Pertumbuhan
Saja Tidak Cukup
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
|
KOMPAS,
26 November 2012
Pekan lalu, saya menemukan dua berita
menarik. Koran The Wall Street Journal memberitakan, maskapai Singapore
Airlines menutup jalur penerbangan prestisius, yakni terbang langsung 17-18
jam rute Singapura-New York (Newark, New Jersey), yang seluruh kursinya kelas
bisnis. Keputusan ini seolah-olah mengonfirmasikan bahwa krisis ekonomi
global kali ini tidak main-main. Tiket penerbangan ini mahal, permintaan
rendah.
Berita sebaliknya dari dalam negeri.
Produksi mobil di Indonesia mencapai 920.000 unit per Oktober 2012. Itu
berarti per akhir tahun 2012 penjualan mobil membuat rekor baru 1,1 juta
unit. Tahun depan diproyeksikan tumbuh positif tembus 1,2 juta unit.
Indonesia bakal menggusur Thailand menjadi produsen mobil terbesar di Asia
Tenggara.
Dari ilustrasi tadi, apakah bisa
disimpulkan bahwa Indonesia tahan krisis? Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun
ini 6,3 persen. Hanya kalah dari China (7,5 persen), tetapi di atas India
(5,6 persen). Dalam jangka pendek seperti itu. Namun. apakah masih bisa dalam
jangka menengah dan panjang? Kita tidak boleh terjebak dalam zona nyaman ini.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin
Nasution, dalam pertemuan tahunan perbankan pada Jumat (23/11) lalu, banyak
memberi peringatan tentang betapa pertumbuhan ekonomi relatif tinggi saja
(6,3 persen) tidak cukup bagi Indonesia. Harus dilakukan perbaikan
struktural. Harus berbenah. Pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup menjamin
keberlanjutan. India adalah contoh konkret.
Pertumbuhan ekonomi India selalu
di atas 8 persen. Saat mereka lalai membangun infrastruktur, tahun ini
pertumbuhan terkoreksi tajam, hanya 5,6 persen.
Di luar infrastruktur, masih banyak
masalah. Dalam industri perbankan, meski pertumbuhan kredit mencapai 23
persen, dari aspek pendalaman finansial (financial deepening) kita masih
tercecer. Rasio kredit bank terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 32
persen. Kita cuma setara dengan Filipina, tetapi tertinggal dari India (50
persen), apalagi Vietnam (112 persen), Singapura (113 persen), Malaysia (116
persen), China (127 persen), dan Thailand (132 persen).
Karena itu, inklusi finansial menjadi hal
yang paling dituju oleh BI. Dari survei Bank Dunia (2010), lebih dari 50
persen penduduk belum terjamah oleh akses keuangan formal. Itulah sebabnya
praktik perbankan informal (shadow banking) dengan suku bunga tinggi kepada
nasabah tetap besar. Penurunan suku bunga secara cepat menjadi salah satu
opsi, tetapi tetap ada batasnya.
Karena itu, BI menekankan perlunya bauran
kebijakan (policy mixed), yakni
tidak sekadar mengandalkan suku bunga, kini BI rate 5,75 persen. Jika
memperhatikan inflasi yang kini ”hanya” 4,6 persen, BI rate masih bisa turun
menjadi 5,25 persen.
Namun, rupiah tertekan kondisi neraca
perdagangan sehingga perlu depresiasi agar dapat memperkuat daya saing produk
ekspor kita. Karena itu, dibandingkan dengan semua mata uang Asia, rupiah
mencatat depresiasi terbesar. Ini bisa dimengerti karena sebelumnya rupiah
juga menguat signifikan dan tercepat di Asia, hingga ke level tertinggi Rp
8.500-an per dollar AS. Rupiah yang terlalu kuat membahayakan posisi
keseimbangan eksternal kita.
BI memperkenalkan trust, yakni kegiatan
usaha bank mengelola devisa yang dititipkan eksportir. Tujuannya, agar devisa
hasil ekspor masuk ke dalam sistem finansial kita. Tidak mudah meyakinkan
eksportir, tetapi kebijakan ini perlu dicoba. Cadangan devisa kini 110 miliar
dollar AS, setara kebutuhan impor dan pembayaran utang 5,7 bulan.
Negara selevel kita yang cadangan devisanya
lebih rendah cuma Filipina (82 miliar dollar AS), selebihnya lebih tinggi:
Malaysia (138 miliar dollar AS), Thailand (181 miliar dollar AS), Singapura
(252 miliar dollar AS), India (295 miliar dollar AS), Hongkong (301 miliar
dollar AS). Taiwan (398 miliar dollar AS), dan China (3,285 triliun dollar
AS).
Menyadari sulitnya memberlakukan kebijakan
kepemilikan bank secara tunggal (single presence policy), BI pun
melonggarkannya dengan opsi pembentukan holding company. Namun, diharapkan
hal ini tidak memperlemah semangat menyederhanakan jumlah bank yang kini 120
bank. Tantangan perbankan ke depan adalah bank yang kuat secara permodalan
untuk menghadapi krisis. Namun, sejauh ini, belum ada resep yang benar-benar
jitu untuk memaksa para pemilik bank untuk berkonsolidasi.
Yang tak kalah menarik dan penting dari
pidato Gubernur BI adalah pada butir 28, yakni pengalaman kita saat terjadi
”krisis mini” tahun 2005 hendaknya menjadi pembelajaran penting. Darmin
mengatakan, ”keterlambatan dalam
merespons akumulasi permasalahan berupa penundaan penyesuaian harga BBM
berakibat pada penerapan kebijakan yang eksesif. Ujungnya, inflasi naik
hingga 17 persen dan daya beli masyarakat merosot tajam”.
BI mengingatkan, penundaan kenaikan harga
BBM bersubsidi hanya akan menjadi akumulasi masalah yang harus dibayar oleh
pemerintah pada masa mendatang. Perlu upaya untuk mengurangi beban. Jika
harga BBM bersubsidi baru dinaikkan beberapa tahun lagi, persentasenya akan
tinggi. Inflasi akan tinggi dan memberatkan.
Pandangan BI ini jelas berbeda dengan
pemerintah. Subsidi energi tahun ini Rp 306 triliun dari APBN 2012 sebesar Rp
1.540 triliun. Subsidi energi sebesar 20 persen atau setara dengan anggaran
pendidikan. Tahun 2013 pemerintah menganggarkan subsidi energi Rp 274,7
triliun dari anggaran Rp 1.658 triliun. Kenapa subsidi 2013 bisa turun?
Selain karena tarif dasar listrik dinaikkan, pemerintah berasumsi permintaan
minyak dunia akan turun tahun 2013.
Asumsi ini terlalu simplistis karena cuma
dari sisi permintaan. Padahal, dari sisi penawaran, produsen minyak juga bisa
menekan suplai. Kini, permintaan dan penawaran minyak dunia di level 80 juta
barrel per hari. Produsen terbesar Arab Saudi bisa menurunkan suplai sehingga
harga bisa di atas 100 dollar AS per barrel. Karena itu, saya duga subsidi
energi kita bakal tetap di atas Rp 300 triliun, bahkan bisa Rp 320 triliun.
Ini tak adil, tidak realistis, dan bakal sulit disangga APBN 2013. Pemerintah
perlu menempuh opsi lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar