Riset
dan Inovasi Ahmad Najib Burhani ; Profesor Riset di LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) |
KOMPAS, 3 Juli 2021
Pada beberapa kesempatan,
L. T. Handoko, selaku Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN),
menjelaskan tiga arah lembaga yang dipimpinnya sejak 28 April 2021. Ketiga
arah itu adalah: pertama, konsolidasi sumber daya (manusia, infrastruktur,
dan anggaran) iptek. Kedua, menciptakan ekosistem riset standar global,
terbuka (inklusif), dan kolaboratif. Ketiga, menciptakan fondasi ekonomi
berbasis riset yang kuat dan berkesinambungan. Apa yang diharapkan dengan
konsolidasi sumber daya iptek itu? Yaitu terciptanya atau adanya peningkatan
“critical mass, kapasitas dan kompetensi riset Indonesia dalam menghasilkan
invensi dan inovasi sebagai fondasi Indonesia maju 2045”. Dibandingkan dengan
beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Singapura dan Malaysia, riset dan
inovasi di Indonesia tergolong rendah. Padahal, dulu Malaysia banyak belajar
dan mengimpor dosen dari Indonesia. Demikian pula dengan Korea Selatan dan
India yang juga maju pesat dalam riset dan inovasi. Di sini bisa dilihat
kemungkinan adanya sesuatu yang tidak beres dalam tradisi ilmiah atau tradisi
riset dan inovasi kita dan mungkin juga dalam kelembagaannya. Dana yang dikeluarkan
negara untuk litbang setiap tahun pun tak terbilang kecil, yaitu sekitar Rp
37 triliun. Mestinya, dengan dana sebesar itu ada banyak riset dan inovasi
yang dihasilkan. Pernyataan penting yang perlu dicatat dari Handoko terkait
ini adalah, “saya tak ingin hanya membenarkan sebuah tradisi, tetapi saya
ingin mentradisikan yang benar di BRIN” (Kompas, 17/5/2021). Nah, salah satu persoalan
yang sering disebut sebagai penghambat riset dan inovasi nasional adalah
jebakan teknokrasi. Makna dari teknokrasi di sini adalah ilmuwan yang lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk urusan birokrasi, administrasi, dan
pelayanan terhadap berbagai permintaan pemerintah. Sementara hanya sedikit
waktu yang tersisa untuk benar-benar bekerja di ranah ilmu pengetahuan. Dalam
teknokratisme itu, administrator lebih dihargai daripada ilmuwan, struktural
lebih dikejar daripada fungsional. Dalam buku The Floracrats:
State-Sponsored Science and the Failure of the enlightenment in Indonesia
(2011), Andrew Goss menyebut para ilmuwan teknokrat itu sebagai “desk
scientists”. Mereka ini adalah orang-orang yang, “dari meja kantor
administrasi, mereka terus-menerus menangani segudang tanggung jawab –kepada
negara, bangsa, rakyat Indonesia, komunitas ilmiah lokal, dan juga kepada
sains internasional—dan sekaligus menetapkan agenda untuk displin keilmuan
yang mereka tekuni” (h. 142). Kondisi ini yang membelenggu riset dan inovasi
di Indonesia sejak pra-kemerdekaan hingga sekarang. Salah satu bukti bahwa
BRIN nanti tidak terjebak pada jeratan teknokratisme adalah seberapa cepat ia
bisa mengkonsolidasikan kelembagaan dan persoalan internal. Dalam rencana
awal, BRIN akan menyelesaikan konsolidasi lembaga pada 1 Januari 2022 dan
kemudian melangkah pada agenda-agenda yang lain. Apa bisa BRIN ini nantinya
lebih baik dari BPIP dalam mengelola persoalan internal? BPIP dikritik oleh
salah satu dewan pengarahnya, Ahmad Syafii Maarif, dalam artikelnya
“Lumpuhnya Pancasila” (Kompas, 31/5/2021) dengan menyebutkan bahwa meski
telah berdiri sejak 2017, hingga kini “BPIP masih disibuki kerja penataan
organisasi ke dalam”. Persoalan kelembagaan ini
tentu saja tidak sederhana karena BRIN akan menjadi “rumah besar” yang
menggabungkan berbagai lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) ristek,
seperti LIPI, BATAN, LAPAN, dan BPPT. Tantangannya, ini akan menjadikan BRIN
sebagai “superagency” dan dengan beragam bidang serta disiplin yang dimiliki
para penelitinya akan bisa membuatnya bersifat “overarching”. Selain persoalan yang
terkait pengelolaan dan kelembagaan atau birokrasi, ada persoalan yang
bersifat kultural dalam riset dan inovasi di Indonesia yang perlu
diperhatikan. Tulisan ini hanya akan menampilkan tiga hal saja, yaitu terkait
publikasi ilmiah internasional, gelar dan penghargaan kesarjanaan, dan
kepercayaan kepada ilmu dan riset itu sendiri. Perguruan tinggi dan
lembaga riset telah menjadikan publikasi internasional sebagai persyaratan
kelulusan kuliah program doktoral, kenaikan pangkat, pengusulan menjadi
profesor, dan untuk mendapat tunjangan gaji. Ketika publikasi internasional
atau “scopusisasi” itu digalakkan, banyak ilmuwan dan peneliti kita yang
mengambil jalan pintas. Sebagian terjerat pada Scopus bodong atau menerbitkan
naskah dalam predatory journals. Bukan proses ilmiah yang diambil, tapi
membayar puluhan juta rupiah untuk bisa menerbitkan tulisan di jurnal yang
klaimnya terindeks Scopus atau indeksasi global lainnya. Maka bermunculanlah
calo-calo Scopus yang bisa membantu memenuhi persyaratan akademik dengan
sejumlah bayaran. Dengan calo ini, orang yang tak punya naskah atau
penelitian pun tiba-tiba bisa memiliki naskah yang kemudian terbit di “jurnal
internasional”. Pada kenyataannya, dari sekian publikasi internasional
terindeks Scopus yang dihasilkan para sarjana Indonesia, mungkin hanya
separuh atau kurang yang betul-betul merupakan tulisan dengan standar
akademik baik. Ini adalah penyakit di dunia ilmiah kita. Padahal tujuan
digalakkannya publikasi internasional adalah agar karya-karya dari Indonesia
dibaca, direview, dinilai, dan kemudian dirujuk oleh peer atau kolega yang
terdiri dari ilmuwan lain dari berbagai belahan dunia. Budaya riset dan inovasi
kita juga dicemari oleh adanya obral gelar akademik dengan cara yang super
gampang, termasuk berbagai pemberian gelar doktor honoris causa dan profesor
honoris causa. Gelar kesarjanaan adalah semacam bukti keilmuan, kepakaran,
dan kerja akademik yang dilalui selama beberapa waktu. Ia juga semacam
license untuk bergabung dan berbicara secara otoritatif dalam disiplin
tertentu. Jika ia diperoleh dengan cara yang tidak benar, maka ia bisa
merusak tatanan atau membuat lalu-lintas semrawut. Sedihnya, seperti ditulis
Herlambang Wiratraman (Kompas, 21/12/2020), “kampus-kampus di Indonesia kian
terpolitisasi kekuasaan”. Mereka tak berdaya di hadapan partai politik dan
pejabat pemerintah atau bahkan menjual diri mereka ke kekuasaan. Persoalan kultural
berikutnya adalah tidak dijadikannya riset dan ilmu sebagai landasan
kebijakan atau bersikap. Presiden Joko Widodo, misalnya, tak sekalipun
menghadiri undangan kegiatan yang diadakan oleh Akademi Ilmuwan Muda
Indonesia (ALMI). Terkait dengan penanganan Covid-19, komentar atau kebijakan
pemerintah juga lebih banyak berdasar politik daripada riset. Jawa Timur yang
memiliki angka kematian tertingi akibat Covid-19 itu dulu disebut seorang
pejabat negara sebagai daerah yang selamat dari pandemi karena selalu
melakukan doa qunut. Tulisan menarik yang
mengkritik kebijakan Indonesia dalam menangani Pandemi di antaranya adalah
“Military Politics in Pandemic Indonesia” (2020) oleh Jun Honna. Jika negara
lain mengandalkan riset dan ilmuwan dalam penanganan Covid-19, di Indonesia
militer lebih banyak mengambil peran. Pandemi ini bahkan, seperti ditulis
Honna, menjadi alat kembalinya militer dalam berbagai peran non-pertahanan
dan keamanan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar