Selasa, 06 November 2012

Transparansi dan Akuntabilitas versus Intervensi di KPU


Transparansi dan Akuntabilitas
versus Intervensi di KPU
Burhanuddin Muhtadi ;  Direktur Komunikasi Publik Lembaga Survei Indonesia,  Pengajar FISIP UIN Jakarta
MEDIA INDONESIA, 05 November 2012



SETELAH sempat tertunda, akhirnya hasil verifikasi administrasi partai calon peserta pemilu diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 28 Oktober 2012. Penundaan peng umuman hasil verifikasi administrasi itu menimbulkan rumor tak sedap terkait dengan isu perpanjangan waktu bagi dua partai di parlemen yang ditengarai tidak memenuhi persyaratan administrasi. Ke-18 partai yang tidak lolos juga menuding tidak adanya transparansi mengapa partai mereka dinyatakan gagal melewati lubang jarum.

Sukses tidaknya penyelenggaraan pemilu sangat terkait dengan dua hal, yakni sukses proses dan sukses hasil. Sukses proses terkait penyelenggaraan pemilu yang didasarkan pada asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Untuk itu, penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu, mutlak mengedepankan asas-asas tersebut.

Asas-asas itu harus tampak pada keseluruhan proses pemilu. Menurut Guy S GoodwinGill, ada 10 rangkaian dalam proses pemilu yang rentan mendatangkan masalah. Yakni, 1) sistem dan UU Pemilu; 2) pembatasan konstituensi; 3) pengelolaan pemilu; 4) hak pilih; 5) pendaftaran pemilih; 6) pendidikan kewarganegaraan dan informasi kepada pemilih; 7) calon, partai, dan organisasi politik, termasuk pendanaan; 8) kampanye pemilu, termasuk perlindungan dan penghormatan HAM, pertemuan-pertemuan politik serta akses dan liputan media; 9) pencoblosan, pemantauan, dan hasil pemilu; 10) penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa.

Jika diringkaskan, terdapat tiga tahapan pemilu yang harus memenuhi prinsip akuntabilitas agar terjadi sukses proses, yakni sebelum hari H pemilu, pada waktu pelaksanaan pemilu itu sendiri, dan pascapemilu. Pada tahap prapemilu, proses verifikasi administrasi dan faktual turut menentukan kesuksesan pemilu.

Beratnya Persyaratan

Sebenarnya betapapun banyak jumlah partai politik (parpol) yang tidak lolos verifikasi, asalkan verifikasi dilakukan secara fair dan transparan, tentu takkan menimbulkan polemik seperti sekarang. Hal itu mengingat beratnya syarat yang harus dipenuhi agar bisa lolos tahap verifikasi administrasi.

Di antaranya syarat badan hukum sesuai dengan UU tentang Partai Politik (Parpol). Awalnya, 14 partai baru mendaftar ke Kementerian Hukum dan HAM untuk mendapatkan status badan hukum. Saat itu diputuskan hanya satu partai, yakni Partai NasDem, yang memenuhi persyaratan. Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan bahwa partai lama yang sudah berbadan hukum tak perlu mendaftar ke Kemenkum dan HAM memberikan celah bagi partai baru yang tak lolos untuk melakukan ‘akuisisi’ terhadap partai lama sehingga bisa mengikuti tahap verifi kasi KPU. Padahal, partai lama yang sudah berbadan hukum tersebut lolos berdasarkan UU lama yang belum direvisi, sedangkan UU Parpol baru yang dijadikan dasar hukum Kemenkum dan HAM untuk melakukan verifi kasi terhadap 14 partai anyar memang meniscayakan syarat-syarat yang berat bagi partai baru yang ingin mendapatkan legalitas.

Syarat berat lainnya ialah adanya kepengurusan di seluruh provinsi dan 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan serta 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan. Syarat tersebut juga menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol.

Senjata Makan Tuan

Poin-poin tadi ditengarai menjadi salah satu penyebab gagalnya 18 parpol lolos verifikasi administrasi oleh KPU. Belum lagi syarat memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan parpol yang harus dibuktikan melalui kepemilikan kartu tanda anggota, mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilu, dan menyerahkan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama partai politik pada setiap kampanye kepada KPU. Seluruh persyaratan tersebut harus dibuktikan dengan dokumen lengkap yang valid.

Tak mengherankan jika beberapa elite partai menduga KPU bekerja tanpa pandang bulu dalam mengecek persyaratan yang berat, mungkin paling banyak 10 partai saja yang lolos verifikasi administrasi. Jangankan partai baru atau partai nonparlemen, sembilan partai yang lolos parliamentary threshold (PT) hasil pemilu 2009 pun belum tentu melenggang mulus. Sadar bahwa persyaratan sebagai partai kontestan pemilu begitu berat, kesembilan partai di DPR tak mau gagal bertarung di 2014 gara-gara aturan yang mereka bikin sendiri. Awalnya persyaratan tadi ditetapkan untuk `mengganjal' partai baru, tetapi belakangan mereka sadar peraturan tersebut bisa menjadi `senjata makan tuan'.

Oleh karena itu, dalam revisi UU Pemilu Legislatif No 8/2012 tercium aroma `persekongkolan' sembilan partai yang duduk di DPR dengan memasukkan klausul partai-partai yang sudah lolos PT tak perlu mengikuti verifikasi KPU. Syukurlah, golden ticket bagi partai-partai yang sudah duduk di DPR itu kemudian dibatalkan oleh MK karena dianggap melanggar asas keadilan bagi seluruh calon partai peserta pemilu. Semua parpol yang mendaftarkan diri sebagai peserta Pemilu 2014 wajib mengikuti proses verifikasi di KPU.

Komisi II DPR tak patah arah. Mereka sempat mewacanakan pembentukan tim pengawas yang memastikan proses verifikasi KPU berlangsung sesuai prosedur. Meski pembentukan tim didasarkan pada alasan agar KPU tak perlu raguragu memutuskan partai yang tak memenuhi syarat agar tidak lolos verifi kasi, tim itu sendiri potensial menimbulkan konflik kepentingan. Hal demikian karena sembilan partai yang duduk di DPR juga berkepentingan agar mereka lolos sebagai peserta pemilu. KPU dikhawatirkan tidak independen dalam memproses persyaratan yang melibatkan partaipartai yang duduk di parlemen.

Selain itu, partai-partai di DPR juga berkepentingan agar calon kompetitor baru mereka di 2014 nanti tak terlalu banyak. Bisa saja Komisi II DPR melakukan intervensi agar KPU bersikap terlalu `keras' terhadap partai-partai baru dan nonparlemen sehingga kesulitan melalui proses verifikasi, tapi pada saat yang sama, KPU diminta bersikap `lunak' terhadap sembilan partai di DPR yang sedang mengikuti tahap menentukan lolos tidaknya sebagai kontestan pemilu 2014.
Karena itu, keputusan KPU dalam menetapkan partai yang memenuhi persyaratan administrasi pada 28 Oktober 2012 yang lalu harus diteliti secara mendalam. Bawaslu harus meminta pertanggungjawaban KPU mengapa terjadi penundaan pengumuman hasil verifikasi administrasi. Benarkah terjadi intervensi dari dua partai yang duduk di DPR agar diberi perpanjangan waktu melengkapi dokumen persyaratan pemilu? 

Benarkah tudingan dari partai-partai yang tidak lolos bahwa KPU bertindak diskriminatif? KPU dituntut transparan dan akuntabel dalam menjelaskan hasil verifikasi tidak hanya terhadap faktor-faktor yang menyebabkan 18 partai tidak lolos persyaratan administrasi, tapi juga harus meyakinkan kepada publik bahwa 16 partai yang diputuskan lolos verifikasi benar-benar sudah memenuhi semua persyarat an yang ditetapkan atau tidak.

Atensi publik juga patut diberikan terhadap tahapan berikut nya, yakni verifikasi faktual. Pada tahap ini, ke-16 partai yang su dah diputuskan lolos administrasi harus mengikuti verifikasi faktual di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Proses tersebut untuk menguji kebenaran semua persyaratan yang sudah dilampirkan di tahap sebelumnya.

Karena melibatkan proses panjang yang masif dan berjenjang, transparansi dan independensi KPU menjadi wajib. KPU harus memastikan bahwa komisioner dan tim yang melakukan verifikasi faktual, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/ kota harus imparsial dalam melaksanakan tugas. Mereka tak boleh luntur oleh bujuk rayu dan godaan dari ke-16 partai yang persyaratannya sedang dicek secara empiris.

Dalam melakukan verifi kasi faktual keanggotaan parpol, misalnya, KPU kabupaten/kota harus melakukan verifi kasi dengan metode sampel acak sederhana atau sensus. Proses penarikan sampel acak sederhana melibatkan 10% dari seluruh nama anggota partai pada suatu kepengurusan di kabupaten/kota terhadap keanggotaan partai yang lebih dari 100 orang anggota. Jika ada kongkalikong antara petugas dari KPU dan parpol tertentu, hasil verifi kasi faktual akan cacat. Misalnya, sampel yang kebenarannya akan dicek, tetapi dibocorkan sebelum didatangi, tentu akan memberikan keuntungan bagi parpol yang akan diuji. Untuk itu, integritas KPU dalam melaksanakan verifikasi faktual menjadi pertaruhan besar seberapa independen mereka dalam melaksanakan tugas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar