Andil
”Keberanian Sipil” Saat Darurat Covid-19 Toto TIS Suparto ; Penulis Filsafat Moral |
KOMPAS, 5 Juli 2021
Negeri kita, khususnya
Pulau Jawa, dalam kondisi darurat Covid-19. Desakan untuk menginjak rem
darurat muncul dari berbagai pihak. Di antaranya dorongan untuk kembali
melaksanakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB dengan pengawasan
ketat. Aparat negara diterjunkan sebagai pengawas. Hemat penulis, ini belum
cukup. Butuh keterlibatan masyarakat untuk ikut mengawasi. Butuh ”keberanian
sipil” agar pengawasan lebih efektif. Keberanian sipil di sini
mencakup tindakan aktif dari warga negara untuk menyuarakan pendapat kritis
mereka di dalam berbagai persoalan bersama. Keberanian sipil diperlukan guna
menyuarakan aspirasi dan kerangka nilai yang ada pada masyarakat. Keberanian
sipil pula yang bisa mengkritik tindak tanduk seseorang, golongan, kelompok,
atau bahkan negara jika ada yang melenceng dari etika publik. Ketika kondisi darurat
Covid-19, warga negara selayaknya ikut andil dengan menyampaikan pendapat
kritis demi mengatasi kedaruratan Covid-19 tersebut. Bukan mencela yang tidak
memberikan solusi. Jalur untuk menyampaikan pendapat tersedia luas, mulai
dari media hingga satuan tugas di masing-masing instansi atau pemda. Tentu saja pendapat kritis
ini berkelanjutan dengan tindakan yang tepat apabila ingin menyelesaikan
masalah yang ada. Sia-sia jika berhenti sampai sekadar berpendapat. Oleh
karena itu langkah selanjutnya, dan yang sama pentingnya, adalah menerapkan
keberanian itu untuk memecahkan masalah dengan bertindak. Bentuk tindakan itu
antara lain berani menegur ketika melihat kesalahan atau melaporkannya kepada
pihak yang berwajib. Berani
menegur Saat darurat Covid-19 yang
dibutuhkan adalah keberanian menegur. Acap kita melihat sebagian masyarakat
yang enggan pakai masker di tempat umum, melihat pula kerumunan, tetapi
enggan menegurnya. Ada beberapa alasan keengganan itu. Pertama dan kebanyakan
adalah pekewuh. Sikap rikuh, sikap tidak enak hati, merupakan gambaran
pekewuh itu. Mau menegur tetangga yang tidak memakai masker, kok, tidak enak
hati. Pekewuh adalah perasaan tidak enak untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu kepada orang lain karena takut menyinggung atau memberi kesan kurang
sopan dan tidak menyenangkan. Kedua, enggan berkonflik.
Banyak di antara kita yang tahu pelanggaran protokol kesehatan (prokes) oleh
orang lain, tetapi mau menegurnya kuatir salah paham dan ujung-ujungnya
ribut. Daripada berkonflik, lebih baik biarkan sajalah. Ketiga, apalagi sekarang
ini kamera HP orang lain suka iseng dan selalu mengintai. Jika ada orang
berkonflik, apalagi pakai pertengkaran verbal ataupun fisik, jadi makanan
empuk kameramen amatir itu. Lantas diposting (diunggah) dengan harapan jadi
viral. Maka, daripada di-viral-kan, lebih baik dibiarkan saja. Pura-pura tak
tahu. Keempat, enggan
buang-buang waktu untuk melaporkan penyimpangan prokes di masyarakat kepada
pihak berwajib, misalkan satgas Covid-19. Lewat daring (online) pun
kebanyakan enggan karena aplikasinya yang njlimet. Akhirnya, walau ada
pelanggaran prokes di depan mata, dibiarkan begitu saja. Kelima, di saat pandemi,
ada kecenderungan egois. Saat pandemi kita harus berjuang untuk selalu sehat,
terutama tidak terpapar virus. Dalam perjuangan ini, hal utama bagi
seseorang: memilih yang paling menguntungkan untuk diri sendiri. Inilah
hakikat egoisme. Namun, di sini yang dipakai adalah egoisme etis, yakni paham
etika normatif yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih tindakan yang
paling menguntungkan bagi dirinya sendiri, tetapi tidak menganggap mitos
untuk sikap altruis. Egoisme etis tidak mengabaikan kepentingan orang lain.
Kita egois, tetapi masih mau peduli orang lain. Alasan-alasan itu membuat
keberanian sipil menipis, padahal andilnya sangat ditunggu. Minimnya
keberanian sipil ini mencuatkan kesan kita meremehkan masalah. Kita dianggap
tidak tanggap terhadap berbagai masalah yang muncul, baik kecil maupun besar.
Beragam persoalan di negeri ini berawal dari kesalahan kecil yang didiamkan.
Ada pembiaran, meremehkan, atau kata Sultan Hamengku Buwono X ”dianggap
enteng”. Kemudian yang terjadi, Covid-19 pun melonjak. Maka dari itu, keberanian
sipil ini perlu dibantu tumbuh. Negara perlu memberikan perlindungan kepada
warga negara yang berani menegur pelanggaran prokes apabila kemudian ia
dihujat orang banyak. Negara perlu memudahkan pelaporan kepada satgas. Cukup
lewat Whatsapp, misalkan, aspirasi warga sampai ke satgas dan secepatnya
ditindaklanjuti. Sejatinya, kemunculan
keberanian sipil ini bisa di mana-mana sehingga sangat membantu tugas aparat
negara. Tak mungkin pengawasan korona sepenuhnya diserahkan kepada aparat,
sementara masyarakat hanya menonton. Kolaborasi antara negara dan masyarakat
memberi harapan untuk memperlambat laju penularan virus penyebab Covid-19. Dengan keberanian sipil
yang tinggi, bangsa Indonesia bisa mewujudkan kebaikan bersama. Kebaikan itu
dimulai dengan kepedulian kita terhadap orang-orang terdekat di dalam hidup kita
dan tak meremehkan masalah, sekecil apa pun itu, apalagi persoalan pandemi
yang besar ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar