnya, setelah kembali dari ziarah, Marquez menulis ulang semua cerita dari awal dalam kurun waktu setahun lebih enam bulan, dan jadilah dua belas cerita pendek dalam buku ini.

 

Agaknya proses kreatif yang panjang dan melelahkan, serta pergulatan gagasan dalam memberi makna dalam karya-karyanya yang membuat Gabriel Garcia Marquez meraih penghargaan Nobel Sastra pada tahun 1982 lewat karyanya, One Hundred Years of Solitude. Marquez hanya menyajikan karya yang benar-benar ‘matang’, tak peduli jika itu berarti harus banyak cerita yang ditulisnya berakhir nasibnya di tong sampah. (halaman 7-13)

 

Pesona ungkapan metaforis Garcia Marquez

 

Setiap karya sastra memang dituntut indah, karena jika hanya berguna, sastra dan berita tak akan pernah berbeda. Oleh sebab itu, Horace, yang juga dikutip oleh Rene Wellek dan Austin Warren dalam Theory of Literature, menyebutkan bahwa karya seni (sastra) harus mengandung dulce dan utile. Dulce berarti indah dan utile berarti berguna. Keindahan karya sastra membuatnya seolah menjadi benda berkelas karena memiliki ciri khas, sedangkan nilai guna di dalamnya menjadikan sastra seolah petuah yang mengandung banyak hikmah. Aspek dulce dalam karya sastra dapat dicapai dengan banyak cara, satu di antaranya adalah bermain-main dengan metafora.

 

Kamus serba tahu Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan metafora sebagai penggunaan kelompok kata atau kata bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi menggunakan persamaan atau perbandingan. Karena bukan arti yang sebenarnya, pembacanya secara tidak langsung diajak oleh penulisnya untuk menebak-nebak arti yang sebenarnya dari persamaan atau perbandingan tersebut. Dengan kata lain, metafora pada satu sisi secara sengaja menyembunyikan maksud yang sebenarnya dengan tujuan tertentu yang membuat karya sastra lebih estetis, sekaligus di satu sisi lainnya memperjelas maksud yang tersembunyi lewat pilihan ungkapan metaforis yang sesuai dengan konsep pengetahuan manusia. George Lakoff dan Mark Johnson dalam Metaphors We Live By menyebutnya dengan nama metafora konseptual.

 

Menurut George Lakoff dan Mark Johnson, metafora konseptual adalah hasil pemetaan silang antara ungkapan yang ditampakkan (disebut sebagai ranah sumber atau source domain) dan maksud yang disembunyikan (disebut sebagai ranah target atau target domain) berdasarkan pemahaman terhadap budaya dan lingkungan fisik masyarakat. Pemetaan ini akan menghasilkan sebuah analogi konseptual yang memiliki kesesuaian antara source domain dan target domain-nya.

 

Pola seperti ini mampu dieksplorasi dengan baik oleh Garcia Marquez dalam mendeskripsikan beberapa objek di dalam Para Peziarah yang Janggal, seperti saat Garcia Marquez mengungkapkan ketakmanusiawian rumah sakit jiwa dengan sebutan metaforis ‘dasar neraka’ dalam cerpen "Aku Kemari Hanya untuk Meminjam Telepon":

 

“Kita ini di mana?”

 

Suara muram dan jelas dari tetangganya menjawab:

 

“Di dasar neraka.” (halaman 90)

 

Kutipan di atas merupakan kutipan singkat yang berupa dialog antara tokoh Maria yang dituduh gila dengan teman tidur sebelahnya di sebuah rumah sakit jiwa. Tampak jelas bahwa teman tidur Maria menyamakan rumah sakit jiwa yang mereka tempati dengan dasar neraka. Dalam hal ini, dasar neraka dapat disebut sebagai source domain sebab menjadi ungkapan yang ditampakkan dan rumah sakit jiwa sebagai target domain karena menjadi maksud sebenarnya yang disembunyikan.

 

Berdasarkan gambaran budaya dan lingkungan fisik di dalam cerpen "Aku Kemari Hanya untuk Meminjam Telepon", penggunaan metafora ‘dasar neraka’ untuk menyebut rumah sakit jiwa dilandasi atas satu kesamaan, yakni sama-sama tidak memanusiakan manusia alias sangat menyiksa. Di dasar neraka, manusia akan disiksa dengan hukuman yang tak terbayangkan perihnya. Sama halnya dengan kondisi rumah sakit jiwa di dalam cerpen tersebut, mulai dari kebrutalan para penjaga dalam memperlakukan para pasien tanpa belas kasihan hingga memberikan makanan yang bahkan tidak layak diberikan pada seekor anjing.

 

Selain metafora tempat, Garcia Marquez juga menyajikan metafora makhluk⸻berakal⸻ yang berupa ungkapan ‘malaikat tak bersayap’ untuk menyebut seorang perempuan berhati mulia di dalam cerpen "Sang Santa", sebagaimana kutipan berikut ini:

 

“Orang yang sesungguhnya menanggung beban kehidupan sehari-hari adalah kakak perempuannya, Bibi Antonietta, malaikat tak bersayap yang bekerja untuk Bella Maria selama berjam-jam pada siang hari.” (halaman 49)

 

Ungkapan metaforis ‘malaikat tak bersayap’ sebagai ranah sumber untuk menyebut seorang perempuan berhati mulia yang bernama Bibi Antonietta sebagai ranah target didasari atas satu kesamaan, yaitu sama-sama memiliki sikap yang baik dan mulia. Di dalam cerpen "Sang Santa", Bibi Antonietta dikisahkan sebagai sosok perempuan yang rajin membersihkan lantai marmer apartemen dengan sapu & pengki hingga tampak sangat berkilau dan dengan sukarela menampung tokoh Margorito di rumahnya saat Margorito tak lagi mampu membayar sewa kamar pada Bella Maria.

 

Kebaikan dan ketulusan hati Bibi Antonietta tak jauh berbeda dengan karakter malaikat yang menjadi simbol dari kebaikan, berbanding terbalik dengan karakter setan/iblis yang menjadi simbol kejahatan. Oleh sebab itu, perempuan berhati mulia kerap disebut dengan panggilan malaikat tak bersayap yang berarti jiwanya sama dengan malaikat tetapi tidak memiliki sayap karena ia tetaplah manusia biasa.

 

Metafora terakhir, selain metafora tempat dan makhluk, adalah metafora hewan yang dihadirkan oleh Garcia Marquez lewat sebutan ‘beruang kutub’ untuk menyebut petugas rumah sakit jiwa bertubuh raksasa yang biasa dipanggil Herculina dalam cerpen "Aku Kemari Hanya untuk Meminjam Telepon". Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada kutipan berikut:

 

“Petugas itu bertanggung jawab atas kasus-kasus sulit, dan dua tahanan rumah sakit dicekik sampai mati dengan lengan beruang kutubnya yang piawai dalam seni pembunuhan tak disengaja.” (halaman 82)

 

Jika dikaitkan dengan metafora konseptual versi George Lakoff dan Mark Johnson, maka tampak jelas bahwa ‘lengan beruang kutub’ lah yang menjadi source domain dan petugas perempuan bertubuh raksasa menjadi target domain. Persamaan yang menonjol antara dua sosok tersebut adalah bentuk fisik serta daya serang terhadap lawannnya.

 

Di dalam cerpen "Aku Kemari Hanya untuk Meminjam Telepon", petugas perempuan bertubuh raksasa tersebut pernah mencekik dua tahanan rumah sakit hingga mampus dan mampu menghentikan tokoh Maria cukup dengan hantaman tangan besarnya yang membuat maria terkapar tak berdaya di atas lantai.

 

Deskripsi ini mirip dengan struktur tubuh beruang kutub yang memiliki tinggi bisa lebih dari 2,5 meter dengan berat 400 hingga 600 kilogram, serta dapat melukai satu orang manusia hanya dengan sekali serangan. Tak berlebihan jika Garcia Marquez menyebut petugas wanita itu dengan sebutan beruang kutub.

 

Akhir kata, metafora konseptual adalah satu di antara cara Garcia Marquez untuk mempertegas sisi ‘janggal’ pada diri para peziarah dalam tiga belas cerpennya. Sebuah bukti bahwa setiap karya sastra selain tak hanya berguna, tapi juga mempesona. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar