Selasa, 13 Juli 2021

 

Drama Korea dan Kecerdasan Semiotika Penonton Indonesia

Prihandari Satvikadewi ;  Dosen Prodi Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas 17 Agustus Surabaya

KOMPAS, 11 Juli 2021

 

 

                                                           

Dua minggu setelah wabah Covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional oleh pemerintah, seorang selebtwit (pemilik akun Twitter dengan ribuan pengikut) mencuit, ”Semua akan nonton drakor pada waktunya”.

 

Kalimat sependek 33 karakter yang diunggah pada akhir Maret 2020 malam tepat pukul 11.11 itu mendapat 31.400 likes, 8.402 retweet, dan dikutip sebanyak 1.328 kali. Di bawah cuitan tersebut masih ada lagi ratusan respons dari sesama penduduk twitterland, ada yang setuju, ada yang menolak, ada juga yang malah menawarkan rekomendasi drama-drama wajib tonton untuk penggemar baru serial ”Negeri Ginseng” ini.

 

Agustus 2020, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil survei di 28 kota Indonesia, yang menyebutkan bahwa jumlah penonton drakor meningkat 87,8 persen dibanding sebelum masa pandemi. Waktu yang dihabiskan (time spent) untuk menonton drakor juga naik, dari 2,7 jam menjadi 4,6 jam per hari.

 

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat populasi penonton drama Korea membesar. Itu adalah kabar baik bagi layanan over the top (OTT) platform video streaming seperti Netflix, Viu, Vidio, Goplay. Mereka kebanjiran pelanggan baru. Namun, berbondong-bondongnya penonton meminati K-drama dapat dilihat juga sebagai wujud eskapisme kolektif akibat kebosanan, perasaan tertekan masyarakat akibat harus berada di rumah saja untuk waktu yang cukup lama dan belum jelas kapan ujungnya.

 

Eskapisme adalah salah satu motif konsumen media untuk mendapatkan kenikmatan (enjoyment/pleasure) sebagai bentuk dari efek hiburan (entertainment effect). Efek hiburan dari ”pelarian” menyaksikan drakor—baik bagi penonton lama maupun baru—adalah diperolehnya sensasi terbebas (excitation transfer), katarsis (catharsis), dan pembelajaran (learning). Manifestasinya beragam, dapat berupa ketenangan, kegembiraan/tertawa, ketegangan, kesedihan/melankolia, kesembuhan, bahkan perasaan berkuasa, pencapaian dan efikasi diri.

 

Kecerdasan membaca tanda

 

Sesungguhnya menjadi penonton drakor tidaklah semudah yang dibayangkan. Untuk bisa mengikuti jalan cerita, seseorang harus terampil membagi perhatian antara melihat tayangan visual, mendengarkan audio berupa percakapan dan musik yang tidak disulihsuarakan serta sound effect yang menyertainya, sekaligus membaca teks terjemahan dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Tidak seperti umumnya sinetron yang jika terlewati beberapa episode penonton masih bisa mengira-ngira alurnya, plot serial drama Korea yang tayang di slot-slot prime time umumnya tak semudah itu ditebak, atau jika ada kemiripan selalu dapat ditemukan unsur kebaruan yang membedakan antara satu judul dan judul lainnya.

 

Dalam teori Media Entertainment, Peter Vorderer mengemukakan bahwa sebelum merasakan efek hiburan, penonton perlu melewati tahap enjoyment experience (pengalaman kenikmatan) pada saat mengonsumsi suatu tayangan. Pengalaman kenikmatan itu disediakan media melalui teknologi, desain, estetika, dan konten. Drama Korea menyajikan pengalaman kenikmatan itu melalui visual aktor yang menarik, sinematografi yang berkualitas tinggi bahkan menggunakan CGI (Computer-Generated Imagery).

 

Adapun peran penonton, pertama adalah suspension (menangguhkan keyakinan awal)—untuk mendapat efek hiburan, penonton perlu menahan diri dulu dari apa-apa yang selama ini ia percayai, termasuk norma dan agama.

 

Kedua, empathy, hanya dengan berempati, penonton dapat merasakan apa yang dirasakan tokoh dalam drakor, bahkan terkadang ikut memikirkan jalan keluar persoalan si tokoh, ikut tertawa dan menangis saat drama ditayangkan.

 

Ketiga, interaksi parasosial (hubungan searah antara individu dan figur media), di mana pemirsa seolah-olah merasa memiliki hubungan dengan figur yang ditontonnya, namun tak berbalas.

 

Keempat, interest (ketertarikan), bisa bersumber tema drama yang dekat dengan keseharian, harapan atau pengalaman yang sama dengan penonton.

 

Apa yang dilakukan penonton dalam mengupayakan kenikmatan adalah bagian dari kecerdasan semiotika. Piliang dan Audifax (2019) menggagas kecerdasan semiotika sebagai kemampuan mengenal tanda, dengan asumsi bahwa kehidupan selalu berada dalam suatu kultur, dan tiap-tiap kultur adalah jejaring tanda.

 

Semiotika pada dasarnya adalah ilmu tentang tanda (sign) beserta kode-kodenya dan penggunaannya dalam masyarakat. Tanda sebagai unsur dasar dalam semiotika adalah segala sesuatu yang mengandung makna.

 

Tanda memiliki dua elemen, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk atau material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar, apa yang ditampilkan atau disaksikan dan apa yang ditulis atau dibaca, sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep atau aspek mental dari bahasa. Dalam sebuah episode drama Vincenzo, adegan Song Joong Ki makan permen buatan Indonesia merek Kopiko adalah penanda. Bahwa produk Indonesia layak dibanggakan karena muncul di drama Korea, itu adalah pemaknaan (petanda) yang diberikan oleh penonton Indonesia.

 

Kecerdasan semiotika berhubungan dengan bagaimana orang mengetahui persis dengan kategori tanda apa ia terlibat: oral, tulisan, audio, gambar, visual, bau, rasa, obyek, alam, tubuh, gerak, spasial, emosional, libidinal, bahkan spiritual (no sign). Spektrum kecerdasan semiotika membuka ruang seluas-luasnya bagi individu untuk menemukan ”kemungkinan dunia baru”, yaitu tanda-tanda baru yang disediakan oleh bahasa. Bagaimana kemudian penonton mampu mengidentifikasi efek hiburan yang didapatnya setelah kenikmatan menonton drakor adalah suatu bentuk kemampuan menafsir dan mengolah tanda.

 

Seruan pemerintah untuk stay at home, work from home, 5M, PSBB pada dasarnya adalah penanda yang dimaknai oleh sebagian masyarakat bahwa jika mereka patuh, mereka dapat menghindari risiko tertular dan mengurangi tingkat keparahan pandemi. Penonton drakor ”dadakan”, yang mendapatkan kenikmatan menonton drakor akibat keterpaksaan atau karena kesadaran, merupakan bagian paralel dari sebuah sistem kecerdasan semiotika secara kolektif.

 

Drakor dan ”survival of the fittest”

 

Drama hanyalah satu dari sejumlah produk media dan hiburan Korea Selatan. Berkonsentrasi pada penciptaan entertainment effect dan enjoyment experience dengan kontrol ketat Badan Konten Kreatif Korea (KOCCA) yang terintegrasi dengan Institut Penyiaran Korea, Badan Konten dan Budaya, didukung beragam kebijakan pemerintah sehingga terbentuk ekosistem media dan hiburan yang sangat kuat, adalah bentuk pembacaan tanda Korea Selatan terhadap industri media dan hiburan negerinya. Hasilnya, tidak hanya bertahan, drakor sukses menembus pasar internasional dan berkontribusi terhadap perekonomian nasional sedikitnya Rp 178,3 triliun per tahun.

 

Suka tidak suka, situasi pandemi Covid-19 yang berkepanjangan menuntut kemampuan individu untuk bersikap adaptif agar tetap bisa bertahan. Di tengah drama politik, korupsi, kematian, pesimisme, perdebatan dan negativisme yang mengiringi pemberitaan terkait wabah global ini di media dua tahun terakhir, drakor menemukan momentumnya sebagai sebuah tanda yang menunggu dibaca dan ditafsirkan oleh penonton di seluruh dunia termasuk Indonesia. Bukan hanya sebatas untuk dikupas jalan ceritanya, diidolakan aktor-aktrisnya, atau dijadikan unggahan status di medsos. Bagaimana industri hiburan Korea Selatan bisa sampai pada tahap ”mewabah” secara global ini pun perlu dibaca seksama.

 

Mereka yang cerdas mengembangkan kemampuan membaca tanda dalam hidupnya adalah mereka yang mampu menghadapi survival of the fittest. Kecerdasan semiotika penonton kita barangkali berperan dalam membantu mereka keluar dari tekanan situasi pandemi. Tinggal menunggu momen yang tepat untuk diintegrasikan dengan kecerdasan semiotika berbagai pihak, termasuk pelaku industri hiburan dan penyiaran serta kecerdasan semiotika pengelola negara, untuk secara serius memaknai drama.

 

Pada tahun 2022 nanti, sistem penyiaran digital secara sempurna diterapkan, televisi akan bersaing ketat dengan industri OTT.  Akankah industri penyiaran nasional kita bangkit dengan produksi drama televisi yang lebih berkualitas, ataukah hanya akan pasrah membeli hak tayang drakor-drakor demi menarik minat penonton?

 

Akankah multiplier effect dari digitalisasi penyiaran meningkatkan kecerdasan semiotika kita, atau sebaliknya melemahkan? Lebih esensial lagi, apakah semua penonton drakor dengan motivasi eskapisme sukses kembali ke realitas? Karena motivasi eskapisme yang berhasil seharusnya menghasilkan perasaan nyaman dan relaksasi, bukan perasaan negatif atau menyesal, bersalah, atau suatu mood yang buruk atau justru ketergantungan (adiksi) setelah aktivitas menonton berakhir. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar