Sabtu, 10 Juli 2021

 

Agama dan Topografi Keadaban

Max Regus ;  Dekan FKIP Unika Santo Paulus Ruteng, NTT

KOMPAS, 3 Juli 2021

 

 

                                                           

Covid-19 mengambil begitu banyak dari kehidupan kita. Keruntuhan ada di mana-mana. Rantai kematian masih mengurung kita. Sebagiannya seperti sedang menyaksikan akhir sejarah.

 

Meski begitu, Covid-19 tidak “semestinya” menjauhkan kita dari keadaban. Kita niscaya menggenggam harapan ini. Agama mungkin bisa membantu kita pada aspek ini.

 

Posisi agama, di bawah badai pandemi, tetap menjadi isu menarik. Pendekatan dogmatis-teologis memang masih dominan dalam membaca posisi agama. Namun, agama juga perlu dibedah dari titik pandang lain. Kita mesti melihat agama dalam kaitannya dengan pembangunan keadaban sosial. Bahkan, dimensi ini bisa dianggap sebagai suatu kemendesakan.

 

Kemarahan vs keramahan

 

Sekurang-kurangnya, mengenai posisi sosial agama, kita merujuk pada dua pandangan berikut. Pertama, agama memiliki peran kunci dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai agama dapat mengarahkan perkembangan peradaban. Kedua, agama dianggap tidak memiliki peran dalam kehidupan sosial. Bahkan agama cenderung menyumbang energi ketunaadaban (Berger, 2005).

 

Agama berkaitan dengan ekspresi multidimensi suatu masyarakat. Dua posisi di atas menegaskan pengaruh agama dalam membentuk topografi keadaban. Potret permukaan keadaban merefleksikan posisi sosial agama.

 

Dan, ekspresi keberagamaan dalam tata laku sosial bisa muncul dalam dua wajah. Berkebalikan maupun sejajar dengan ukuran-ukuran keadaban. Baik dalam amuk kemarahan maupun sapaan keramahan.

 

Posisi semacam ini mengungkapkan bahwa keyakinan agama sama sekali tidak berada dalam ruang hampa sosial. Agama niscaya terhubung pada konteks tertentu.

 

Kecenderungan ini beririsan dengan anggapan bahwa fondasi dogmatik agama (forum internum) niscaya berkait erat dengan dimensi luas ranah sosial (forum externum). Kualitas keadaban ini menyata dalam ekspresi, perilaku sosial, dan disposisi etis-moral dalam ruang hidup kemasyarakatan.

 

Menggeser pendekatan

 

Kita perlu mengedepankan kesadaran pembangunan keadaban dalam melihat posisi agama. Ikhtiar ini dianggap penting dengan beberapa alasan. Pertama, kita akan berpapasan dengan cakrawala yang lebih luas dalam memandang “yang lain”.

 

Kita lalu tidak hanya fokus pada satu cara pandang keberagamaan saja. Pendekatan ini, intinya, akan mengeksplorasi keragaman sosial secara terbuka. Di ujungnya, ada pemberian ruang yang makin luas bagi perbedaan.

 

Kedua, di banyak masyarakat, pertanyaan tentang budaya “unggul” dan “murni” muncul sebagai godaan yang mencelakakan. Budaya tertentu, kadang-kadang, memandang dirinya lebih unggul daripada lainnya. Kemudian, dari titik ini muncul pemaksaan apa yang dianggap unggul itu kepada orang lain dengan kekerasan.

 

Pandangan ini kemudian mengkristal dalam polarisasi tajam di antara berbagai kelompok sosial. Di seberangnya, pendekatan baru ini bersentuhan dengan kesadaran tentang keragaman sebagai proses sosial.

 

Ketiga, semua agama telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Juga melalui seleksi alam. Semuanya pernah berpapasan dengan pengalaman masa lalu dengan konteks berbeda. Pendekatan keadaban akan membantu kita mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung atau mematikan perkembangan keadaban sosial. Ikhtiar ini akan membantu kita dalam menyusun tanggapan baru atas tantangan yang mengancam kemanusiaan.

 

Nilai-nilai bersama

 

Secara konstruktif, konteks akan “memaksa” agama membuat kehadirannya ‘berdaya’ mengubah (transformatif) kehidupan sosial. Di Indonesia, keberagaman mendefinisikan genetika sosial kita.

 

Pengarusutamaan perjumpaan sosial memberikan ruang bagi kita untuk mengembangkan toleransi. Kita kemudian mungkin lebih mudah menghargai perbedaan daripada merendahkan orang lain dengan kekerasan.

 

Dengan demikian, perspektif keadaban dalam mempelajari agama akan sangat membantu kita memahami satu sama lain serentak menghindari kristalisasi konflik sosial.

 

Cara pandang lain dalam memahami kehadiran agama akan memberikan kesempatan kepada kita memperkuat interaksi antar kelompok sosial. Proses memahami agama melalui sudut pandang keadaban menjadi fasilitas kesadaran terbaik dalam membangun pemahaman dan menciptakan harmoni sosial. Pendekatan peradaban ini akan membantu agama-agama memahami nilai-nilai bersama (common values) untuk hidup berdampingan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar