Sabtu, 10 Juli 2021

 

Heboh Resolusi R2P

Dian Wirengjurit ;  Diplomat Utama, Dubes RI untuk Iran dan Turkmenistan (2012-2016); Bertugas di PTRI New New York (1990-1994) dan PTRI Geneva (1997-2001 dan 2003-2007)

KOMPAS, 5 Juli 2021

 

 

                                                           

Penolakan Indonesia untuk mendukung Resolusi PBB 75/L.82 “The responsibility to protect and the prevention of genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity”, pada 10 Mei 2021 ternyata masih meninggalkan “bau” yang tidak sedap di masyarakat.

 

Dengan penolakan itu Indonesia dianggap tidak mendukung resolusi yang sangat “luhur” itu (disingkat R2P, yang bernomor resmi 75/277). Bahkan lebih seram lagi, dengan penolakan itu seakan Indonesia mendukung pembunuhan massal, kejahatan perang, pemusnahan etnis dan kejahatan kemanusiaan.

 

Sepintas memang penolakan itu nampak mengerikan, mengingat adanya tiga pilar upaya perlindungan dan pencegahan, yang: (1) mengedepankan tanggung jawab negara terhadap isu-isu kemanusiaan; (2) memerlukan kolaborasi dan bantuan internasional untuk mengatasinya, dan (3) menegaskan perlunya respons kolektif yang cepat (timely).

 

Padahal, dan hal ini sering kali terjadi, kehebohan mengenai penolakan Indonesia terhadap resolusi R2P ini lebih didasarkan pada ketidakpahaman pada mekanisme dan tata-kerja PBB.

 

Resolusi R2P sebelumnya

 

Resolusi R2P 75/277, ternyata sangat singkat (satu halaman), karena terdiri dari empat paragraf pembuka (preambular paragraphs/PP) dan dua paragraf operasional (operational paragraphs/OP).

 

PP berisikan dasar pertimbangan bagi sebuah resolusi yang paragrafnya dimulai dengan: mengingat, mempertimbangkan, memerhatikan, mencatat dan sebagainya, sebagai rujukan. Sedangkan OP, berisikan sikap dan keputusan yang disepakati, dalam bentuk (biasanya dalam nomor urut): memutuskan, meminta, menugaskan dan sebagainya.

 

PP dalam Resolusi 75/277 ini merujuk pada empat hal yaitu Piagam PBB, hasil KTT Dunia (World Summit) 2005, resolusi PBB 63/308 (2009) dan laporan tahunan Sekjen PBB.

 

Sementara dalam dua butir OP resolusi ini, diputuskan: pertama, memasukkan mata acara (item) R2P ke dalam agenda tahunan Sidang Majelis Umum (SMU) PBB; dan kedua, meminta Sekjen PBB melaporkan pelaksanaan R2P ini setiap tahun kepada SMU. Hanya itu, tidak lebih dan tidak kurang(!)

 

Menariknya, resolusi 63/308 yang judulnya singkat “The Responsibility to protect”, yang disahkan pada 14 September 2009 dan dirujuk dalam resolusi R2P 75/277 ini lebih singkat lagi karena hanya setengah halaman, terdiri dari dua PP dan dua OP.

 

Dua hal yang dirujuk dalam PP adalah Piagam PBB dan hasil KTT Dunia 2009; sedangkan dua keputusan dalam OP adalah “mencatat” (takes note) laporan laporan bulan Juli tahun itu dan keputusan untuk melanjutkan pembahasan R2P. Artinya, seperti sudah diberitakan, resolusi R2P terakhir memang bukan resolusi pertama(!) dan ketika itu Indonesia menyatakan mendukung (yes) resolusi ini.

 

KTT Dunia 2005

 

Dari kedua resolusi itu dapat ditarik “benang merah” bahwa semua pembahasan R2P ini berawal dari hasil KTT Dunia 2005. KTT yang ini sebenarnya bagian SMU” yang dijadikan “World Summit” berdasarkan usulan Sekjen PBB Kofi Annan dalam laporannya “In Larger Freedom” (Maret 2005). KTT yang diselenggarakan pada 14-16 September 2005 dan dihadiri 170 Kepala Negara/Pemerintahan, dianggap merupakan kesempatan “sekali dalam satu generasi” untuk mengambil keputusan mengenai isu-isu pembangunan, keamanan, HAM dan reformasi PBB.

 

KTT ini menyepakati “2005 World Summit Outcomes”, sebuah dokumen terdiri dari 178 paragraf dan puluhan sub-paragraf, yang berisikan komitmen untuk melaksanakan keempat isu di atas. Dalam isu pembangunan, misalnya, disepakati komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) pada 2015.

 

Dalam kaitan genosida, kejahatan perang, pemusnahan etnis dan kejahatan kemanusiaan, ditegaskan perlunya peran kolektif DK-PBB untuk menggunakan segala cara (termasuk kekuatan pasukan) apabila pemerintah nasional gagal melindungi rakyatnya.

 

Dokumen KTT Dunia inilah yang kemudian disahkan secara aklamasi oleh anggota PBB pada menjadi Resolusi 60/1 “World Summit Outcome” pada 24 Oktober 2005.

 

Isu-isu R2P yang disepakati itu berasal dari pengalaman berbagai negara, di antaranya genosida di Rwanda (1994) dan Bosnia-Herzegovina (1995). Dokumen hasil KTT itu terbagi dalam tiga bab, yakni: I. Nilai-nilai dan Prinsip; II. Pembangunan; III. Perdamaian dan Keamanan Kolektif; IV. HAM dan Aturan Hukum (rule of law); dan V. Penguatan PBB.

 

Bab III Perdamaian dan Keamanan Kolektif (paragraf 69-178) mencakup berbagai isu mulai dari penyelesaian damai, penggunaan kekerasan di bawah PBB, terorisme, dan sebagainya. Menariknya, sub-Bab Perlindungan dan Pencegahan Genosida, Kejahatan perang, Pemusnahan etnis dan Kejahatan kemanusiaan, hanya terdiri dua paragraf (138 dan 139).

 

Paragraf 138 menyatakan bahwa setiap negara bertanggung jawab untuk melindungi penduduknya dari kejahatan-kejahatan tersebut; dan paragraf 139 menyatakan bahwa PBB juga bertanggung jawab untuk menggunakan jalur diplomatik, humaniter dan cara-cara damai lainnya.

 

Dalam implementasinya, penggunaan kekerasan oleh PBB sebagai upaya terakhir (last resort) terkait dengan isu-isu R2P, telah dilaksanakan oleh DK-PBB dengan mengesahkan sekitar 80 resolusi, terkait Republik Afrika Tengah, Cote d‘Ivoire, Kongo, Liberia, Libya, Mali, Somalia, Sudan Selatan, Suriah dan Yaman.

 

Selain itu resolusi R2P ini juga telah dituangkan dalam 50 resolusi Dewan HAM; sementara secara terpisah dalam SMU-PBB juga terdapat 13 resolusi yang terkait R2P.

 

Namun demikian, menurut Sandra F Gago dalam “The Responsibility to Protect (R2P) Doctrine” (International Journal of Social Sciences, III(1), 2014), doktrin mengenai R2P ini bagikan fairy tale, karena adanya kesenjangan (gap) antara janji dan realitasnya.

 

Meskipun negara-negara dan organisasi internasional tetap mendukung konsep ini, pada akhirnya sebuah atau sekelompok negara dapat menegaskan pentingnya kedaulatan negara (state sovereignty). Hal ini menunjukkan terbatasnya kompetensi DK-PBB dan menunjukkan R2P belum memperoleh kekuatan hukum (legal force).

 

Di mana masalahnya?

 

Dalam sidang itu delegasi Indonesia telah menyampaikan penjelasan (explanation of vote) yang isinya: pertama, mengingatkan bahwa resolusi R2P tidak perlu menjadi agenda tetap setiap tahun. Hal ini berdasarkan kenyataan, sejak 2005 implementasi R2P ini dilakukan oleh DK-PBB dan terus dipantau oleh Dewan HAM dan melalui laporan Sekjen PBB.

 

Kedua, menegaskan bahwa pembahasan mengenai R2P jangan sampai bertentangan dengan perimeter dalam dokumen KTT Dunia 2005. Artinya, kesepakatan itu, termasuk R2P, tetap berlaku dan terus diimplementasikan, hingga ada keputusan seluruh anggota PBB untuk mengubahnya.

 

Ketiga, mengharapkan agar suara (vote) No/Against Indonesia, tidak diartikan sebagai menentang substansi R2P. Buktinya, Indonesia turut dalam konsensus mengesahkan R2P sebagai Resolusi 60/1.

 

Tambahan lagi, perlu diingat bahwa resolusi SMU-PBB, yang tidak mengikat itu, tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan mekanisme tata-kerja dengan badan-badan PBB lainnya, khususnya DK-PBB. Resolusi R2P 75/277 tak lebih hanya pengulangan tidak perlu, lebih bersifat prosedural dan rutin, dan pemborosan waktu dan energi, dan biaya, serta tidak sesuai semangat reformasi PBB untuk mencipta efisiensi dan efektivitas, termasuk merampingkan agenda tahunan.

 

Hal ini, seperti kata Jean Ping dan Denis D Rawaka dalam buku “Reinventing the United Nations” (2007), bahwa salah satu sasaran reformasi PBB Generasi Keempat (sebelumnya pada 1960-an, 1980-an dan 1990-an) adalah SMU. Penyempurnaan harus dilakukan dengan memendekkan masa sidang, mengkonsolidasikan dan mengelompokkan tema dan agenda berdasarkan prioritas.

 

Selain itu wewenang Sekjen dan SMU harus diseimbangkan, dengan menghindari campur tangan atas administrasi dan organisasi dengan resolusi yang terlalu detail dan strict, dan lebih memastikan tindak lanjut dan implementasi resolusi oleh negara anggotanya.

 

Bukan kali ini saja Indonesia mengambil posisi yang berbeda dengan arus utama (mainstream). Sebagai anggota tidak tetap DK-PBB (2007-2008), misalnya, Indonesia mengambil sikap Abstain dalam Resolusi 1803 (2008) yang berisi tambahan sanksi terhadap Iran karena program nuklirnya. Sikap ini sangat obyektif, karena mengharapkan agar resolusi tidak semata-mata menghukum (punitive), tetapi juga menghargai dan mengakui upaya Iran melaksanakan kewajiban-kewajibannya, yang sama sekali diabaikan.

 

Dalam resolusi R2P 75/277 Indonesia bergabung dengan 14 negara lain yang menentang (Against), di antaranya Rusia, China, Mesir, Kuba, Korea Utara, Venezuela, Nikaragua, Suriah dan Zimbabwe. Sementara 62 negara yang Abstain di antaranya India, Pakistan, Libya dan Serbia; serta 115 negara mendukung (Yes) di antaranya AS, Inggris, Prancis, Kanada, Belanda, Australia, Arab Saudi, Korea Selatan, Meksiko, dan Timor Leste.

 

Menariknya, di kalangan ASEAN, enam negara Abstain (Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar, Singapura dan Vietnam) dan hanya tiga negara yang mendukung (Yes), yaitu Malaysia, Thailand dan Filipina.

 

Sudah jadi rahasia umum di PBB bahwa usulan sebuah resolusi itu bisa berasal dari “sponsor” yang punya kepentingan tertentu; dan negara-negara berkembang sudah biasa menjadi arena bermainnya (playing ground). Sudah umum diketahui juga bahwa pola voting dalam resolusi-resolusi PBB umumnya mengikuti pola ini. Lalu di mana masalahnya dengan posisi Indonesia dalam resolusi R2P terakhir? Sebagai negara yang konsisten mempertahankan sikap non-blok (non-aligned), bukankah pada waktu-waktu tertentu Indonesia perlu memainkan pendulum-nya, sesuai dengan kepentingannya? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar