Selasa, 13 Juli 2021

 

Dunia Fantasi Seno Gumira Ajidarma

S Prasetyo Utomo ;  Sastrawan, Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes

KOMPAS, 11 Juli 2021

 

 

                                                           

Dunia fantasi menjadi bagian proses penciptaan teks-teks Seno Gumira Ajidarma. Tak kepalang tanggung, ia empat kali memenangi Anugerah Cerpen Kompas. Tentu banyak orang penasaran, apa rahasia yang dipendam dalam kebesarannya sebagai cerpenis Kompas yang paling produktif. Prestasinya menyamai Kuntowijoyo dan melampaui Budi Darma.

 

Kebanyakan teks cerpen maupun novel yang diciptakan Seno dikemas dalam pengembaraan fantasi yang mencengangkan. Dalam bahasa Marshall Clark, Seno memiliki imajinasi yang sangat liar, kemampuan menarik gagasan secara terampil, baik dari tradisi lokal maupun budaya populer asing, dan kemampuan mengkritik penguasa otoriter dengan bahasa yang sering kali nyaring, subtil, dan tidak langsung.

 

Dalam disertasi yang saya tulis mengenai novel Kitab Omong Kosong, Seno melakukan defamiliarisasi terhadap tokoh-tokoh Rama, Rahwana, Sinta, dan Hanoman. Ia mencipta kembali sebuah kitab klasik yang disakralkan, Ramayana, menjadi novel dengan hasrat bermain-main terhadap tokoh dan struktur narasi—inilah daya tarik fantasi yang paling memikat.

 

Bukan saja novel itu menjadi khas, aneh, menyimpang, luar biasa, dan menarik empati pembaca yang sudah sangat paham akan struktur narasi Ramayana, tetapi Seno juga telah melakukan dekonstruksi terhadap karakter tokoh-tokoh kitab yang berisi dharma, filosofi, dan mitos itu. Ia telah melakukan eksplorasi tokoh-tokoh yang mengubah perilaku, konflik, dan struktur narasi membongkar kesucian Rama sebagai awatara (titisan) Wisnu di dunia menjadi Rama yang haus kekuasaan, bengis, keji, biadab, dan otoriter.

 

Dalam novel Kitab Omong Kosong itu Seno sangat leluasa menghidupkan tokoh-tokoh sakral ke dalam fantasi yang diciptakannya sendiri, yang tak terduga. Ia bisa mengembara secara intertekstual tidak hanya terhadap hipogram kitab Ramayana gubahan C Rajagopalachari yang mengukuhi versi Walmiki, tetapi juga memiliki kemampuan memadukan kitab-kitab sastra lain menjadi sebuah kisah yang menarik dan penuh teka-teki. Bahkan, Walmiki bisa dihidupkannya dalam novel itu, dengan struktur narasi yang dikembangkan menurut fantasinya sendiri. Tokoh Hanoman juga memiliki keleluasaan untuk berkembang menurut fantasinya yang melampaui batas ruang-waktu. Fantasinya liar dan tak terkendali.

 

Menjadi teladan

 

Sungguh menarik pengakuan Seno dalam Anugerah Cerpen Kompas 2020. Pertama, pengakuannya bahwa pada mulanya ia mencipta cerpen selama empat tahun terus-menerus dikirim ke Kompas dan barulah dimuat, kemudian berkembanglah ia menjadi cerpenis paling produktif dan terhormat. Ia seorang sastrawan yang tangguh dan pantang menyerah. Ketangguhan Seno ini menjadi teladan bagi para sastrawan lain agar tak mudah menyerah dalam meraih kesempatan dimuat di media massa.

 

Kedua, ia mematangkan obsesinya terhadap obyek yang hendak ditulisnya cukup lama. Ia mengisahkan betapa lama ia mengendapkan kisah yang kemudian diangkatnya menjadi cerpen ”Macan”. Ia melakukan wawancara dengan seorang teman, setiap kali bertemu, berkali-kali. Kegigihan untuk menemukan ide dan mematangkan dalam perenungannya ini juga sering kali dilupakan para sastrawan muda. Mereka terbiasa terburu-buru menuangkan ide ke dalam teks sastra, agar cepat dipublikasikan di media massa.

 

Yang ketiga, ketika ia menulis cerpen ”Macan” menyerahkan sepenuhnya proses kreatif itu pada perkembangan fantasi, yang bahkan ia ”tak tahu” bakal jadi seperti apa. Ia tidak mengerti bagaimana perkembangan struktur narasi dan akhir kisah cerpennya. Ia menyerahkannya pada proses penulisan yang mengasyikkan.

 

Karena itu, dalam cerpen ”Macan” justru terjadi penyimpangan dari obsesi semula. Segala obsesi yang semula dipersiapkannya untuk mencipta struktur narasi justru menjadi bagian kecil cerpen, sementara bagian yang semula tak menjadi obsesi kisah justru berkembang dalam fantasi penciptaan, mendominasi struktur cerita.

 

Keempat, yang paling menggairahkan dalam penciptaan cerpen Seno  justru pada bagian ”ngawur”. Saya memaknai diksi ”ngawur” yang diucapkannya itu sebagai bagian ketika fantasi mengarahkannya untuk melakukan defamiliarisasi dan dekonstruksi struktur narasi.

Dalam penciptaan cerpen, ia memang tak memiliki keleluasaan mengembangkan fantasi, baik defamiliarisasi maupun dekonstruksi, terhadap teks-teks sastra yang telah dipetik sebagai hipogram bagi penciptaan karya sastranya seperti dalam ”Dodolitdodolitdodolibret”, cerpen pilihan Kompas 2010. Dalam cerpen pilihan Kompas 2020, ”Macan”, ia memang melakukan defamiliasisasi terhadap novel Harimau! Harimau! Mochtar Lubis, tetapi tak melakukan dekonstruksi struktur narasi.

 

Kelima, Seno melakukan revisi dan penyuntingan terhadap cerpennya sampai 5-6 kali. Dicecar pertanyaan berapa lama ia menulis cerpen, ia mengisahkan proses panjang penciptaan sampai berkali-kali penyuntingan. Ia tak pernah puas dengan teks yang diciptakannya, dan karena itu berkali-kali ia melakukan revisi.

 

Betapa ia selalu dalam pengembaraan fantasi yang tak pernah bisa lupa akan cerpen yang diciptakannya itu sehingga menggodanya untuk melakukan revisi berkali-kali sampai ia merasa ikhlas melepas teks itu ke media massa. Hal ini juga jarang dilakukan para sastrawan lain, yang cenderung lebih cepat puas terhadap teks yang diciptakannya, dan enggan untuk melakukan penyuntingan terhadap teks yang sudah selesai ditulis.

 

Keenam, ia membiarkan cerpennya dalam tafsir yang terbuka. Ia tak menyelesaikan cerpennya dengan peristiwa tertentu. Ia membiarkan cerpen itu dalam tafsir dan kebebasan fantasi pembaca. Cerpen ”Macan” memberikan ruang fantasi bagi pembaca yang bisa mengembangkan sendiri struktur cerita dalam benak mereka.

 

Empati kemanusiaan

 

Kelebihan cerpen ”Macan” tidak hanya pada tema tentang konservasi hutan sebagaimana dikatakan Damhuri Muhamad. Dalam teks-teks yang diciptakan Seno, sering kali menyusup dunia fantasi yang memenuhi ruang jiwa yang menciptakan empati kemanusiaan, terutama dalam cerpen ”Pelajaran Mengarang” dan ”Cinta di Atas Perahu Cadik”. Dalam cerpen ”Dodolitdodolitdodolibret” berkembang dunia fantasi spiritualitas dan religiositas.

 

Akan tetapi, sesungguhnya, dalam keempat cerpen Seno  yang memenangi Anugerah Cerpen Kompas, selalu mengendapkan fantasi yang tak terlupakan dalam pemahaman pembaca. Meski realis, cerpen-cerpen itu menyingkap arus kesadaran manusia dalam konflik-konflik yang mendasar tentang hakikat hidup.

 

Dalam cerpen ”Pelajaran Mengarang”, Seno  mengembangkan struktur narasi melalui Sandra, gadis 10 tahun, yang berfantasi mengenai ibunya, sampai ia menulis dalam pelajaran mengarang: ibuku seorang pelacur. Dalam cerpen ”Cinta di Atas Perahu Cadik”, fantasi itu berkembang melalui sudut pandang tokoh-tokoh di luar tokoh utama: Sukab dan Hayati. Dalam cerpen ”Dodolitdodolitdodolibret”, dunia fantasi yang transenden itu dikembangkan melalui perilaku Guru Kiplik. Fantasi cerpen ”Macan” berkembang melalui tokoh macan yang membidik pemburu untuk dimangsa.

 

Bukan suatu peristiwa yang berlebihan tentu bila banyak pengarang yang menganggap Seno sebagai ”guru” yang berpengaruh terhadap proses penciptaannya. Atau, bahkan, beberapa pengarang yang lebih muda diam-diam mengikuti teknik bercerita yang dikembangkan Seno. Ini karena dunia fantasi Seno dalam proses penciptaan teks sastra, masih memiliki keadiluhungan estetika sampai saat ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar