Sabtu, 10 Juli 2021

 

SDGs dan Transformasi Ekonomi

Suharso Monoarfa ;  Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

KOMPAS, 5 Juli 2021

 

 

                                                           

Indonesia kini masuk dalam salah satu periode paling bersejarah dan menantang. Diproyeksikan pada 2036, negeri ini akan keluar dari perangkap pendapatan menengah ("middle income trap") dan menjadi negara maju.

 

Visi Indonesia 2045 adalah Indonesia sebagai negara maju dan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kelima dunia. Skenario sebelum pandemi Covid-19 tersebut, mensyaratkan pertumbuhan ekonomi 5,7 persen per tahun untuk lepas dari perangkap pendapatan menengah pada tahun 2036.

 

Namun pascapandemi mensyaratkan dengan pertumbuhan 6 persen, Indonesia baru bisa graduasi dari perangkap pendapatan menengah. Itupun bergeser dari tahun 2036 ke tahun 2043. Dampak pandemi memang dahsyat, mengguncangkan dunia termasuk Indonesia, seakan melelehkan jerih payah tetesan keringat pencapaian pembangunan.

 

Sejarah mencatat, memang bukanlah hal yang mudah graduasi dari jebakan negara pendapatan menengah. Sebuah studi menunjukkan, dari 101 negara berpendapatan menengah pada tahun 1960, hanya 13 negara yang mampu naik tingkat menjadi negara berpendapatan tinggi tahun 2008. Sisanya, 78 negara, selama 48 tahun masih terperangkap sebagai negara berpendapatan menengah.

 

Bagi Indonesia, keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah adalah hal yang tidak bisa ditawar. Ibarat babak drama Shakespeare, ini adalah pilihan “to be or not to be”.

 

Sebab manakala dalam tiga dasawarsa negeri ini tidak masuk dalam kategori negara berpendapatan tinggi, maka dengan populasi penduduk yang menua, pergerakan pertumbuhan akan melambat. Inilah ancaman yang juga dihadapi oleh negara-negara di kawasan Asia lainnya, menjadi tua sebelum kaya (getting old before getting rich).

 

Jendela bonus demografi dibiarkan menutup perlahan. Lewat begitu saja sebagai catatan statistik.

 

Dua karang

 

Kini, Indonesia bagaikan mendayung di antara dua karang, meminjam ilustrasi Bung Hatta. Tergores karang yang tajam, kapal bisa terancam karam, sementara kapal harus tetap melaju. Dua karang tersebut adalah amsal yang kita hadapi, yakni pandemi Covid-19 dan perubahan iklim.

 

Dampak pandemi sangat besar. Jerih payah pengurangan kemiskinan menjadi mundur tiga tahun dan pengangguran meningkat akibat ekonomi melambat.

 

Sementara pemulihan ekonomi mensyaratkan penurunan penularan virus Covid-19 (flattening the curve) dan memitigasi dampak sosialnya. Perubahan regulasi dengan merelaksasi defisit dan berbagai paket stimulus fiskal telah diluncurkan. Pertumbuhan ekonomi memang masih minus 2,07 persen tahun 2020. Sebuah studi menunjukkan, tanpa stimulus, ekonomi bisa terkontraksi hingga minus 6,3 persen.

 

Di lain pihak, penurunan kurva Covid-19 juga bergantung pada kepatuhan masyarakat menjalankan protokol kesehatan, menghindari kerumunan dan membatasi mobilitas yang tidak penting. Mendorong perubahan kebiasaan, memang bukan hal yang mudah.

 

Perubahan iklim juga tantangan besar. Laporan “Global Warming of 1.5 C” dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperlihatkan, pemanasan global karena kenaikan suhu 1,5 derajat celsius akibat pencemaran emisi karbon dioksida, menimbulkan dampak yang luar biasa.

 

Bila sampai suhu bumi meningkat dua derajat celsius, maka terumbu karang akan hilang 99 persen dan stok ikan berkurang signifikan. Di daratan kekeringan akan mewabah, gagal panen makin sering, akibatnya harga pangan melonjak dan air bersih jadi langka.

 

Melihat dampak yang begitu besar, tak mengherankan bila Uni Eropa berkomitmen mencapai netral karbon (carbon neutrality) pada tahun 2050.

 

Menuju netralitas karbon tahun 2050, carbon barrier akan diberlakukan. Ini berarti barang-barang masuk ke Uni Eropa dengan jejak karbon akan mendapat tambahan tarif, sebelum pada akhirnya dilarang sama sekali.

 

Di Indonesia, berdasarkan studi Bappenas, kerugian ekonomi pada Produk Domestik Bruto akibat perubahan iklim diperkirakan akumulatif dapat mencapai Rp 544 triliun pada tahun 2024.

 

Data-data itu sangat jelas menunjukkan perubahan iklim harus diatasi, baik oleh Indonesia maupun dunia.

 

Di masa depan, bila perubahan iklim tidak diatasi dari sekarang oleh dunia, mungkin dampaknya akan lebih besar dari Covid-19. Gunung es Arktik akan meleleh, permukaan air laut meningkat dan menenggelamkan negara-negara kecil kepulauan, terutama di Pasifik. Kekeringan global juga akan menyebabkan kemiskinan, kelaparan dan pengungsian berskala masif, serta sangat sulit untuk mencari jalan keluar.

 

Transformasi dan SDGs

 

Harus diakui situasi saat ini tidaklah mudah akibat disrupsi dan perubahan besar di berbagai sektor, sementara bangsa ini memiliki cita-cita tinggi yang mesti diwujudkan dalam waktu terbatas. Hukum besi sejarah evolusi memperlihatkan, bukan spesies paling kuat yang mampu bertahan, namun spesies yang segera beradaptasi adalah yang selamat dari kepunahan.

 

Pertanyaannya lalu, bagaimana bangsa ini segera beradaptasi dengan perubahan. Untuk menjadi negara maju sebelum 100 tahun Indonesia merdeka, pemulihan ekonomi memang diperlukan. Namun, itu saja tidak cukup. Bangsa ini perlu melakukan transformasi besar ekonomi, bukan hanya beradaptasi, namun bahkan juga menjemput perubahan (ahead the curve).

 

Dalam gelombang berskala global perubahan, mengendarai ombak besar (riding the wave) justru bisa menjadi sarana mempercepat mencapai tujuan.

 

Transformasi besar berskala global menuju ekonomi berkelanjutan, menurut Paul Polman, adalah peluang ekonomi terbesar dalam hidup kita.

 

Dikalkulasikan, paling tidak peluang bisnis senilai 12 triliun dollar ASA akan muncul dari perubahan tersebut. Peluang ini tentu tidak boleh disia-siakan.

 

Kita harus mempersiapkan rancangan transformasi besar ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Terbuka berbagai opsi strategi untuk menjemput perubahan, antara lain mengakselerasi sumber daya manusia berdaya saing, pengembangan ekonomi hijau dan produktif, transformasi digital dan integrasi ekonomi domestik.

 

Arah pembangunan ini juga membuka peluang ekonomi terkait, misalnya kendaraan listrik, efisiensi energi dan bahan baku, rantai nilai ekonomi sirkular, energi terbarukan, pengelolaan sampah, pariwisata berkelanjutan, peternakan rendah emisi, pengelolaan limbah makanan (food waste), pembiayaan campuran (blended finance), green building, smart farming, serta sektor lain.

 

Dalam transformasi besar ekonomi itu, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ (SDGs) akan menjadi instrumen utama sebagai panduan. SDGs telah merengkuh dan menyeimbangkan tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan sekaligus, serta bukan hanya wacana filosofis namun sudah pada tataran operasional.

 

Salah satu kekuatan SDGs adalah mendobrak kebekuan egosektoralisme (silos), mendorong kerja sama, kesalingterkaitan (interconectedness) dan mengunci melalui indikator terukur.

 

Hal yang juga sangat strategis dalam SDGs adalah prinsip inklusif dan no one left behind. Artinya, pelaksanaan SDGs adalah orkestrasi gerakan bersama pemerintah dan para pemangku kepentingan non pemerintah. Jelas, transformasi besar pembangunan hanya akan berhasil bila dilakukan oleh kita semua.

 

Keberhasilan pencapaian Indonesia menjadi negara maju sebelum 2045 mensyarakatkan segenap daya upaya seluruh komponen bangsa, berderap bersama melangkah ke depan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar