Sabtu, 10 Juli 2021

 

Andil ”Keberanian Sipil” Saat Darurat Covid-19

Toto TIS Suparto ;  Penulis Filsafat Moral

KOMPAS, 5 Juli 2021

 

 

                                                           

Negeri kita, khususnya Pulau Jawa, dalam kondisi darurat Covid-19. Desakan untuk menginjak rem darurat muncul dari berbagai pihak. Di antaranya dorongan untuk kembali melaksanakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB dengan pengawasan ketat. Aparat negara diterjunkan sebagai pengawas. Hemat penulis, ini belum cukup. Butuh keterlibatan masyarakat untuk ikut mengawasi. Butuh ”keberanian sipil” agar pengawasan lebih efektif.

 

Keberanian sipil di sini mencakup tindakan aktif dari warga negara untuk menyuarakan pendapat kritis mereka di dalam berbagai persoalan bersama. Keberanian sipil diperlukan guna menyuarakan aspirasi dan kerangka nilai yang ada pada masyarakat. Keberanian sipil pula yang bisa mengkritik tindak tanduk seseorang, golongan, kelompok, atau bahkan negara jika ada yang melenceng dari etika publik.

 

Ketika kondisi darurat Covid-19, warga negara selayaknya ikut andil dengan menyampaikan pendapat kritis demi mengatasi kedaruratan Covid-19 tersebut. Bukan mencela yang tidak memberikan solusi. Jalur untuk menyampaikan pendapat tersedia luas, mulai dari media hingga satuan tugas di masing-masing instansi atau pemda.

 

Tentu saja pendapat kritis ini berkelanjutan dengan tindakan yang tepat apabila ingin menyelesaikan masalah yang ada. Sia-sia jika berhenti sampai sekadar berpendapat. Oleh karena itu langkah selanjutnya, dan yang sama pentingnya, adalah menerapkan keberanian itu untuk memecahkan masalah dengan bertindak. Bentuk tindakan itu antara lain berani menegur ketika melihat kesalahan atau melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

 

Berani menegur

 

Saat darurat Covid-19 yang dibutuhkan adalah keberanian menegur. Acap kita melihat sebagian masyarakat yang enggan pakai masker di tempat umum, melihat pula kerumunan, tetapi enggan menegurnya. Ada beberapa alasan keengganan itu.

 

Pertama dan kebanyakan adalah pekewuh. Sikap rikuh, sikap tidak enak hati, merupakan gambaran pekewuh itu. Mau menegur tetangga yang tidak memakai masker, kok, tidak enak hati. Pekewuh adalah perasaan tidak enak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu kepada orang lain karena takut menyinggung atau memberi kesan kurang sopan dan tidak menyenangkan.

 

Kedua, enggan berkonflik. Banyak di antara kita yang tahu pelanggaran protokol kesehatan (prokes) oleh orang lain, tetapi mau menegurnya kuatir salah paham dan ujung-ujungnya ribut. Daripada berkonflik, lebih baik biarkan sajalah.

 

Ketiga, apalagi sekarang ini kamera HP orang lain suka iseng dan selalu mengintai. Jika ada orang berkonflik, apalagi pakai pertengkaran verbal ataupun fisik, jadi makanan empuk kameramen amatir itu. Lantas diposting (diunggah) dengan harapan jadi viral. Maka, daripada di-viral-kan, lebih baik dibiarkan saja. Pura-pura tak tahu.

 

Keempat, enggan buang-buang waktu untuk melaporkan penyimpangan prokes di masyarakat kepada pihak berwajib, misalkan satgas Covid-19. Lewat daring (online) pun kebanyakan enggan karena aplikasinya yang njlimet. Akhirnya, walau ada pelanggaran prokes di depan mata, dibiarkan begitu saja.

 

Kelima, di saat pandemi, ada kecenderungan egois. Saat pandemi kita harus berjuang untuk selalu sehat, terutama tidak terpapar virus. Dalam perjuangan ini, hal utama bagi seseorang: memilih yang paling menguntungkan untuk diri sendiri. Inilah hakikat egoisme. Namun, di sini yang dipakai adalah egoisme etis, yakni paham etika normatif yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih tindakan yang paling menguntungkan bagi dirinya sendiri, tetapi tidak menganggap mitos untuk sikap altruis. Egoisme etis tidak mengabaikan kepentingan orang lain. Kita egois, tetapi masih mau peduli orang lain.

 

Alasan-alasan itu membuat keberanian sipil menipis, padahal andilnya sangat ditunggu. Minimnya keberanian sipil ini mencuatkan kesan kita meremehkan masalah. Kita dianggap tidak tanggap terhadap berbagai masalah yang muncul, baik kecil maupun besar. Beragam persoalan di negeri ini berawal dari kesalahan kecil yang didiamkan. Ada pembiaran, meremehkan, atau kata Sultan Hamengku Buwono X ”dianggap enteng”. Kemudian yang terjadi, Covid-19 pun melonjak.

 

Maka dari itu, keberanian sipil ini perlu dibantu tumbuh. Negara perlu memberikan perlindungan kepada warga negara yang berani menegur pelanggaran prokes apabila kemudian ia dihujat orang banyak. Negara perlu memudahkan pelaporan kepada satgas. Cukup lewat Whatsapp, misalkan, aspirasi warga sampai ke satgas dan secepatnya ditindaklanjuti.

 

Sejatinya, kemunculan keberanian sipil ini bisa di mana-mana sehingga sangat membantu tugas aparat negara. Tak mungkin pengawasan korona sepenuhnya diserahkan kepada aparat, sementara masyarakat hanya menonton. Kolaborasi antara negara dan masyarakat memberi harapan untuk memperlambat laju penularan virus penyebab Covid-19.

 

Dengan keberanian sipil yang tinggi, bangsa Indonesia bisa mewujudkan kebaikan bersama. Kebaikan itu dimulai dengan kepedulian kita terhadap orang-orang terdekat di dalam hidup kita dan tak meremehkan masalah, sekecil apa pun itu, apalagi persoalan pandemi yang besar ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar