Jejaring
Belajar dalam Kurikulum 2013
Daniel M Rosyid ; Penasihat
Dewan Pendidikan Jawa Timur dan Guru Besar ITS
|
JAWA
POS, 26 November 2012
SAAT ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menyusun kurikulum baru yang bakal digunakan pada 2013. Dalam drafnya,
kurikulum baru ini dikembangkan sebagai bagian dari strategi pengembangan
pendidikan tiga dimensi. Dimensi pertama adalah peningkatan efektivitas
belajar. Kurikulum dan pelaksananya, yaitu guru, menjadi kunci. Dimensi
kedua, meningkatkan lama tinggal di sekolah hingga jenjang SMU melalui
program Pendidikan Menengah Universal, atau program Wajib Belajar 12 Tahun.
Yang ketiga adalah menambah jam belajar di sekolah hingga sore hari. Ketiga
strategi itu tentu perlu kita apresiasi. Tulisan pendek ini bermaksud
memberikan catatan atas strategi tersebut.
Catatan pertama, ketiga dimensi strategi tersebut saling berkaitan, bukan besaran yang mandiri. Harus dikatakan bahwa dimensi pertama sesungguhnya adalah strategi yang paling menentukan. Dalam banyak kasus, dimensi kedua dan ketiga justru bisa menghambat dimensi yang pertama. Itu telah ditunjukkan oleh Ivan Illich sekitar 40 tahun lalu dan bisa kita amati secara empiris di sekitar kita saat ini. Kedua, ada asumsi yang kuat bahwa dimensi kedua, yaitu semakin lama bersekolah (hingga jenjang sekolah menengah), semakin baik. Lalu, semakin lama di sekolah (pulang sore) (dimensi ketiga) juga semakin baik. Asumsi itu hanya valid bila dimensi pertama juga valid. Artinya, pembelajaran terjadi secara efektif. Jika asumsi tersebut tidak valid, semakin lama seorang murid bersekolah dan di sekolah hingga sore hari justru semakin buruk akibatnya bagi dirinya. Asumsi-asumsi tersebut sangat dipengaruhi oleh schoolism yang mereduksi pendidikan sebagai persekolahan belaka. Strategi dimensi kedua dan ketiga yang lebih bersifat kuantitatif relatif lebih mudah melaksanakannya. Persoalannya hanya ketersediaan anggaran. Semakin besar anggaran semakin baik. Sementara dimensi pertama yang lebih kualitatif jauh lebih sulit. Untuk dimensi pertama itulah, praktik pendidikan kita selama ini kedodoran. Artinya, proses pembelajaran di banyak sekolah kita tidak berlangsung efektif: tidak membangun karakter dan kompetensi-kompetensi kunci yang diperlukan agar hidup sehat dan produktif. Kedodoran itu dibuktikan dengan utak-atik kurikulum yang dilakukan selama ini, termasuk upaya pengembangan kurikulum 2013 saat ini. Kedodoran itu diperparah oleh guru yang tidak kompeten dan budaya sekolah yang tidak meritokratik sebagai pelaksana kurikulum yang mengubah kurikulum yang direncanakan menjadi kurikulum yang terlaksana. Pada akhirnya, pendidikan yang baik bergantung bagaimana murid belajar sebagai sebuah proses memaknai pengalamannya. Proses memaknai pengalaman itu kemudian ditunjukkan oleh perubahan sikap dan praktik kehidupan sehari-hari. Sesederhana itulah sebenarnya apa yang bisa kita harapkan dari pendidikan. Bukan Perubahan Kurikulum Di abad internet ini, belajar semakin tidak membutuhkan sekolah. Yang dibutuhkan adalah sebuah jejaring belajar (oleh Ivan Illich disebut learning web) yang lentur dan luwes. Murid bisa belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Kurikulum harus menyesuaikan murid, bukan sebaliknya. Dalam perspektif itu, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sudah cukup baik, namun tidak terlaksanakan oleh guru yang kompeten. Saya merasa khawatir ikhtiar Kemendikbud kali ini akan sia-sia (lagi) dan Kurikulum 2013 akan menjadi perencanaan kegagalan pendidikan dan kita bakal menuai "tagihan demografi", bukan bonus demografi. Perbaikan mutu pendidikan itu dengan demikian sesungguhnya bergantung kepada kualitas guru dan budaya sekolah. Di sana murid mengalaminya sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari, bukan sekadar menjelang ujian-ujian. Jika kualitas guru seperti saat ini, dan budaya sekolah sebirokratis saat ini, lama bersekolah justru semakin menggerogoti kemandirian dan imajinasi, bahkan juga mengasingkan murid dari kehidupan nyata sehari-hari. Sekolah menjadi lahan tandus inovasi, tempat yang tak memadai bagi beragam ekspresi multiranah multicerdas murid-muridnya. Yang kita butuhkan saat ini bukan perubahan kurikulum, melainkan perubahan guru dan budaya belajar. Guru harus menjadi sosok yang mandiri dan teladan manusia merdeka yang tidak mudah diintimidasi oleh birokrat pendidikan dan wali murid. Pembinaannya harus dilakukan oleh organisasi profesi guru, bukan oleh pemerintah. Guru tidak boleh dipandang lebih sebagai pegawai. Tapi, mereka sebagai profesional yang bekerja dengan berpedoman kepada kode etik guru, sesuai tema Hari Guru 25 November tahun ini. Budaya belajar dapat dikembangkan dengan sederhana. Mulailah dengan membangun budaya membaca yang sehat. Sediakan layanan perpustakaan yang baik, dengan koleksi buku yang bermutu, serta akses internet yang memadai hingga tingkat kecamatan. Kemudian, hargai pengalaman dan praktik murid sehari-hari menjadi bagian dari diskusi kelas. Kembangkan budaya menulis, lalu beri kesempatan luas untuk berbicara. Begitulah budaya belajar di sekolah dibentuk. Jadikan sekolah sebagai tempat murid belajar, bukan sekadar tempat guru mengajar, dan statistik kelulusan ujian diukur untuk kepentingan birokrasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar