Ujian Nasional
antara Mitos dan Kenyataan
Sulistyanto Soeyoso ; Anggota Dewan
Pendidikan Jawa Timur
|
MEDIA
INDONESIA, 26 November 2012
RENCANA Kemendikbud mengubah kurikulum membuat
masyarakat menunggu dengan harap-harap cemas. Wajar saja sikap seperti itu
muncul karena masyarakat ingin segera mengetahui perubahan kurikulum seperti
apa yang akan dilakukan Kemendikbud.
Saat Kemendikbud masih dalam proses
mematangkan rancangan perubahan kurikulum itu, muncul artikel berjudul ‘Kuda
Mati Bernama Ujian Nasional’ yang ditulis Kreshna Aditya dan dimuat harian
Media Indonesia pada Senin, 15 Oktober 2012.
Artikel itu, antara lain, menyatakan mengubah
kurikulum merupakan niatan perubahan yang baik. Namun, perubahan kurikulum
sebaik apa pun akan percuma apabila di ujungnya tetap diletakkan proses
evaluasi yang hanya menguji kognitif rendah dan diposisikan bersifat
high-stake bagi pelaku pendidikan (siswa, guru, dan sekolah).
Proses
persekolahan tetap akan bersifat teaching
to-the-test. Tanpa reposisi ujian nasional, kurikulum sebaik apa pun pada
tataran kebijakan hanya akan berubah menjadi kurikulum berbasis ujian
nasional pada penerapan di lapangan.
Bak pantun berbalas, artikel itu langsung
mendapat tanggapan dari Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi dan Media Sdr
Sukemi, lewat artikelnya yang berjudul ‘Mitos Keliru tentang UN’ dan dimuat
di Media Indonesia, 23 Oktober 2012. Sukemi menyatakan sedikitnya ada
sembilan mitos keliru tentang UN yang berkembang di publik. Sembilan hal yang
dianggap mitos itu diuraikan dalam artikelnya.
Polemik antara Kreshna Aditya dan Sukemi
terjadi karena keduanya berpijak pada dua hal yang berbeda. Di satu sisi,
Sukemi lebih berpijak pada hal-hal yang diharapkan bisa didapat dan diukur
dari pelaksanaan UN. Sifatnya teoretis yang bertujuan dibuat dan
dipertahankan demi kebijakan tentang UN. Di sisi yang lain, Kreshna Aditya
mengemukakan apa yang sesungguhnya terjadi selama kebijakan UN diberlakukan.
Ia menyatakan penerapan UN dan yang terjadi di lapangan ternyata melenceng
jauh dari apa yang sesungguhnya diharapkan ketika rancangan UN itu dibuat.
Soal pentingnya reposisi UN (bukan menghapus
UN) yang dikemukakan Kreshna Aditya, itu perlu lebih didalami lewat sebuah
pertanyaan berikut, “Reposisi UN seperti apa yang harus dilakukan agar
penerapan UN dan praktik di lapangan sesudah reposisi itu tidak menimbulkan
masalah lagi?“ Berbagai alternatif model reposisi UN perlu dicari.
Alternatifalternatif itu seyogianya diusulkan kalangan masyarakat yang masih
punya kepedulian tinggi untuk perbaikan pendidikan Indonesia. Peran serta
masyarakat dalam hal ini mutlak harus digalang agar ke depan kualitas
pendidikan Indonesia lebih terjaga. Menjadi tugas dan kewenangan Kemendikbud
untuk memilih alternatif terbaik atau memadu padankan berbagai alternatif
yang diusulkan itu sehingga pada akhirnya reposisi UN bisa dilaksanakan tanpa
menimbulkan masalah lagi.
Dalam menanggapi tulisan Kreshna Aditya,
argumentasiargumentasi yang dikemukakan Sukemi dari sudut pandang pendidikan
dan kenyataan di lapangan justru memunculkan banyak pertanyaan. Berbagai
pertanyaan itu perlu saya ke mukakan di tulisan ini agar bisa digunakan
sebagai tambahan bahan pertimbangan ketika kita menyodorkan alternatif model
reposisi UN.
Pertama, yang dikemukakan Sdr Sukemi soal
`mitos UN selalu bocor dan penuh kecurangan'. Sederet pertanyaan berikut bisa
kita ajukan. Jika hal itu memang mitos, mengapa Kemendikbud sampai harus
mengumumkan daerah yang dianggap paling jujur dalam pelaksanaan UN? Mengapa
Kemendikbud sampai harus memperbanyak varian soal UN, dari 1 varian menjadi
2, kemudian jadi 5, dan mulai UN 2013 menjadi 20 varian? Mengapa Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) beberapa kali melakukan UN ulang di
berbagai daerah? Tiga pertanyaan itu saja (masih banyak pertanyaan lain yang
bisa diajukan) jelas menunjukkan UN selalu bocor dan penuh kecurangan
bukanlah mitos.
Kedua, soal `mitos tentang UN adalah termometer
yang rusak'. Sukemi menyatakan UN bukan termometer, bukan pula barometer,
melainkan multimeter. Alasannya, yang hendak diukur UN mencakup sejumlah
aspek yang melekat pada peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan,
satuan pendidikan, wilayah, mata pelajaran, metode pengajaran, serta sarana
dan prasarana. Pertanyaannya, bisa difungsikan sehebat itukah UN yang hanya
berlangsung beberapa hari? Mengapa hasil pengukuran-pengukuran yang dilakukan
lewat UN selama ini tidak pernah diumumkan? Andai benar yang dikatakan Sukemi
bahwa UN adalah multimeter, jelas UN adalah multimeter rusak sehingga tidak
pernah bisa menunjukkan hasil pengukurannya.
Ketiga, soal ‘mitos UN meneror murid, guru,
dan orangtua’. Terhadap hal itu, Sukemi menyatakan UN bagian dari proses
pendidikan dengan tujuan, antara lain, memetakan kualitas peserta didik,
tenaga pendidik dan kependidikan, serta satuan pendidikan dan kebijakan
pendidikan. Pertanyaannya, jika UN dimaksudkan untuk memetakan kualitas
tenaga pendidik dan kependidikan, mengapa masih harus diadakan uji kompetensi
guru (UKG)? Yang perlu saya garis bawahi, setelah UKG dilaksanakan,
kejanggalan dunia pendidikan justru semakin tampak. Coba kita bandingkan
hasil UN dan hasil UKG. Selama ini tingkat kelulusan dalam UN selalu hampir
100%. Namun, skor rata-rata UKG di bawah 40 alias jeblok. Pertanyaannya,
bagaimana mungkin guru-guru yang kualitasnya (berdasar hasil UKG)
memprihatinkan bisa mengantarkan hampir semua siswa lulus UN yang katanya
berfungsi sebagai multimeter, tidak bocor, dan tidak curang? Berdasar hasil
UN dan UKG yang bertolak belakang itu, patut diduga minimal satu di antaranya
tidak va lid atau bahkan keduanya samasama tidak valid.
Keempat, soal ‘mitos keliru yang menyatakan
bahwa UN hanya menguji kemampuan kognisi siswa’. Ia memulai argumentasinya
dengan suatu pertanyaan, “Apakah setiap jawaban berganda itu berlandaskan
kekuatan hafalan belaka?” Pertanyaan yang dikemukakan itu terkesan
membelokkan persoalan dari kualitas soal yang diujikan menjadi model soal
ujian.
Masalah utama pada format tes multiple choice ialah jawaban benar
belum tentu karena siswa paham, tetapi bisa juga karena menebak. Bahkan,
tanpa membaca soal pun, hanya dengan memilih salah satu huruf yang jadi
pilihan di lembar jawaban, siswa bisa memperoleh jawaban benar. Sukemi juga
memberi pernyataan berikut, “Ujian dengan jawaban pilihan berganda itu juga
bisa dipakai untuk mengukur kemahiran analisis dan kemampuan sintesis.
Pendekatan itu pula yang ditempuh dalam UN, ada soal untuk mengukur kekuatan
hafalan, ada soal menguji kemahiran analisis, dan ada pula soal untuk
mengetahui kemampuan sintesis.“
Yang ingin saya ingatkan, jika benar ada soal
UN untuk menguji kemahiran analisis, dapat dipastikan itu hanya menguji
analisis tingkat rendah. Analisis tingkat menengah dan tinggi hanya mungkin
jika jumlah soalnya 2 sampai 5 untuk waktu ujian 150 menit. Tidak untuk
jumlah soal 40! Apalagi untuk soal sintesis. Untuk satu soal, butuh waktu
penyelesaian sekitar 120-150 menit. Sintesis merupakan proses reanalisis
berulang. Yang dikembangkan yaitu kreativitas, sedangkan jawaban yang sudah
disediakan justru menjauhkan atau bahkan membunuh kreativitas.
Kelima, judul yang dipakai Sukemi untuk
tulisannya tanpa ia sadari sesungguhnya telah membenarkan masalah-masalah
yang muncul berkaitan dengan UN, yang selama ini telah berkembang di publik.
Judul tulisannya adalah `Mitos Keliru tentang UN'. Mitos ialah sesuatu yang
tidak berdasar fakta. Maka, `Mitos Keliru tentang UN' dapat diartikan atau
dapat ditulis dalam bentuk lain menjadi `Fakta tentang UN'.
Tentu saya mengerti apa yang sesungguhnya
dimaksudkan Sukemi dalam tulisannya. Ia bermaksud menunjukkan apa yang selama
ini berkembang di masyarakat itu sesungguhnya tidak benar, hanya mitos.
Namun, judul yang ia tulis itu, jika kita hanya fokus pada arti yang
sebenarnya dari judul tersebut, malah menyatakan kebalikan dari yang ia
maksudkan. Apa yang saya kemukakan tentang judul tulisannya Sukemi tergolong
sebagai `perdebatan semantik'. Mengapa itu saya anggap perlu untuk
dikemukakan? Karena hal itu pula yang dilakukan Sukemi ketika membahas soal
amar putusan MA berkaitan dengan UN. Ia menyatakan, “Dalam amar putusan MA,
tidak ada satu kata pun yang menyatakan penghentian pelaksanaan UN.“ Ia hanya
berkilah dengan apa yang tersurat dan tidak mau tahu dengan apa yang
tersirat, abai terhadap jiwa dari amar putusan. Itu pula yang selama ini
dilakukan Kemendikbud soal amar putusan MA mengenai UN, hanya perdebatan
semantik!
Artikel yang ditulis Sdr Sukemi itu justru menunjukkan logika
yang jungkir balik. Apa yang ia nyatakan sebagai mitos, itulah kenyataan yang
sesungguhnya terjadi. Ia justru telah memunculkan mitos dengan
argumen-argumennya. Jika logika model begini yang dipakai dan dijadikan
pembenar untuk terus mempertahankan kebijakan yang seharusnya dikoreksi,
niscaya pendidikan kita akan semakin terpuruk. Sudah lama pendidikan negeri
ini menunjukkan wajah buramnya. Akibatnya, keindonesiaan kita semakin jauh
dari yang seharusnya. Sangat bijaksana jika Kemendikbud dan pemerintah bisa
bersikap terbuka dan jujur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar