Sabtu, 10 Juli 2021

 

Riset dan Inovasi

Ahmad Najib Burhani ;  Profesor Riset di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

KOMPAS, 3 Juli 2021

 

 

                                                           

Pada beberapa kesempatan, L. T. Handoko, selaku Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan tiga arah lembaga yang dipimpinnya sejak 28 April 2021. Ketiga arah itu adalah: pertama, konsolidasi sumber daya (manusia, infrastruktur, dan anggaran) iptek. Kedua, menciptakan ekosistem riset standar global, terbuka (inklusif), dan kolaboratif. Ketiga, menciptakan fondasi ekonomi berbasis riset yang kuat dan berkesinambungan.

 

Apa yang diharapkan dengan konsolidasi sumber daya iptek itu? Yaitu terciptanya atau adanya peningkatan “critical mass, kapasitas dan kompetensi riset Indonesia dalam menghasilkan invensi dan inovasi sebagai fondasi Indonesia maju 2045”.

 

Dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Singapura dan Malaysia, riset dan inovasi di Indonesia tergolong rendah. Padahal, dulu Malaysia banyak belajar dan mengimpor dosen dari Indonesia. Demikian pula dengan Korea Selatan dan India yang juga maju pesat dalam riset dan inovasi. Di sini bisa dilihat kemungkinan adanya sesuatu yang tidak beres dalam tradisi ilmiah atau tradisi riset dan inovasi kita dan mungkin juga dalam kelembagaannya.

 

Dana yang dikeluarkan negara untuk litbang setiap tahun pun tak terbilang kecil, yaitu sekitar Rp 37 triliun. Mestinya, dengan dana sebesar itu ada banyak riset dan inovasi yang dihasilkan. Pernyataan penting yang perlu dicatat dari Handoko terkait ini adalah, “saya tak ingin hanya membenarkan sebuah tradisi, tetapi saya ingin mentradisikan yang benar di BRIN” (Kompas, 17/5/2021).

 

Nah, salah satu persoalan yang sering disebut sebagai penghambat riset dan inovasi nasional adalah jebakan teknokrasi. Makna dari teknokrasi di sini adalah ilmuwan yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk urusan birokrasi, administrasi, dan pelayanan terhadap berbagai permintaan pemerintah. Sementara hanya sedikit waktu yang tersisa untuk benar-benar bekerja di ranah ilmu pengetahuan. Dalam teknokratisme itu, administrator lebih dihargai daripada ilmuwan, struktural lebih dikejar daripada fungsional.

 

Dalam buku The Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the enlightenment in Indonesia (2011), Andrew Goss menyebut para ilmuwan teknokrat itu sebagai “desk scientists”. Mereka ini adalah orang-orang yang, “dari meja kantor administrasi, mereka terus-menerus menangani segudang tanggung jawab –kepada negara, bangsa, rakyat Indonesia, komunitas ilmiah lokal, dan juga kepada sains internasional—dan sekaligus menetapkan agenda untuk displin keilmuan yang mereka tekuni” (h. 142). Kondisi ini yang membelenggu riset dan inovasi di Indonesia sejak pra-kemerdekaan hingga sekarang.

 

Salah satu bukti bahwa BRIN nanti tidak terjebak pada jeratan teknokratisme adalah seberapa cepat ia bisa mengkonsolidasikan kelembagaan dan persoalan internal. Dalam rencana awal, BRIN akan menyelesaikan konsolidasi lembaga pada 1 Januari 2022 dan kemudian melangkah pada agenda-agenda yang lain. Apa bisa BRIN ini nantinya lebih baik dari BPIP dalam mengelola persoalan internal? BPIP dikritik oleh salah satu dewan pengarahnya, Ahmad Syafii Maarif, dalam artikelnya “Lumpuhnya Pancasila” (Kompas, 31/5/2021) dengan menyebutkan bahwa meski telah berdiri sejak 2017, hingga kini “BPIP masih disibuki kerja penataan organisasi ke dalam”.

 

Persoalan kelembagaan ini tentu saja tidak sederhana karena BRIN akan menjadi “rumah besar” yang menggabungkan berbagai lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) ristek, seperti LIPI, BATAN, LAPAN, dan BPPT. Tantangannya, ini akan menjadikan BRIN sebagai “superagency” dan dengan beragam bidang serta disiplin yang dimiliki para penelitinya akan bisa membuatnya bersifat “overarching”.

 

Selain persoalan yang terkait pengelolaan dan kelembagaan atau birokrasi, ada persoalan yang bersifat kultural dalam riset dan inovasi di Indonesia yang perlu diperhatikan. Tulisan ini hanya akan menampilkan tiga hal saja, yaitu terkait publikasi ilmiah internasional, gelar dan penghargaan kesarjanaan, dan kepercayaan kepada ilmu dan riset itu sendiri.

 

Perguruan tinggi dan lembaga riset telah menjadikan publikasi internasional sebagai persyaratan kelulusan kuliah program doktoral, kenaikan pangkat, pengusulan menjadi profesor, dan untuk mendapat tunjangan gaji. Ketika publikasi internasional atau “scopusisasi” itu digalakkan, banyak ilmuwan dan peneliti kita yang mengambil jalan pintas. Sebagian terjerat pada Scopus bodong atau menerbitkan naskah dalam predatory journals. Bukan proses ilmiah yang diambil, tapi membayar puluhan juta rupiah untuk bisa menerbitkan tulisan di jurnal yang klaimnya terindeks Scopus atau indeksasi global lainnya.

 

Maka bermunculanlah calo-calo Scopus yang bisa membantu memenuhi persyaratan akademik dengan sejumlah bayaran. Dengan calo ini, orang yang tak punya naskah atau penelitian pun tiba-tiba bisa memiliki naskah yang kemudian terbit di “jurnal internasional”. Pada kenyataannya, dari sekian publikasi internasional terindeks Scopus yang dihasilkan para sarjana Indonesia, mungkin hanya separuh atau kurang yang betul-betul merupakan tulisan dengan standar akademik baik. Ini adalah penyakit di dunia ilmiah kita. Padahal tujuan digalakkannya publikasi internasional adalah agar karya-karya dari Indonesia dibaca, direview, dinilai, dan kemudian dirujuk oleh peer atau kolega yang terdiri dari ilmuwan lain dari berbagai belahan dunia.

 

Budaya riset dan inovasi kita juga dicemari oleh adanya obral gelar akademik dengan cara yang super gampang, termasuk berbagai pemberian gelar doktor honoris causa dan profesor honoris causa. Gelar kesarjanaan adalah semacam bukti keilmuan, kepakaran, dan kerja akademik yang dilalui selama beberapa waktu. Ia juga semacam license untuk bergabung dan berbicara secara otoritatif dalam disiplin tertentu. Jika ia diperoleh dengan cara yang tidak benar, maka ia bisa merusak tatanan atau membuat lalu-lintas semrawut. Sedihnya, seperti ditulis Herlambang Wiratraman (Kompas, 21/12/2020), “kampus-kampus di Indonesia kian terpolitisasi kekuasaan”. Mereka tak berdaya di hadapan partai politik dan pejabat pemerintah atau bahkan menjual diri mereka ke kekuasaan.

 

Persoalan kultural berikutnya adalah tidak dijadikannya riset dan ilmu sebagai landasan kebijakan atau bersikap. Presiden Joko Widodo, misalnya, tak sekalipun menghadiri undangan kegiatan yang diadakan oleh Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI). Terkait dengan penanganan Covid-19, komentar atau kebijakan pemerintah juga lebih banyak berdasar politik daripada riset. Jawa Timur yang memiliki angka kematian tertingi akibat Covid-19 itu dulu disebut seorang pejabat negara sebagai daerah yang selamat dari pandemi karena selalu melakukan doa qunut.

 

Tulisan menarik yang mengkritik kebijakan Indonesia dalam menangani Pandemi di antaranya adalah “Military Politics in Pandemic Indonesia” (2020) oleh Jun Honna. Jika negara lain mengandalkan riset dan ilmuwan dalam penanganan Covid-19, di Indonesia militer lebih banyak mengambil peran. Pandemi ini bahkan, seperti ditulis Honna, menjadi alat kembalinya militer dalam berbagai peran non-pertahanan dan keamanan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar