Heboh
Resolusi R2P Dian Wirengjurit ; Diplomat Utama, Dubes RI untuk Iran dan
Turkmenistan (2012-2016); Bertugas di PTRI New New York (1990-1994) dan PTRI
Geneva (1997-2001 dan 2003-2007) |
KOMPAS, 5 Juli 2021
Penolakan Indonesia untuk
mendukung Resolusi PBB 75/L.82 “The responsibility to protect and the
prevention of genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against
humanity”, pada 10 Mei 2021 ternyata masih meninggalkan “bau” yang tidak
sedap di masyarakat. Dengan penolakan itu
Indonesia dianggap tidak mendukung resolusi yang sangat “luhur” itu
(disingkat R2P, yang bernomor resmi 75/277). Bahkan lebih seram lagi, dengan
penolakan itu seakan Indonesia mendukung pembunuhan massal, kejahatan perang,
pemusnahan etnis dan kejahatan kemanusiaan. Sepintas memang penolakan
itu nampak mengerikan, mengingat adanya tiga pilar upaya perlindungan dan
pencegahan, yang: (1) mengedepankan tanggung jawab negara terhadap isu-isu
kemanusiaan; (2) memerlukan kolaborasi dan bantuan internasional untuk
mengatasinya, dan (3) menegaskan perlunya respons kolektif yang cepat
(timely). Padahal, dan hal ini
sering kali terjadi, kehebohan mengenai penolakan Indonesia terhadap resolusi
R2P ini lebih didasarkan pada ketidakpahaman pada mekanisme dan tata-kerja
PBB. Resolusi
R2P sebelumnya Resolusi R2P 75/277,
ternyata sangat singkat (satu halaman), karena terdiri dari empat paragraf
pembuka (preambular paragraphs/PP) dan dua paragraf operasional (operational
paragraphs/OP). PP berisikan dasar
pertimbangan bagi sebuah resolusi yang paragrafnya dimulai dengan: mengingat,
mempertimbangkan, memerhatikan, mencatat dan sebagainya, sebagai rujukan.
Sedangkan OP, berisikan sikap dan keputusan yang disepakati, dalam bentuk
(biasanya dalam nomor urut): memutuskan, meminta, menugaskan dan sebagainya. PP dalam Resolusi 75/277
ini merujuk pada empat hal yaitu Piagam PBB, hasil KTT Dunia (World Summit)
2005, resolusi PBB 63/308 (2009) dan laporan tahunan Sekjen PBB. Sementara dalam dua butir
OP resolusi ini, diputuskan: pertama, memasukkan mata acara (item) R2P ke
dalam agenda tahunan Sidang Majelis Umum (SMU) PBB; dan kedua, meminta Sekjen
PBB melaporkan pelaksanaan R2P ini setiap tahun kepada SMU. Hanya itu, tidak
lebih dan tidak kurang(!) Menariknya, resolusi
63/308 yang judulnya singkat “The Responsibility to protect”, yang disahkan
pada 14 September 2009 dan dirujuk dalam resolusi R2P 75/277 ini lebih
singkat lagi karena hanya setengah halaman, terdiri dari dua PP dan dua OP. Dua hal yang dirujuk dalam
PP adalah Piagam PBB dan hasil KTT Dunia 2009; sedangkan dua keputusan dalam
OP adalah “mencatat” (takes note) laporan laporan bulan Juli tahun itu dan
keputusan untuk melanjutkan pembahasan R2P. Artinya, seperti sudah
diberitakan, resolusi R2P terakhir memang bukan resolusi pertama(!) dan
ketika itu Indonesia menyatakan mendukung (yes) resolusi ini. KTT
Dunia 2005 Dari kedua resolusi itu
dapat ditarik “benang merah” bahwa semua pembahasan R2P ini berawal dari
hasil KTT Dunia 2005. KTT yang ini sebenarnya bagian SMU” yang dijadikan
“World Summit” berdasarkan usulan Sekjen PBB Kofi Annan dalam laporannya “In
Larger Freedom” (Maret 2005). KTT yang diselenggarakan pada 14-16 September
2005 dan dihadiri 170 Kepala Negara/Pemerintahan, dianggap merupakan
kesempatan “sekali dalam satu generasi” untuk mengambil keputusan mengenai
isu-isu pembangunan, keamanan, HAM dan reformasi PBB. KTT ini menyepakati “2005
World Summit Outcomes”, sebuah dokumen terdiri dari 178 paragraf dan puluhan
sub-paragraf, yang berisikan komitmen untuk melaksanakan keempat isu di atas.
Dalam isu pembangunan, misalnya, disepakati komitmen untuk mencapai Tujuan
Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) pada 2015. Dalam kaitan genosida,
kejahatan perang, pemusnahan etnis dan kejahatan kemanusiaan, ditegaskan
perlunya peran kolektif DK-PBB untuk menggunakan segala cara (termasuk
kekuatan pasukan) apabila pemerintah nasional gagal melindungi rakyatnya. Dokumen KTT Dunia inilah
yang kemudian disahkan secara aklamasi oleh anggota PBB pada menjadi Resolusi
60/1 “World Summit Outcome” pada 24 Oktober 2005. Isu-isu R2P yang
disepakati itu berasal dari pengalaman berbagai negara, di antaranya genosida
di Rwanda (1994) dan Bosnia-Herzegovina (1995). Dokumen hasil KTT itu terbagi
dalam tiga bab, yakni: I. Nilai-nilai dan Prinsip; II. Pembangunan; III.
Perdamaian dan Keamanan Kolektif; IV. HAM dan Aturan Hukum (rule of law); dan
V. Penguatan PBB. Bab III Perdamaian dan
Keamanan Kolektif (paragraf 69-178) mencakup berbagai isu mulai dari
penyelesaian damai, penggunaan kekerasan di bawah PBB, terorisme, dan
sebagainya. Menariknya, sub-Bab Perlindungan dan Pencegahan Genosida,
Kejahatan perang, Pemusnahan etnis dan Kejahatan kemanusiaan, hanya terdiri
dua paragraf (138 dan 139). Paragraf 138 menyatakan
bahwa setiap negara bertanggung jawab untuk melindungi penduduknya dari
kejahatan-kejahatan tersebut; dan paragraf 139 menyatakan bahwa PBB juga
bertanggung jawab untuk menggunakan jalur diplomatik, humaniter dan cara-cara
damai lainnya. Dalam implementasinya,
penggunaan kekerasan oleh PBB sebagai upaya terakhir (last resort) terkait
dengan isu-isu R2P, telah dilaksanakan oleh DK-PBB dengan mengesahkan sekitar
80 resolusi, terkait Republik Afrika Tengah, Cote d‘Ivoire, Kongo, Liberia,
Libya, Mali, Somalia, Sudan Selatan, Suriah dan Yaman. Selain itu resolusi R2P
ini juga telah dituangkan dalam 50 resolusi Dewan HAM; sementara secara
terpisah dalam SMU-PBB juga terdapat 13 resolusi yang terkait R2P. Namun demikian, menurut
Sandra F Gago dalam “The Responsibility to Protect (R2P) Doctrine”
(International Journal of Social Sciences, III(1), 2014), doktrin mengenai
R2P ini bagikan fairy tale, karena adanya kesenjangan (gap) antara janji dan
realitasnya. Meskipun negara-negara dan
organisasi internasional tetap mendukung konsep ini, pada akhirnya sebuah
atau sekelompok negara dapat menegaskan pentingnya kedaulatan negara (state
sovereignty). Hal ini menunjukkan terbatasnya kompetensi DK-PBB dan menunjukkan
R2P belum memperoleh kekuatan hukum (legal force). Di
mana masalahnya? Dalam sidang itu delegasi
Indonesia telah menyampaikan penjelasan (explanation of vote) yang isinya:
pertama, mengingatkan bahwa resolusi R2P tidak perlu menjadi agenda tetap
setiap tahun. Hal ini berdasarkan kenyataan, sejak 2005 implementasi R2P ini
dilakukan oleh DK-PBB dan terus dipantau oleh Dewan HAM dan melalui laporan
Sekjen PBB. Kedua, menegaskan bahwa
pembahasan mengenai R2P jangan sampai bertentangan dengan perimeter dalam
dokumen KTT Dunia 2005. Artinya, kesepakatan itu, termasuk R2P, tetap berlaku
dan terus diimplementasikan, hingga ada keputusan seluruh anggota PBB untuk
mengubahnya. Ketiga, mengharapkan agar
suara (vote) No/Against Indonesia, tidak diartikan sebagai menentang
substansi R2P. Buktinya, Indonesia turut dalam konsensus mengesahkan R2P
sebagai Resolusi 60/1. Tambahan lagi, perlu
diingat bahwa resolusi SMU-PBB, yang tidak mengikat itu, tidak berdiri
sendiri, melainkan terkait dengan mekanisme tata-kerja dengan badan-badan PBB
lainnya, khususnya DK-PBB. Resolusi R2P 75/277 tak lebih hanya pengulangan
tidak perlu, lebih bersifat prosedural dan rutin, dan pemborosan waktu dan
energi, dan biaya, serta tidak sesuai semangat reformasi PBB untuk mencipta efisiensi
dan efektivitas, termasuk merampingkan agenda tahunan. Hal ini, seperti kata Jean
Ping dan Denis D Rawaka dalam buku “Reinventing the United Nations” (2007),
bahwa salah satu sasaran reformasi PBB Generasi Keempat (sebelumnya pada
1960-an, 1980-an dan 1990-an) adalah SMU. Penyempurnaan harus dilakukan
dengan memendekkan masa sidang, mengkonsolidasikan dan mengelompokkan tema
dan agenda berdasarkan prioritas. Selain itu wewenang Sekjen
dan SMU harus diseimbangkan, dengan menghindari campur tangan atas
administrasi dan organisasi dengan resolusi yang terlalu detail dan strict,
dan lebih memastikan tindak lanjut dan implementasi resolusi oleh negara
anggotanya. Bukan kali ini saja
Indonesia mengambil posisi yang berbeda dengan arus utama (mainstream).
Sebagai anggota tidak tetap DK-PBB (2007-2008), misalnya, Indonesia mengambil
sikap Abstain dalam Resolusi 1803 (2008) yang berisi tambahan sanksi terhadap
Iran karena program nuklirnya. Sikap ini sangat obyektif, karena mengharapkan
agar resolusi tidak semata-mata menghukum (punitive), tetapi juga menghargai
dan mengakui upaya Iran melaksanakan kewajiban-kewajibannya, yang sama sekali
diabaikan. Dalam resolusi R2P 75/277
Indonesia bergabung dengan 14 negara lain yang menentang (Against), di
antaranya Rusia, China, Mesir, Kuba, Korea Utara, Venezuela, Nikaragua,
Suriah dan Zimbabwe. Sementara 62 negara yang Abstain di antaranya India,
Pakistan, Libya dan Serbia; serta 115 negara mendukung (Yes) di antaranya AS,
Inggris, Prancis, Kanada, Belanda, Australia, Arab Saudi, Korea Selatan,
Meksiko, dan Timor Leste. Menariknya, di kalangan
ASEAN, enam negara Abstain (Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar, Singapura dan
Vietnam) dan hanya tiga negara yang mendukung (Yes), yaitu Malaysia, Thailand
dan Filipina. Sudah jadi rahasia umum di
PBB bahwa usulan sebuah resolusi itu bisa berasal dari “sponsor” yang punya
kepentingan tertentu; dan negara-negara berkembang sudah biasa menjadi arena
bermainnya (playing ground). Sudah umum diketahui juga bahwa pola voting
dalam resolusi-resolusi PBB umumnya mengikuti pola ini. Lalu di mana
masalahnya dengan posisi Indonesia dalam resolusi R2P terakhir? Sebagai
negara yang konsisten mempertahankan sikap non-blok (non-aligned), bukankah
pada waktu-waktu tertentu Indonesia perlu memainkan pendulum-nya, sesuai
dengan kepentingannya? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar