Dilema
Ikhwanul Muslimin
Zuhairi Misrawi ; Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah di
Middle East Institute
|
KOMPAS,
29 November 2012
Dekrit yang dikeluarkan Muhammad Mursi,
Presiden Mesir, menimbulkan krisis politik yang serius. Kalangan oposisi
menganggap dekrit tersebut sebagai kemunduran bagi iklim demokrasi yang mulai
berkecambah pasca- Musim Semi Arab. Meskipun demikian, Mursi masih terus
meyakinkan publik dan menggerakkan pendukungnya di sejumlah provinsi untuk
mempertahankan keputusan politiknya dengan misi utama menjaga amanat revolusi
(himayat al-tsawrah). Salah satunya, komitmen yang kuat untuk
mengadili kembali Hosni Mubarak dan kroni-kroninya sehingga dapat memenuhi
rasa keadilan publik.
Maklum, sejak dilengserkan dari tampuk
kekuasaan, Mubarak dan orang-orang di dalam lingkaran kekuasaannya masih
belum ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Mereka umumnya mendekam di
penjara, tetapi sanksi hukum yang diterima masih jauh dari rasa keadilan.
Rakyat Mesir menghendaki hukuman mati
(al-qishash). Oleh karena itu, Mursi mengambil langkah politik menggantikan
Jaksa Agung, Abdul Majid Mahmud dengan Talaat Ibrahim, membawa mandat
mengadili kembali Mubarak dan kroninya, sebagaimana tertera dalam poin 1
dekrit.
Pada aras ini, dekrit yang dikeluarkan
Mursi tidak bertentangan dengan tuntutan kalangan oposisi yang menghendaki
tujuan revolusi tercapai. Rezim Mubarak harus diganjar dengan hukuman yang
setimpal dan tidak boleh aktif di dalam ranah politik praktis pasca-revolusi.
Polarisasi
Namun, krisis politik antara Mursi dan
pihak oposisi lebih dari sekadar itu. Polarisasi antara kubu Islamis yang
diprakarsai Ikhwanul Muslimin dan kubu sekuler dalam pembentukan konstitusi
baru merupakan pemantik utama di balik munculnya dekrit tersebut.
Hal tersebut bisa dilihat pada poin 2
dekrit yang berbunyi, ”Mahkamah Konstitusi tidak berhak membubarkan Dewan
Konstituante, lembaga MPR, dan tidak berhak meninjau kembali atau menggugat
semua keputusan Presiden sejak Mursi memangku jabatan pada 30 Juni 2012
hingga keluar konstitusi baru” (Kompas, 26/11).
Kalangan oposisi mencium bau tidak sedap
mengenai kekuatan besar di balik dekrit ini, yaitu memuluskan konstitusi baru
yang didesain oleh Ikhwanul Muslimin bersama kekuatan politik Islamis
lainnya, seperti Partai An-Nour dan Al-Wasath. Tiga kekuatan politik ini
ditengarai telah menyepakati konstitusi yang bernuansa Islamis, yang dianggap
dapat mengancam demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia.
Banyak pihak memandang bahwa yang berkuasa
di Mesir bukanlah Muhammad Mursi yang dipilih secara demokratis oleh rakyat,
melainkan pimpinan tertinggi (mursyid ’am) Ikhwanul Muslimin. Buktinya,
kebijakan yang dikeluarkan Presiden Mursi bukan mengacu pada prinsip-prinsip
demokrasi, sebagaimana tecermin dalam dekrit tersebut, melainkan berdasarkan
hasil konsultasi internal Ikhwanul Muslimin.
Sayyed Yasin di harian Al-Hayat menegaskan,
Ikhwanul Muslimin masih mempunyai intensi yang kuat untuk membangun kembali
sistem khilafah, sebagaimana dicita-citakan oleh Hasan al-Banna. Muhammad
Badi, Mursyid ’Am Ikhwanul Muslimin, menegaskan, kemungkinan membentuk sistem
khilafah bukanlah sebuah mimpi jika Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap
politik Ikhwanul Muslimin, mendapatkan suara yang signifikan dalam pemilu
legislatif yang akan datang.
Shafwat Hijazi, salah satu tokoh Ikhwanul
Muslimin, juga menegaskan keinginannya untuk menjadikan Jerusalem sebagai
pusat pemerintahan khilafah. Begitu pula Yusuf al-Qaradhawi, salah satu
pemikir yang berlatar belakang Ikhwanul Muslimin, juga mempunyai keinginan
yang kuat untuk mewujudkan cita-cita kembalinya sistem khilafah.
Fakta ini telah menimbulkan kekhawatiran
yang cukup serius bagi kubu sekuler di dalam Dewan Konstituante. Dekrit
secara eksplisit akan digunakan sebagai instrumen untuk mengegolkan
konstitusi baru kaum Islamis.
Kubu sekuler telah belajar dari referendum terdahulu,
yang kerap digunakan oleh Ikhwanul Muslimin dan Salafi untuk mendulang suara
dalam pemilu dengan menggunakan sentimen keagamaan. Padahal, konstitusi yang
lama melarang partai politik menggunakan asas keagamaan dan menggunakan agama
untuk tujuan politik.
Di samping itu, yang lebih krusial di dalam
dekrit, yaitu poin kewenangan absolut Presiden Mursi. Setelah dibubarkannya
parlemen, maka dengan dekrit tersebut, kekuasaan Mursi memasuki tiga ranah
kekuasaan sekaligus: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mursi dianggap
sebagai ”Fir’aun Baru”, karena kekuasaannya tanpa batas, bahkan kekuasaan
semacam itu tidak pernah dimiliki para pemimpin sebelum Mursi, khususnya dari
Raja Farouk, Gamal Abd Nasser, Anwar Sadat, hingga Mubarak sekalipun.
Musim
Gugur
Krisis politik yang dihadapi Mesir saat ini
merupakan ujian yang sangat serius bagi masa depan demokrasi. Menurut Nader
Farhani di harian Al-Ahram, Mesir saat ini sedang memasuki ”musim gugur” yang
situasinya menyerupai saat-saat menjelang jatuhnya rezim Hosni Mubarak.
Intinya, yang terjadi bukan kemajuan dalam berdemokrasi, melainkan sebuah
kemunduran yang sebenarnya tak perlu terjadi.
Revolusi pada 25 Januari 2011 telah
mengeluarkan mandat agar rekonsiliasi nasional dijadikan sebagai jalan
membangun demokrasi. Namun, saat ini yang terjadi justru friksi yang sangat
tajam antara kubu Islamis dan sekuler.
Dalam pidato politiknya, setelah terpilih
sebagai Presiden Mesir pertama pasca-revolusi, Mursi berjanji akan menjadi
presiden seluruh rakyat Mesir dan berjanji akan membangun pemerintahan yang
merepresentasikan seluruh kekuatan politik.
Kini, semua janji tersebut hanya sekadar
pepesan kosong. Presiden Mursi masih bersikukuh pada pendiriannya untuk
mempertahankan dekrit yang telah memberinya mandat tidak terbatas. Sementara
pihak oposisi terus mendesak agar Mursi mencabut kembali dekrit tersebut demi
stabilitas politik dan mulusnya transisi demokrasi.
Jika tidak ada jalan tengah di antara dua
kubu tersebut, tidak menutup kemungkinan militer akan tergoda untuk melakukan
kudeta. Situasi ini tentu akan sangat merugikan bagi tumbuhnya demokrasi di
”Negeri Kinanah” tersebut.
Tentu saja, pemandangan ini sangat tidak
menguntungkan bagi Ikhwanul Muslimin, karena mereka akan dicatat dalam
sejarah sebagai wajah buruk bagi kalangan Islamis, karena telah menggunakan
agama sebagai jalan untuk memapankan jalan bagi otoritarianisme politik.
Padahal, harapan dunia terhadap Presiden
Mursi dan Ikhwanul Muslimin begitu
besar dalam mendorong demokratisasi di dunia Arab dan Islam. Apalagi
pasca-mediasi kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas.
Seperti kata Thomas L Friedman di International Herald Tribune,
demokratisasi di Mesir akan berdampak serius bagi stabilitas politik di Timur
Tengah. Namun, semua itu masih diragukan karena Ikhwanul Muslimin menyimpan ideologi masa lalu yang mengancam
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar