Selasa, 13 Juli 2021

 

Surealisme Dunia Baru

Bre Redana ;  Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu

KOMPAS, 11 Juli 2021

 

 

                                                           

Saya melihat dunia saat ini sebagai sesuatu yang surealistik. Perginya orang-orang yang dikasihi, kesedihan, kecemasan, masa mendatang yang kabur membuat dunia tidak lagi tampak sebagaimana mestinya. Ikut mendistorsi dunia adalah banjir bandang informasi, termasuk di dalamnya disinformasi, hujatan, mobilisasi pendapat untuk mendukung kebohongan publik, dan lain-lain.

 

Sehari-hari selain dikepung informasi yang tidak ada relevansi dengan kehidupan diri sendiri, kita menyaksikan akrobat mereka yang punya kekuasaan mempertontonkan privilege yang mereka miliki. Mereka boleh ngomong sesukanya, mencla-mencle semaunya, melanggar semua aturan, beda nasib dengan orang yang tidak memiliki apa-apa. Termasuk di dalam privilege tadi kekebalan mereka terhadap hukum dan keadilan.

 

Lama-lama, seperti disebut Rolf Dobelli yang menulis beberapa buku mengenai pengaruh media digital terhadap kerja otak, terjadi learned helplessness. Rakyat kecil merasa tak berdaya. Tak bisa apa-apa melihat penegak hukum yang melakukan korupsi besar mendapat hukuman kecil, kecuali merasa kian tak berdaya.

 

Kita bisa mengontrol tindakan, ucapan, tapi tidak perasaan. Tidak ada sensor untuknya.

 

Dunia saat ini sangat menyedihkan. Apalagi negeri ini. Selalu berada di kelompok urutan atas dalam hal keterbelakangan, dan di urutan bawah dalam literasi atau kemelek-hurufan.

 

Saya selalu percaya bahwa yang bisa menyelamatkan dunia salah satunya adalah literasi—sampai nanti ada ganti kebenaran baru yang bisa lebih meyakinkan saya.

 

Ada ayat dalam kitab yang intinya berbunyi ”pada mulanya adalah kata”.

 

Dengan ditemukannya abjad, kata, bahasa, spesies manusia mengalami evolusi, memiliki kesadaran, meninggalkan spesies lainnya. Bersama perkembangan bahasa kemudian muncul peradaban. Dari zaman kegelapan mencapai pencerahan, termasuk hasilnya, pencapaian teknologi yang kemajuannya menimbulkan banyak kerusakan disertai sedikit manfaat.

 

Dunia yang dibentuk oleh krida bahasa akan diganti oleh dunia baru, dunia digital visual. Supremasi bahasa telah lama merosot diganti image. Mereka yang fasih dalam era digital tahu belaka, penggemar unggahan video jumlahnya jutaan kali lipat dibanding unggahan teks, kata-kata.

 

Kata-kata yang tidak disemai dan dipelihara pada akhirnya sekarat. Dia tidak lagi mampu mengembangkan daya imajinasi dan kognisi, melainkan semata-mata alat komunikasi dan ekspresi, itu pun terbatas untuk ungkapan benci sekali atau kebalikannya, suka sekali, mendukung sekali. Manusia terpolarisasi dalam dua kutub tersebut.

 

Seiring kematian bahasa berakhir dunia yang dibentuknya. Dunia yang telah membawa manusia pada puncak-puncak kebudayaan akan menjadi ”yesterworld”. Kita masuk dunia baru, yang seperti saya sebut di atas, sebuah dunia dengan penampakan surealistik—dunia distopia.

 

Mengenai dunia yang surealistik itu sebagai pengarang pikiran saya mengembara, membayangkan janji bertemu teman. Dia pejabat. Baru pulang dari pertemuan penting di luar Jawa. Dia bepergian ke mana-mana.

 

Saya menanti dia di taman tanpa pohon, bunga, rerumputan, hanya ada layar digital dan kamera-kamera monitor. Semua orang mendengar dan melihat apa yang diucapkan dan dilakukan orang lain.

 

Tengah menanti saya mendengar percakapan dua orang di bangku taman.

 

Kemarin ibunya meninggal, begitu saya dengar ucapan satu di antara mereka. Anak gadisnya datang dari luar kota untuk mengurus pemakaman ibunya, lanjutnya. Pulang kembali ke kotanya sang anak ambruk. Lalu meninggal. Mempertimbangkan kondisi baru saja ditinggal istri, ayahnya tidak diberi tahu anaknya meninggal. Sehari kemudian giliran sang ayah meninggal.

 

Mendengar cerita tadi tiba-tiba saya dicekam ketakutan. Saya takut ia tidak muncul. Jangan-jangan ia meninggal.

 

Untung sebelum kekhawatiran berlanjut saya lihat dia.

 

Hanya saja dia tampak beda, tidak seperti yang dulu. Ia seperti mayat hidup.

 

Apa yang terjadi padamu? Kamu dingin dan beku.

 

Saya ceritakan apa yang baru saja saya alami padanya.

 

Dia tertawa terbahak-bahak.

 

Kamu terlalu berilusi. Nasib saya tidak akan seperti mereka. Saya istimewa. Sebentar lagi akan dibangun rumah sakit khusus pejabat. Saya pejabat, saya selalu selamat, katanya bungah.

 

Saya kaget mendengar reaksinya.

 

Kamu tidak waras, kata saya.

 

Dia tambah terbahak-bahak.

 

Sadarlah saya, dalam dunia surealis ini ia benar-benar tidak waras. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar