Proporsional
Menyikapi Fatwa
Haidar Bagir ; Dosen di ICAS-Paramadina
|
REPUBLIKA,
27 November 2012
Beberapa waktu
belakangan, harian ini memuat tulisan KH Ma'ruf Amin yang memperkuat fatwa MUI
Sampang dan MUI Jatim yang menyatakan bahwa mazhab Syiah bersifat sesat-menyesatkan.
Artikel tersebut dibantah oleh Sdr Jalaluddin Rakhmat, untuk kemudian
didukung kembali oleh KH Tengku Zulkarnain dan Sdr Muhammad Baharun.
Meskipun memiliki
catatan-catatan tertentu yang sebagiannya akan saya ungkapkan di bawah ini, dua
artikel terakhir telah menjernihkan beberapa hal yang dapat disalahpahami
dari fatwa MUI Sampang dan MUI Jatim. Pertama, KH TZ telah menunjukkan bahwa
fatwa tersebut bersifat lokal dan kasuistik sehubungan dengan kasus Tajul
Muluk.
Lepas dari kenyataan
bahwa sebagian besar dakwaan kepadanya tidak terbukti di pengadilan (termasuk
tuduhan mencaci-maki Sahabat), KH TZ telah meletakkan kasus tersebut se- cara
proporsional. Yakni bukan kasus penyesatan sebuah mazhab (yakni Syiah) secara
keseluruhan, melainkan penyesatan sebuah kelompok yang ter kait dengan mazhab
tersebut di suatu lokalitas tertentu. Masalahnya, fatwa MUI Sampang dan Jatim
tidak membatasi fatwa tersebut pada kasus Sampang, melainkan pada mazhab
Syiah secara keseluruhan.
Dalam kaitan ini,
tulisan Sdr MB bersifat lebih spesifik ketika menyebut Syiah Rafidhah sebagai
objek wacananya. Yakni sekelompok Syiah yang memang disebut demikian karena
penolakan mereka terhadap Khalifah Abubakar dan Khalifah Umar. Penyebutan
seperti ini saya kira lebih tepat dan lebih adil, khususnya terkait dengan
sikap sebagian (kecil) penganut Syiah terhadap sebagian Sahabat.
Memang kata rafidhah
bermakna penolakan, yakni penolakan khususnya kepada Khalifah Abubakar dan
Khalifah Umar. Yang tidak banyak diketahui dan diungkapkan, sebenarnya kata
ini diperkenalkan justru oleh kaum Syiah sendiri untuk mengecam orang-orang
atau kelompok semacam ini. Persisnya dalam catatan sejarah istilah rafidhah
dipergunakan pertama kalinya oleh Imam Zayd bin Ali Zaynal Abidin, yakni Imam
Syiah Zaydiyah untuk mengecam sekelompok orang yang menolak kedua orang
sahabat tersebut.
Karena itu, tulisan
Sdr MB yang secara spesifik menyebut Syiah Rafidhah patut mendapatkan
apresiasi karena kesetiaannya kepada kaidah ilmiah dalam berwacana. Dalam
kasus seperti ini, tak sulit untuk sepakat bahwa MUI memang pantas bersikap
tegas, tentu dengan disertai bukti-bukti yang tak terbantahkan, dan melalui
proses peradilan yang fair.
Sikap mainstream Syiah
terhadap sahabat kiranya sudah jelas dalam berbagai fatwa dan pernyataan yang
dikeluarkan para pemukanya, terkait keharusan bersikap hormat terhadap
mereka. Sementara sikap mainstream Syiah terhadap istri-istri Nabi, sudah
sewajarnya Syiah sepenuhnya mengikuti Imam Ali as yang mengatakan, "Beliau telah menyucikan sandalnya,
bagaimana mungkin beliau tidak menyucikan kehormatan istrinya."
Sekadar ilustrasi, dalam buku-buku yang ditulis para ulama Syiah, kita tak
dapat menemui periwayatan "peristiwa al-ifk" yang melibatkan
dakwaan perselingkuhan kepada Siti Aisyah.
Kenyataannya, meski
tak dapat menerima sikap Ummul Mukminin Aisyah yang memerangi Imam Ali AS
sebagai khalifah yang sah, Syiah sudah sewajarnya memuliakan dan menghormati
beliau. Sudah luas diketahui bahwa dalam perang Jamal pun, Imam Ali AS telah
mengingatkan secara khusus kewajiban memastikan kese lamatan beliau, bahkan
mengirimkan sebanyak 20 orang pembantu kepada beliau untuk mengurusi segala
kebutuhannya.
Dalam hubungan ini,
Ayatullah Nasir Makarim Syirazi -- seorang Ayatullah paling senior di Iran--
menyatakan orang-orang Syiah yang menghujat istri-istri Nabi adalah "agen-agen
asing" yang hendak menghancurkan Islam dari dalam. Memang terkadang
di kalangan Syiah ada pembahasan tentang apa yang dianggap sebagai kelemahan
atau kesalahan Siti Aisyah atau sahabat -- atau siapa pun selain Nabi SAW
sendiri. Hal-hal seperti itu sama sekali bukanlah hal yang tidak lazim
dalam dunia keilmuan Islam. Bahkan, di bidang hadis dikenal luas suatu
disiplin yang disebut al-jarh wa al-ta'dil
(pembuktian kelemahan dan kejujuran) para mujtahid dan ahli hadis.
Pada kenyataannya,
meski sebagai prinsip umum para ulama Ahlus-Sunnah menyebut semua sahabat
bersifat terlindungi dari kesalahan ('udul), tak jarang dalam kenyataannya
sebagian di antara mereka -- berdasarkan hadis-hadis shahih-- menyebutkan
kesalahan sebagian orang yang termasuk dalam golongan ini. (Pun mengenai
dakwaan bahwa Syiah mempercayai adanya Alquran yang berbeda dengan yang
diyakini Ahlus-Sunnah, bantahan terhadapnya sudah terlalu gamblang dan
tersebar di berbagai buku dan media sehingga tak perlu diulangi di sini).
Alhasil, tulisan KH TZ
dan Saudara MB -- dalam hal membatasinya pada suatu lokalitas dan kelompok
tertentu-- sesungguhnya sudah cukup proporsional dalam menjelaskan isi
tulisan KH Ma\'ruf Amin, jika saja fatwa MUI Sampang dan MUI Jatim memang
benar-benar dimaksudkan untuk kasus-kasus penistaan sahabat oleh orang-orang
yang mengaku Syiah (sesungguhnya oleh siapa saja). (Sekali lagi, lepas dari
kenyataan bahwa tuduhan terhadap Tajul Mulk dalam hal ini tidak terbukti di
Pengadilan Negeri Sampang).
Karena itu, anjuran
Sdr MB agar fatwa MUI Sampang dan Jatim segera diikuti dengan fatwa sejenis
di berbagai daerah justru membantah tesis tulisan KH TZ dan tulisannya
sendiri. Yakni bahwa fatwa-fatwa tersebut bersifat lokal dan berlaku atas
sekelompok penganut Syiah tertentu (dalam bahasa Sdr MB, Syiah Rafidhah),
yang pada kenyataannya, dianggap memang melakukan kesesatan seperti itu. Karena,
bagaimana boleh MUI daerah-daerah lain mengikuti Sampang dan Jawa Timur
padahal kasus yang menjadi sumber keluarnya fatwa-fatwa tersebut terjadi di
satu daerah tersebut?
Kalaupun hal seperti
itu terjadi di daerah-daerah lain, ruang lingkup fatwa yang dikeluarkan
haruslah tetap terbatas pada sikap-sikap spesifik dan atas sekelompok orang
tertentu pula. Jika bentuk fatwa seperti ini yang di kembangkan MUI, saya tak
heran jika, seperti disinggung KH TZ, tokoh-tokoh Syiah seperti Ayatullah
Taskhiri -- uga Ayatullah Naser Makarim Syirazi-- tak akan segan-segan
memperkuat fat wa-fatwa seperti ini, sebagaimana yang dilakukan KH Ma'ruf
Amin dan lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar