Putusan
Mahkamah Konstitusi dan Hakim Konstitusi
Sampe L Purba ; Praktisi Hukum dan
Pemerhati Media
|
SINDO,
26 November 2012
Dalam sistem
tata hukum kenegaraan Republik Indonesia yang demokratis di mana undangundang
yang dihasilkan, yang mengikat seluruh rakyat Indonesia, merupakan produk
kolaborasi positif antara lembaga DPR dan Presiden, yang legitimasi
kewenangannya langsung diperoleh dari rakyat melalui pemilihan umum, terdapat
suatu lembaga lain yang sangat powerful bernama Mahkamah Konstitusi (MK),
yang kewenangannya tidak diperoleh dari rakyat melalui pemilihan umum.
MK sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 24c memiliki kewenangan untuk mengadili kasus pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD,memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,memutus pembubaran partai politik,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.Dalam perkara pengujian UU,yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum (erga omnes). MK dapat dipandang sebagai negative legislator. Akan halnya mengenai lembaga atau badan atau jabatan tertentu yang digantungkan pada bagian dari UU yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka lembaga atau badan atau jabatan tersebut apabila akan dibubarkan hanya dapat dilakukan dengan mencabut peraturan atau ketetapan atau keputusan administrasi negara yang menjadi dasar pembentukan, penetapan atau pengangkatan pada jabatan dimaksud seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden,keputusan presiden, dan seterusnya. Banyak pihak yang berpandangan bahwa kekuasaan dan kewenangan yang sedemikian besar diberikan kepada MK bertentangan dengan logika demokrasi. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa adalah bertentangan dengan nurani keadilan, suatu keputusan politik yang dihasilkan oleh lembaga politik seperti Presiden dan DPR yang merupakan representasi dan memperoleh legitimasi langsung dari rakyat melalui pemilihan umum, produk yang dihasilkannya dapat dibatalkan oleh suatu lembaga yang tidak dipilih rakyat.Karena itu, syarat dan ketentuan untuk menjadi hakim MK adalah berat dan tidak mudah. Hakim Konstitusi Hakim pada MK disebut hakim konstitusi. Mereka terdiri atas sembilan orang saja. Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi memiliki syarat- syarat yang berat. Syaratsyarat itu antara lain (a) memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, (b) adil, dan (c) negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan Menyadari strategisnya kedudukan, fungsi, dan kewenangan yang melekat pada hakim konstitusi tersebut, diharapkan para pemutus agung itu adalah pilar terakhir para pencari keadilan konstitusional yang melaksanakan tugas pengabdiannya melebihi kaliber rata-rata manusia Indonesia lainnya, memiliki tanggung jawab moral yang tinggi, tidak bertindak melebihi kewenangan yang diberikan (ultra vires), serta amanah dalam menjalankan tugas profesional (fiduciary duties) yang merupakan mahkota kehormatan yang melekat pada setiap profesi. Untuk menjaga kehormatan dan martabatnya, MK mengeluarkan self regulatory conduct, yaitu Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/PMK/ 2003 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi. Beberapa hal yang diatur di dalamnya antara lain: menjaga jarak untuk tidak berhubungan langsung ataupun tidak langsung, baik dengan pihak yang beperkara maupun dengan pihak lain dan tidak mengadakan kolusi dengan siapa pun yang berkaitan atau dapat diduga berkaitan dengan perkara yang akan atau sedang ditangani sehingga dapat memengaruhi objektivitas atau citra mengenai objektivitas putusan yang akan dijatuhkan (Pasal 3d). Harapan dan Kenyataan Tanggal 13 November 2012 yang lalu, MK mengeluarkan Putusan Nomor 36/PUUX/ 2012 yang amar putusannya menyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Di luar persidangan, Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa segera setelah putusan diucapkan, BP Migas bubar. Terhadap hal tersebut, pemerintah tidak memperdebatkannya. Tulisan ini tidak akan masuk dalam pembahasan yang mempersoalkan putusan tersebut.Tapi bagaimana dengan para hakim MK yang memutusnya? Beberapa orang yang kritis dikutip di sini. Analis ekonomi Independent Research and Advisory Indonesia (IRAI) Lin Che Wei menuding sejumlah pihak pemohon, saksi ahli maupun hakim konstitusi pengambil keputusan pembubaran BPMigas memiliki persoalan etika dan inkonsistensi sikap. Sebanyak tiga dari delapan hakim konstitusi berpotensi conflict of interest,sebab dua hakim konstitusi adalah anggota DPR 1999–2004 yang membuat UU tersebut dan ikut membidani lahirnya BP Migas. Adapun Ketua MK Mahfud MD, pada saat UU tersebut dibuat, menjabat sebagai menteri pertahanan dan sempat menjadi menteri hukum dan HAM di era Presiden Gus Dur. Selain hakim konstitusi, terdapat dua saksi ahli yang pada 1999–2004 merupakan pejabat tinggi setingkat menteri yang ikut menandatangani letter of intent dengan IMF untuk menggulirkan UU Migas. Dari sisi penggugat, Che Wei mengungkapkan terdapat lima orang yang pernah berstatus sebagai anggota DPR ketika UU Migas disahkan. Dalam majalah Tempo edisi 19–25 November 2012,pada halaman 111 terdapat suatu foto dengan penjelasan Achmad Sodik, Din Syamsuddin, dan Hasyim Muzadi seusai audiensi soal Undang-Undang Minyak dan Gas di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 29 Maret 2012. Din Syamsuddin (pemohon I) dan Hasyim Muzadi (pemohon XI) adalah pemohon uji material yang pada tanggal yang sama mendaftarkannya di kepaniteraan MK (lihat Putusan MK Nomor 36/PUU/2012 butir [2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan per-mohonan dengan surat permohonan bertanggal 29 Maret 2012,yang kemudian didaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 29 Maret 2012 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 112/PAN.MK/2012. Menjadi pertanyaan, apakah yang mulia Ketua MK tidak melihat itu sebagai pelanggaran terhadap kode etik yang disusun MK sendiri. Pada tanggal 13 November 2012, Mahfud MD dikutip berkata, “Sejak pukul 11.00 WIB (Selasa (13/11) bubar....” Apabila dicermati, tidak ada satu kata pun dalam putusan MK yang menyatakan BP Migas bubar. Kewenangan MK dalam hal pembubaran suatu lembaga atau badan hanya terhadap partai politik. Lalu, dalam kapasitas apa Ketua MK menyampaikan itu di luar sidang. Hanya putusan hakim yang disampaikan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Pembubaran suatu institusi bukan merupakan kompetensi MK. Hakim konstitusi terdiri atas sembilan orang negarawan arif dan bijaksana. Dari sembilan orang tersebut, terdapat satu dissenting opinion yang disampaikan hakim Harjono. Tentu untuk adilnya, Harjono juga patut diberi ruang publik untuk menjelaskan alasan dan pandangannya. Untuk menunjukkan integritas dan menghindari interpretasi yang kurang pas, yang memersonifikasikan putusan MK hanya dengan beberapa orang anggota majelis, alangkah baiknya kalau pertimbangan atau pendapat tertulis setiap hakim konstitusi tersebut diumumkan dan dibuka untuk publik. Publik berhak tahu dan yakin bahwa mereka berada di dalam garda pengawalan para hakim konstitusi yang adalah negarawan, para profesional mumpuni, dan para begawan keadilan yang tidak dapat disetir atau dibajak oleh pihak mana pun. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar