Pertumbuhan
Berkualitas
Siswono Yudo Husodo ; Ketua Yayasan Universitas Pancasila
|
KOMPAS,
29 November 2012
Sidang Paripurna DPR pada 13 Oktober 2012
mengesahkan APBN 2013, yang proses kelahirannya membuat kontroversi terkait
dengan kualitas pertumbuhan ekonomi yang ingin kita capai. Sejak tahun 2004,
ekonomi Indonesia dapat tumbuh di atas 5 persen. Pada 2010 tumbuh 6,1 persen
dan tahun 2011 pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. Kini Indonesia merupakan
negara dengan pertumbuhan tertinggi kedua setelah China.
Di tengah krisis perekonomian global,
ketika perekonomian hampir semua negara mengalami perlambatan, Indonesia
termasuk sedikit negara yang mengalami pertumbuhan. Indonesia mengalami
akselerasi produk domestik bruto (PDB) per kapita yang sangat tinggi sejak
2009 sehingga tahun 2012 mencapai 3.508,61 dollar AS per kapita.
Dengan PDB yang terus meningkat, Indonesia
tampil sebagai kekuatan baru yang ikut berperan mendorong pemulihan global.
Saat ini, selain sebagai anggota G-20, Indonesia juga digolongkan ke dalam
kelompok Emerging and Growth-Leading
Economies 10, yaitu kelompok negara dengan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, terdiri dari BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) plus Korea
Selatan, Indonesia, Meksiko, Turki, Mesir, dan Taiwan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga
menerima penghargaan Knight Grand Cross
in the Order of the Bath dari Ratu Elizabeth II sebagai apresiasi
Inggris, yang merupakan investor dan mitra dagang besar bagi Indonesia.
Namun, di dalam negeri, tak sedikit yang kurang setuju jika pertumbuhan
ekonomi yang tinggi belakangan ini serta-merta dianggap prestasi yang
membanggakan.
Pertumbuhan ekonomi seyogianya adalah alat
untuk mencapai tujuan negara dan dalam konteks itu, penulis mencatat beberapa
hal. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang fenomenal beberapa tahun belakangan
belum bisa menjawab tantangan sosial berupa tingginya angka kemiskinan dan
tingkat penganggur yang baru sedikit menurun. Di sisi lain ketimpangan pendapatan
masyarakat semakin tinggi, yang digambarkan oleh rasio gini. Rasio gini 2009
sebesar 0,37 meningkat menjadi 0,38 pada 2010 dan menjadi 0,41 tahun 2011.
Kedua, pertumbuhan ekonomi yang ada juga
belum menjawab tantangan pembangunan sebuah bangsa produktif yang merdeka dan
berdaulat. Hal itu digambarkan oleh defisit perdagangan luar negeri yang
membengkak karena meningkatnya impor, dan ekspor yang masih didominasi bahan
mentah baik hasil tambang maupun perkebunan, semakin meningkatnya porsi asing
dalam kegiatan ekonomi nasional, dan APBN yang ditopang utang yang semakin
besar sehingga jumlah utang pada akhir tahun ini mencapai Rp 2.000 triliun.
Jebakan
Pendapatan Menengah
Sejarah ekonomi banyak negara menunjukkan
banyak yang mengalami pertumbuhan yang stabil hingga negara itu mencapai
kelompok negara berpendapatan menengah. Namun kemudian, di satu titik,
terjadi kejenuhan: kondisi tertahannya pendapatan di posisi tertentu dan tak
bisa meningkat lagi. Inilah jebakan pendapatan menengah.
Tingkat pertumbuhan kemudian menurun dan
negara itu terus berkutat menjadi negara berpendapatan menengah, tak kunjung
bisa naik kelas menjadi negara maju, seperti Filipina dan beberapa negara
Amerika Latin yang pernah mencapai tingkat pertumbuhan PDB cukup tinggi
tetapi kemudian tidak berlanjut.
Indonesia bisa masuk jebakan pendapatan
menengah. Gejala itu terlihat dari peringkat indeks pembangunan manusia,
pendidikan, dan indeks daya saing global. Forum Ekonomi Dunia menyebutkan,
indeks daya saing Indonesia yang pada 2011 di peringkat ke-46, kini turun ke
peringkat ke-50 pada 2012. Sementara itu, Organisasi Buruh Internasional
(ILO) menyebutkan, proporsi pekerja lulusan universitas terhadap total
pekerja di Indonesia pada 2011 sebesar 7 persen, jauh lebih rendah
dibandingkan dengan Thailand (17 persen), Filipina (29 persen), dan Singapura
(28,3 persen).
Untuk menjadikan Indonesia negara maju
dengan masyarakat yang sejahtera, momentum pertumbuhan harus dijaga agar
berkelanjutan. Pemerintah juga berharap pertumbuhan bisa 7 persen pada 2014.
Dengan kebijakan pembangunan ekonomi yang dijalankan sekarang, yang terlalu
mengobral konsesi untuk menarik investasi asing, tidak mustahil dalam
beberapa tahun ke depan pertumbuhan akan terus tinggi; PDB Indonesia bisa segera
melampaui 1 triliun dollar AS. Namun, apakah kita puas bila menilik besarnya
pe- ran perusahaan-perusahaan asing dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi
itu, dan apakah kita bahagia jadi penonton di negeri sendiri.
Sektor perbankan amat sukses menarik investasi
asing karena membolehkan kepemilikan asing sampai 99 persen dan amat mudah
beroperasi sampai ke pedesaan. Saat ini dari 120 bank umum di Indonesia,
lebih dari separuhnya telah dimiliki asing. Padahal, banyak negara lain
membatasi kepemilikan bank oleh asing. Di Thailand, batas kepemilikan asing
49 persen; modal minimum 10 miliar baht; setiap bank asing maksimum memiliki
20 kantor cabang. Di Malaysia, batas kepemilikan asing 30 persen; modal
minimum 300 juta ringgit; bank komersial hanya bisa didirikan dalam bentuk
anak perusahaan lokal. Di China, maksimal kepemilikan asing 25 persen; proses
dan persyaratannya sangat ketat.
Di sektor telekomunikasi, operator Indosat,
XL, Telkomsel dimiliki Qatar, Singapura, Malaysia. Juga di sektor kimia,
industri otomotif, pertambangan, dan energi. Di barang konsumsi, seperti
sabun Lux dan pasta gigi Pepsodent (Inggris), susu SGM (Belanda), teh
Sariwangi (Inggris), rokok Sampoerna (Amerika Serikat). Di ritel dengan Giant
dan Hero (Malaysia), Circle K (AS), pabrik-pabrik semen: semen Gresik
(Meksiko), semen Cibinong (Swiss), semen Tiga Roda (Jerman).
Ekspor bahan mentah dengan nilai tambah
yang rendah juga masih mendominasi porsi ekspor nasional dan berbagai
kebijakan pengembangan sektor hilir lambat terwujud. Beberapa tahun terakhir,
pemerintah telah menerapkan pajak ekspor minyak sawit mentah (MSM) yang
memperoleh lebih dari Rp 20 triliun per tahun dengan tujuan mendorong
hilirisasi MSM.
Sampai sekarang, Indonesia baru
menghasilkan 47 produk turunan bernilai tambah tinggi, jauh di bawah Malaysia
yang sudah berhasil memproduksi 100 produk turunan. Lalu, mengapa banyak
pengusaha sektor pangan Indonesia yang sukses menghasilkan produk dan merek
juara di pasar nasional, seperti Aqua, Ades, kecap ABC, dan kecap cap Bango,
bukannya melebarkan pasar usahanya ke luar negeri, melainkan justru
melepaskan kepemilikannya kepada asing. Juga dimilikinya lebih dari 3 juta
hektar kebun sawit dan karet oleh asing. Ini semua pelajaran amat mahal.
Cukup sudah. Kita perlu melakukan reorientasi kebijakan. Jika kita ingin
pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan, diperlukan pendekatan baru.
Pendekatan
Baru
Langkah strategis Nahdlatul Ulama (NU)
dalam rakernasnya mendesak dilakukannya evaluasi UU yang bertentangan dengan
semangat kemandirian bangsa perlu diapresiasi. Diperlukan perubahan UU
Penanaman Modal, UU Pertambangan, UU Migas, UU Perbankan, UU Perkebunan, dan
lain-lain: regulasi yang terlalu menjual murah berbagai potensi dalam negeri
kepada asing yang seharusnya diserahkan kepada bangsa sendiri, yang dapat
bekerja sama dengan asing.
Kita tidak perlu menempuh cara yang
revolusioner, seperti Venezuela di bawah Hugo Chavez, untuk memperbaiki
keadaan. Kita bisa meniru gaya Meksiko yang menasionalisasi dengan membeli
saham perusahaan asing pada harga pasar, atau gaya Malaysia yang membeli
perusahaan-perusahaan Inggris yang beroperasi di Malaysia di pasar modal di
London.
Kebijakan yang mewajibkan investor asing
melakukan divestasi pada pengusaha nasional perlu dirancang supaya mitra
asing menguasai tak lebih dari 45 persen saham dengan diberikan masa
penyesuaian 10 tahun. Meningkatnya peran serta pengusaha nasional dalam
ekonomi Indonesia akan meningkatkan kebanggaan nasional dan dana domestik
yang diperlukan untuk investasi selanjutnya.
Di negara mana pun potensi ekonomi suatu
negara haruslah pertama-tama digunakan untuk meningkatkan kapasitas nasional
dan bangsanya. Banyak hal perlu dibenahi agar ekonomi dalam negeri bisa lebih
dinamis lagi.
Untuk menghindari jebakan pendapatan
menengah, meningkatkan kapasitas infrastruktur dan kualitas SDM menjadi
bagian pentingnya. Kendalanya adalah APBN yang meskipun tumbuh cepat,
strukturnya kurang sehat. Lebih dari 30 persen dipakai untuk subsidi dan
bayar bunga utang. Subsidi terbesar untuk energi (BBM dan listrik) terus
meningkat; dalam APBN 2009 senilai Rp 94,58 triliun, APBN 2010 senilai Rp
139,95 triliun, APBN 2011 senilai Rp 255,61 triliun, APBN 2012 menjadi Rp 330
triliun, APBN 2013 diproyeksikan Rp 274,74 triliun, yang selalu lebih besar
daripada belanja modal pemerintah.
Kita juga perlu menggali sumber-sumber
keuangan baru untuk memperbesar APBN. Peningkatan pendapatan negara dari
pajak dan optimalisasi potensi BUMN perlu dilakukan, seperti Temasek di
Singapura; Khazanah dan Petronas di Malaysia.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan hanya dapat dicapai bila kita bisa merancang keterbukaan yang
proporsional pada ekonomi global, berani mengambil keputusan untuk menekan
subsidi energi, dan mengedepankan semangat kemandirian bangsa. Semoga ini
bisa terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar