Problematika
Hubungan Kelembagaan BUMN
Sunarsip ; Ekonom The Indonesia Economic
Intelligence (IEI)
|
REPUBLIKA,
05 November 2012
Beberapa hari terakhir ini,
pemberitaan terkait BUMN, khususnya yang menyangkut hubungan kelembagaan BUMN
(termasuk Kementerian BUMN) dengan DPR tampak begitu dominan. Di sisi lain,
isu-isu yang menyangkut kinerja BUMN seolah luput dari perhatian. Misalnya,
apakah target laba BUMN tahun ini sekitar Rp 145 triliun tercapai? Bagai -
mana perkembangan restruktur- isasi BUMN, seperti rightsizing (termasuk
pembentukan holding company), privatisasi, serta likuidasi BUMN-BUMN yang
sekarat? Apakah target-target ini masih on track?
Pada dasarnya, penting
untuk memberikan perhatian besar pada hal-hal yang menyangkut hubungan kelembagaan
BUMN. Tentunya, pembahasan ini semestinya menyangkut hal-hal yang substansial
dan dengan target yang terukur. Seperti pemberitaan media massa, saya kira
pembahasan isu hubungan kelembagaan ini masih sporadis dan cenderung politis.
Banyak hal yang lebih substansial
yang semestinya menjadi fokus perhatian terkait dengan pembenahan hubungan
kelembagaan ini. Dalam berbagai kesempatan, hal ini telah saya tulis di
harian Republika meski terpisah dalam berbagai artikel. Setidaknya,
pembenahan hubungan kelembagaan BUMN ini dapat kita lakukan pada tiga sisi,
yaitu (i) hubungannya dengan Kementerian Keuangan selaku pemegang saham dan
pemegang kekuasaan fiskal, (ii) dengan kementerian sektoral terkait, dan (iii) hubungannya dengan institusi
nonpemerintah, khususnya DPR.
Perlu diketahui bahwa
berdasarkan UU Keuangan Negara, pemilik sesungguhnya BUMN adalah menteri
Keuangan. Kemudian, kepemilikan ini dikuasakan kepada menteri BUMN (melalui
UU BUMN). Nah, model hubungan kepemilikan seperti ini ternyata masih menyisakan
masalah, sejauh mana menteri BUMN dapat mengeksekusi seluruh kebijakan dalam
konteks dirinya sebagai pemegang kuasa kepemilikan BUMN?
Saya berpendapat, model
hubungan kepemilikan seperti ini sejatinya baik karena memisahkan antara
hal-hal yang terkait dan aspek fiskal serta korporasi BUMN. Tetapi, saya
melihat bahwa proses birokrasinya perlu disederhanakan dan diperjelas
batas-batas kewenangannya. Karena, faktanya, model ini masih menjadi
penghambat proses restrukturisasi BUMN.
Sebagai contoh, proses
restrukturisasi BUMN melalui program rightsizing. Kalau pemerintah bersedia jujur,
sesungguhnya belum mengalami kemajuan. Sedangkan, rencana pembentukan holding
BUMN lainnya masih terhambat, salah satunya karena perizinan dari menteri
Keuangan, termasuk pula proses birokrasi dalam penentuan dividen.
Dividen BUMN merupakan
penerimaan penting bagi APBN. Karena itu, bagi APBN, penting adanya kepastian
proyeksi penerimaan dividen BUMN. Sedangkan, bagi BUMN juga penting adanya
kepastian untuk kesinambungan usaha, terutama untuk strategi bisnis ke depan.
Karena itu, perlu dirumuskan kem bali bagaimana proses birokrasinya agar
kepentingan yang sejatinya bertolak belakang ini dapat ditemukan jalan
keluar.
Di luar masalah dividen,
sejumlah BUMN juga masih menghadapi masalah terkait dengan piutang negara di
BUMN (yang dulu disalurkan melalui subsidiary loan agreement/SLA). Beberapa
BUMN saat ini kondisinya sekarat. Salah satu penyebabnya adalah belum
terselesaikannya status SLA ini. Tingginya utang SLA menyebabkan BUMN terkait
tidak bankable sehingga sulit mendapatkan pendanaan eksternal. Mengapa,
misalnya, SLA ini tidak dikonversi menjadi (modal) ekuitas pemerintah?
Sehingga, melalui konversi ini, laporan keuangan BUMN menjadi sehat dan
terdapat ruang bagi BUMN untuk mendapatkan pendanaan eksternal.
Hubungan kelembagaan BUMN
dengan kementerian sektoral juga diperjelas. Ini mengingat, meski UU BUMN
telah secara tegas mengatur bahwa pengelolaan korporasi BUMN merupakan kewenangan
menteri BUMN, tetapi sesungguhnya "intervensi" sektoral ke dalam
kebijakan korporasi masih terasa. Hingga kini, sejumlah kementerian sektoral
seolah masih menempatkan dirinya sebagai pemilik BUMN. Padahal, sejak
berlakunya UU Keuangan Negara dan UU BUMN, pemilik BUMN adalah menteri
Keuangan yang dikuasakan kepada menteri BUMN, bukan lagi menteri sektoral.
Terakhir, terkait hubungan
kelembagaan BUMN dengan DPR, yang perlu diperjelas adalah sejauh mana DPR me
- miliki kewenangan masuk dalam kebijakan BUMN. Apakah kewenangan DPR ter-
hadap BUMN sampai ke level kebijakan korporasi? Saya berpendapat, akan
menjadi preseden kurang baik bila DPR terlalu jauh masuk ke dalam hal-hal
teknis BUMN.
Kebijakan korporasi BUMN semestinya
merupakan kewenangan BUMN karena merekalah yang lebih memiliki keahlian
secara profesional untuk menjalankan kebijakan korporasi. Saya berpendapat,
akan lebih elegan bila DPR fokus pada monitoringkinerja BUMN secara makro dan
hal-hal yang menyangkut fiskal yang terkait dengan BUMN, seperti penentuan
dividen, privatisasi BUMN, dan penyer- taan modal negara (PMN). Hal lain
terkait dengan hubungannya dengan DPR adalah proses birokrasi terkait
kebijakan privatisasi BUMN.
Kebijakan privatisasi BUMN
kini masih menjadi sorotan, khususnya yang menyangkut hasil privatisasi yang
dinilai kurang optimal. Padahal, tidak optimalnya hasil privatisasi, sering
kali disebabkan tidak match-nya
persetujuan privatisasi dengan waktu privatisasi BUMN.
Saya pernah mengusulkan
model privatisasi di Jerman yang melaksanakan privatisasi BUMN dengan three step process, yaitu (i)
persetujuan parlemen, (ii) BUMN dijual ke holding BUMN milik Jerman (KfW),
dan (iii) KfW baru menjual saham BUMN tersebut ke pasar ketika harganya sudah
tinggi (Republika, 22 November 2010 dan 30 Agustus 2007). Dengan skema ini,
Pemerintah Jerman diuntungkan. Sebab, sebagian besar value added privatisasi kembali ke pemerintah. Setiap penjualan
saham BUMN dapat dilakukan pada momentum pasar yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar