Guru dan
Cahaya Pencerahan
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada
Program Pascasarjana
Universitas
Negeri Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 27 November 2012
Di Kota Linz yang suram di Austria saat itu, kala guru-guru
berceloteh ihwal kekaisaran Romawi, Alexander yang Agung, dan Napoleon
Bonaparte, terlihat seorang murid yang rajin, tak banyak bicara, tidak
curang, dan rapornya berderet huruf A, tetapi murid ini suka melamun dan
berkhayal ihwal centang-perentang kehidupan.
Namanya Adolf Hitler. Siapa tahu,
lamunan-lamunan Hitler dibuktikan dengan menggelar impian kolosal, melibatkan
jutaan figuran yang berperan sebagai korban, dan mengupah jutaan aktor
menjadi pembunuh berdarah dingin.
Kisah yang hampir sama diceritakan filsuf
dan pakar politik Romawi Kuno, Senece, ihwal muridnya, Nero. Bocah bernama
Nero, oleh Senece selalu diajari ihwal keilmuan dan pengabdian.
Tetapi apa daya, ketika dewasa Nero menjadi
kaisar pembunuh, yang telah membunuh mati ibu, saudara-saudara, istri, dan
sekian banyak rakyat jelata. Bahkan gurunya, Senece sendiri pernah diracun
walaupun tidak mengakibatkan sang guru mendiang.
Dari kisah itu, dari mana murid semisal
Hitler dan Nero memperoleh gagasan-gagasan brutal dan menjunjung
prinsip-prinsip yang nyaris sepenuhnya berlawanan dengan akal? Ihwal yang
sama dapat dipertanyakan kepada dunia pendidikan di Indonesia yang melahirkan
tragedi kekerasan, bahkan terjadi
kematian? Adakah kurikulum yang mengajarkan siswa menjadi sosok tiran?
Inilah ragam soal yang layak mendapatkan
jawab pada momentum Hari Guru Nasional, 25 November sekarang. Lahirnya
tragedi kekerasan dalam dunia pendidikan menyiratkan akan krisis keyakinan.
Sejak semula, pendidikan beriringan dengan
kepercayaan; percaya terhadap sifat hakiki kemanusiaan sendiri dan percaya terhadap ada
atau tidak adanya daya rohaniah yang lebih besar dibanding kekuatan manusia,
yang memayungi jagat raya. Tiap kepercayaan bersifat lokal dan pewarisannya
terhadap anak cucunya merupakan intisari pendidikan.
Para pendeta dan pujangga Mesir kuno,
Persia, Sumeria, Ibrani, Jawa, Melayu, dan sebagainya telah melukiskan dan
mewariskan ajarannya kepada anak cucunya. Tergantung anak cucunya, intisari
itu dijadikan spirit berpendidikan, atau disingkirkan bahkan digunakan legitimasi
kuasa jahat.
Sejarah masa lalu mengajarkan bahwa Musa
meletakkan ajaran etis hidup lewat Kitab Taurat. Orang Ibrani memiliki
nabi-nabi seperti Amos, Hosea, Elia, dan Elisa. Orang Kristen mendengarkan
ajaran Yesus, Paulus, Petrus, dan lainnya.
Muhammad mendidik umat Islam agar menjadi
rahmat bagi sesamanya. Demikian juga yang dilakukan Lao Tzu dan Confusius di
China, Sidharta Gautama di India, dan Ronggawarsito di Jawa tentang
menebarkan kebajikan di alam semesta raya.
Ihwal kekerasan yang terjadi di dunia
pendidikan kita merupakan bukti gagalnya Indonesia menyerap intisari
pendidikan dari para pujangga bangsa dan pujangga dunia.
Ki Hadjar Dewantara mengajarkan bahwa ing ngarso sung tulodo (yang di depan menjadi teladan), tetapi
mengapa para senior tidak menjadi teladan, justru menyiksa para juniornya?
Inilah salah satu bukti kegagalan kita. Ironisnya lagi, kampus pendidikan
kita mengalami amnesti sejarah. Masyarakat menjadi "lupa ingatan"
akan masa lalunya sendiri.
Masa lalu yang senyap. Masa lalu yang tidak
aktual. Menangkap pesan sejarah dalam lima tahun terakhir saja kita gagal,
terjangkit amnesti sejarah, apalagi merujuk ihwal kebijaksanaan para pujangga ratusan tahun, bahkan ribuan tahun
silam. Mindset pendidikan kita memang diarahkan pada amnesti sejarah atau
memang para aktor kampus yang berperan di sana?
Dua kemungkinan itu bisa terjadi adanya.
Bahkan, ada usaha legalisasi atas ragam kekerasan tersebut yang dilakukan
rezim kampus, para pejabat tingginya maupun mahasiswanya. Ironisnya, ketika
terjadi tragedi lagi, baru ada kesadaran baru. Memang telah terjadi amnesti
sejarah kekerasan.
Kehilangan Kemanusiaan
Dalam kondisi demikian, Denis Collins
(1977) melihat bahwa kekerasan telah membuat manusia kehilangan
kemanusiaannya dan hak pemenuhan nasib. Kaum penindas bersuka akan suksesnya
menghujam tertindas. Malangnya, kaum tertindas merintih tak kuasa meminta
suaka.
Sebuah tragedi, yang menurut penindas
dianggap prestasi, sementara bagi tertindas dianggap “penjajahan” (colonization). Lebih ganas Bernard
Shaw melihat bahwa di muka bumi ini tidak satu pun yang menimpa orang-orang
tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Dalam beberapa hal
sekolah malah lebih kejam dari penjara.
Melihat sekujur tubuh pendidikan kita yang
penuh luka, sudah saatnya –menurut analisis Freire- pendidikan mesti menjadi
jalan menuju pembebasan permanen, yang dilakukan dalam dua tahap.
Pertama, manusia menjadi sadar (disadarkan)
tentang penindasan yang menimpanya; ia harus menjalankan praksis mengubah
keadaan tertindas itu. Kedua, membangun kemantapan berdasarkan apa yang sduah
dikerjakan di tahap pertama; proses permanen yang diisi dengan aksi-aksi
budaya yang membebaskan.
Mereka harus disadarkan bahwa diri
pendidikan yang penuh luka; mereka harus melawan penindasan. Setelah itu
membangun plan action yang
melibatkan seluruh khazanah budaya dan birokrasi pemerintah dalam melawan
aksi-aksi kekerasan tersebut.
Ketika merasuk dalam sendi budaya maka
mudahlah pemerintah dan praktisi pendidikan melakukan perubahan-perubahan strategis
dalam merekonstruksi dunia pendidikan agar dapat dilihat berkemilau nan
bercahaya.
Cahaya pencerahan ini akan membuka gerakan
pembebasan untuk mencipta tatanan masyarakat yang egaliter. Cahaya guru
inilah yang dapat memadamkan api kekerasan yang diwariskan Hitler, Nero, dan
para pelaku kekerasan di republik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar