Efficiency
Wage
Iman Sugema ; Ekonom
|
REPUBLIKA,
26 November 2012
Dalam beberapa tahun terakhir ini,
pergerakan buruh menuntut upah minimum semakin masif dan terkoordinasi dengan
cara yang canggih. Gerakan buruh telah menunjukkan dirinya sebagai salah satu
elemen penting dalam kehidupan politik dan ekonomi di negeri ini. Serikat
buruh semakin memiliki daya tawar dibandingkan pemerintah dan pengusaha.
Di lain pihak, daya tawar
pemerintah tampak semakin kedodoran. Selain karena demokrasi, seringkali
dilandasi dengan populisme, keputusan mengenai upah minimum telah kadung didesentralisasikan
ke tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Pemerintah pusat sepertinya selalu menjadi
pihak yang "kecolongan" setiap akhir tahun, ketika upah minimum
ditetapkan oleh pemerintah daerah.
emahnya peran pemerintah pusat pada akhirnya memperuncing
perseteruan antara serikat buruh dan para pengusaha. Di sisi yang ketiga,
pengusaha seolah berada sebagai obyek penderita. Kalau mereka tidak mengikuti
keputusan gubernur, bupati, atau walikota, mereka harus berurusan dengan
pengadilan. Kalau mereka mengikutinya maka dipastikan ongkos-ongkos akan
membengkak. Buah simalakama, bukan? Alternatif mana pun yang dipilih pasti
membuat pening kepala.
Keadaan seperti itu tentu akan berlaku pada hampir semua
pengusaha. Tetapi, akan ada sebagian pengusaha yang menyiasatinya dengan cara
yang cerdas. Mereka akan menerapkan apa yang disebut sebagai efficiency wage theory agar semua
pihak menjadi senang. Apa itu efficiency wage? Mungkin deskripsi
berikut ini akan memperjelas definisinya.
Seorang pengusaha yang cerdas akan mengatakan hal berikut
ini kepada para karyawannya. Oke, sekarang kita lupakan upah minimum yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Saya anggap itu sebagai hal yang kurang
manusiawi karena kalian tak akan pernah sejahtera jika digaji dengan upah
minimum. Sebagai gantinya, saya
menawarkan tingkat upah dua kali lipat dari upah minimum. Tentu sebagai
kompensasinya, saya mengharapkan semua karyawan bekerja lebih produktif
supaya kenaikan upah dapat ditutupi dengan hasil usaha. Anda semua punya dua alternatif,
bekerja di perusahaan ini dengan upah dua kali lipat atau bekerja di perusahaan
sebelah dengan upah minimum saja. Anda bebas memilih.
Kedengarannya sih pengusaha tersebut seperti bertindak
tidak rasional. Ia memberi upah yang lebih tinggi, padahal punya kesempatan
untuk memberi upah yang lebih rendah. Tetapi sejatinya, ia jauh lebih rasional
dibandingkan pengusaha di sebelahnya. Mengapa?
Pertama, perusahaan tersebut akan mendapatkan apa yang
disebut dengan efficiency gain. Karena upahnya lebih menarik,
karyawan akan cenderung lebih loyal, disiplin, dan produktif. Karyawan dapat
diajak bekerja sama untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Kalau
kerja sama itu tidak terjadi maka perusahaan akan bangkrut. Kalau bangkrut
maka karyawan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih
baik. Karyawan tidak punya alternatif yang lebih baik, kecuali bekerja
sebaik-baiknya di perusahaan tersebut.
Kedua, turn over
atau karyawan yang keluar dari perusahaan tersebut akan semakin kecil.
Semakin lama karyawan bekerja dalam bidang yang sama, semakin terampil
keahlian di bidangnya. Salah satu ongkos terbesar bagi perusahaan adalah
dalam hal pelatihan tenaga kerja yang baru masuk untuk menggantikan tenaga
terlatih yang memutuskan untuk keluar perusahaan.
Ketiga, pekerja akan terhindar dari shirking, yaitu saat mereka cenderung bekerja lebih malas dari
sesamanya. Pekerja yang lebih rajin akan dengan senang hati bila yang lebih
malas dikeluarkan dari pekerjaannya. Pemalas akan menjadi beban bagi yang
rajin. Tujuan pekerja yang rajin adalah supaya tetap bertahan di perusahaan
yang mem beri imbalan yang lebih baik. Karena itu, tak ada orang rajin yang
mau bekerja bersama dengan yang malas. Akan ada mekanisme internal sesama
karyawan agar semua tetap menjadi rajin. Yang bekerja di perusahaan pada akhirnya
adalah pekerja yang betul-betul rajin dan produktif.
Sebenarnya, efficiency wagebukanlah hal baru. Adalah Henry
Ford, pemilik pabrik mobil bermerek Ford, yang pada 1914 pertama kali
menerapkannya. Waktu itu Ford memberikan upah sebesar lima dolar AS per hari
untuk para karyawannya. Tingkat upah tersebut adalah dua kali lipat
dibandingkan upah yang berlaku saat itu.
Pada waktu itu, setiap hari selalu ada antrean pelamar
kerja di halaman pabrik. Secara tidak langsung antrean tersebut memberikan
pesan kepada para pekerja bahwa setiap saat kami siap menggantikan Anda kalau
perusahaan tidak lagi menginginkan Anda. Ford akhirnya tidak pernah mengalami
kesulitan dalam mencari pekerja terbaik.
Kembali ke isu penetapan upah minimum yang dipandang
terlalu memberatkan oleh para pengusaha, kita menjadi semakin sadar bahwa
masih ada jalan lain untuk mengatasinya. Efficiency
wage adalah salah satunya. Mungkin, ada ribuan cara lain yang akan
dilakukan para pengusaha untuk mengatasi masalah ini. Saya yakin pengusaha
nasional adalah orang-orang yang cerdas dan tidak mudah mengeluh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar