Sabtu, 10 Juli 2021

 

Ki Manteb dan Perang ”Brubuh”

Heri Priyatmoko ;  Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

KOMPAS, 3 Juli 2021

 

 

                                                           

Embun sedang giat-giatnya mengeramasi dedaunan di Dusun Jatimalang, Desa Palur, Sukoharjo, Jawa Tengah. Menjelang subuh, di saat orang asyik menarik selimut menepis rasa dingin, dari rahim Sudarti mbrojol bayi merah hasil perkawinan dengan Ki Hardjo Brahim Hardjowiyono. Selasa Legi tanggal 31 Agustus 1948, bocah ini melihat terangnya jagad cilik (bumi). Tanpa banyak cingcong, suami-istri tersebut memberi tetenger buah hati dengan nama Manteb. Nama ringkas itu di-templok-kan dengan kemantaban hati lantaran kedua pasangan ini memikul kerinduan selama satu dekade untuk berjuang memperoleh momongan.

 

Manteb diasuh dalam ekologi perdesaan yang ayem tentrem. Dalam tubuh anak ini mengalir darah seniman. Pasalnya, bapaknya berprofesi sebagai dalang, ibunya juga dalang plus penggender jempolan. Ditarik ke atas lagi, bocah yang kelak bernama lengkap Ki Manteb Soedharsono itu merupakan cucu dari dua  dalang beken di eranya. Kakek dari ayah ialah Ki Djarot Hardjowiguno, sedangkan kakek dari ibu bernama Ki Gunawan Gunowihardjo asal Tepus, Majagedang, Karanganyar. Maklum jika dalang yang kondang dengan sabetan maut tersebut mencintai wayang sedari bocah.

 

Kemarin (2 Juli 2021), Ki Manteb kembali berkumpul dan ”mendalang” bareng di khayangan bersama bapak-ibu serta kedua kakeknya. Raga sepuhnya ambruk karena ”digigit” Covid-19. Ingatan saya melayang pada beberapa tahun silam tatkala saya bertandang ke rumahnya di kaki Gunung Lawu. Saya ”menodong” dongeng perihal relasi wong Jawa dan wayang di era kontemporer. Dengan tawa terbahak dan gigi ompongnya kelihatan, beliau lincah mengisahkan wayang tak mungkin mati. Apalagi, wayang kulit Jawa bisa dikaitkan dengan dunia riil Indonesia.

 

Apa yang dikemukakan ”Si Dalang Oye” ini benar adanya jika melongok buku klasik Mitologi dan Toleransi Orang Jawa anggitan (karangan) Ben Anderson. Indonesianis itu menerangkan bahwa wayang merupakan kaca benggala siapa sejatinya manusia Indonesia berikut perilakunya. Kendati tinggalan kebudayaan klasik, lakon wayang (kulit) yang dibawakan sang dalang masih aktual dan cukup membantu menafsirkan fenomena politik dewasa ini.

 

Dalam memahami kegaduhan dan pertikaian untuk ”memperebutkan” kekuasaan, dalang di depan kelir yang terbentang bisa saja mengambil lakon ”perang brubuh”. Manusia Jawa mencatat terdapat tiga jenis perang dalam pertunjukan wayang kulit Jawa, yaitu perang gagal, perang kembang, dan perang brubuh.

 

Yang dimaksud perang gagal ialah sengketa antara pihak yang baik dan pihak yang berniat jahat, tetapi hasilnya imbang: tiada yang kalah dan menang. Kemudian, perang kembang dikenal sebagai pertempuran sengit antara seorang ksatria yang ditempeli sifat baik melawan empat raksasa di alas (hutan rimba). Dalam pertempuran itu, ksatria mampu mencabut nyawa keempat buta (raksasa) yang ganas. Namun, anehnya, keempat raksasa berwajah merah ini dalam banyak kisah acap hadir kembali dan ditumpas oleh ksatria lainnya. Keempat buta tersebut tak pernah mati. Kalaupun meninggal, pasti hidup lagi.

 

Terakhir, yaitu perang brubuh atau perang habis-habisan yang bermuara dengan kematian mereka yang berniat jahat. Pada konsep ideal di jagat pewayangan, perang tersebut menceritakan mereka yang ketahuan berbuat jahat dan curang akan dikalahkan dalam perang itu menjelang akhir pertunjukan yang ditandai dengan tanceb kayon. Selepas itu, pertunjukan wayang kelar, lalu jagat dan manusia berada dalam ketenangan.

 

Jalan pikiran masyarakat Jawa dalam pewayangan mengisyaratkan bahwa perang menghabisi keangkaramurkaan atau kejahatan di dunia riil bukan urusan yang gampang. Meski demikian, dalam jalan cerita perang brubuh sudah ditentukan alias wis ginaris bahwa kelompok yang berwatak jahat dan bermain dengan strategi yang kurang elegan dalam suatu permainan bakal mengunduh kekalahan. Kelicikan atau kampanye hitam yang diterapkan dalam peperangan malah menyerang balik dirinya. Hal tersebut telah menjadi pakem dalam skenario seni pedalangan, takdir yang tidak mungkin diingkari.

 

Sang dalang bebas mengubah cerita sesuai permintaan penanggap, misalnya memenangkan Kurawa alias kelompok yang jahat di medan laga. Para penonton pasti akan melontarkan kritik serta mencemooh dalang. Pasalnya, terawat dalam sanubari manusia bahwa kejahatan merupakan pihak yang kalah, sedangkan kelompok berperilaku baik dan menabur cinta kasih ialah pihak menang. Wayang, dalam pemahaman mereka, telanjur menjadi suatu mitos yang hidup, menyajikan kisaran idealita yang luas dalam berbagai penokohannya yang memungkinkan orang Jawa punya sejumlah alternatif dalam pengindentifikasian diri dan pembentukan karakternya, serta memiliki pandangan khusus mengenai berbagai sifat manusia di sekitarnya.

 

Masyarakat terlampau sulit menerima mereka yang berbuat jahat justru memenangi pertandingan, lalu berkuasa di jagad cilik (bumi). Jika sampai menjadi kenyataan, berarti menciderai akal sehat, dan mengingkari takdir yang digariskan Dalang Kang Sejati: Gusti Allah.

 

Sukar untuk tidak menerima wayang dalam memahami aktivitas politik yang terjadi di negeri yang mempunyai puluhan jenis wayang ini. Wayang, sebagaimana sistem metafisika dan etika yang lain, berkenaan dengan penjelasan alam semesta Indonesia. Meski sebagian didasarkan pada epos Ramayana dan Mahabarata dari India, mitologi wayang Jawa adalah suatu upaya untuk menjelajahi secara puitis posisi eksistensial orang Jawa, berbagai relasinya dengan tatanan alam nyata dan dunia gaib, kepada sejawatnya dan kepada dirinya sendiri.

 

Pluralisme moral ditemukan dalam puluhan tokoh wayang menyelubungi seluruh jagat wayang. Begitu pula dengan dunia politik Indonesia yang dipenuhi berbagai watak dan moral para pelakunya. Maka, tidak sedikit dari kita mudah menganalogikan para pembisik yang bersifat jahat dengan sosok Sengkuni. Juga sederetan tokoh jahat lainnya merupakan personifikasi dari kelompok Kurawa. Jadi, bukanlah hal wajar apabila petarung politik yang melakukan kelicikan dan kecurangan memenangi pertandingan, sebab wis ginaris.

 

Masih merujuk dunia pewayangan yang digeluti Pak Manteb hingga ujung hayat, suasana yang panas akan dingin dan hati pendukung yang bertikai dibilas dengan tirta suci, tirta kamandalu, tirta nirmala, toya pawira, toya marta, banyu mahapawitra, maupun banyu bening pawitra sari. Asa terpacak, siapa pun pemimpinnya, mampu membawa kerajaan dalam kemakmuran.

 

Dalang Manteb ber-sesorah mengisahkan alam perdesaan Karanganyar dan waduk yang dibangun Gusti Mangkunegara VII menginspirasinya dalam janturan jejer: ”...lenggak-lenggok lampahing toya ingkang mijil saking sendang-sendang wening, tirtane pinara-para playune tinampi wadhuk binendung-nendung kinarya angileni sawah myang pategalaning narakisma.” Terjemahan bebasnya: ”...berkelok-kelok air mengalir keluar dari mata air yang jernih, airnya dibagi-bagi dimasukkan ke waduk-waduk untuk digunakan mengairi sawah dan ladang para petani.” Akhirnya, Pak Manteb mangkat mayang menyang kayangan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar