Bank Century
dan Utang Politik KPK
Indriyanto Seno Adji ; Guru Besar Hukum Pidana/Pengajar
Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum FHUI
|
KOMPAS,
29 November 2012
Komisi Pemberantasan Korupsi seolah melepas
duri dari lembaganya. Pertemuan Tim Pengawas DPR dengan KPK menjelaskan
perkembangan penyelidikan kasus Bank Century, terutama sejauh mana
penelusuran bukti- bukti yang akan ditingkatkan ke proses penyidikan.
Hasil analisis, memang ada peningkatan
proses ke penyidikan. Bahkan dari hasil progress
report, KPK membidik dua mantan Deputi Gubernur BI, Budi Mulya dan Siti
Fadjrijah, sebagai tersangka.
Keduanya diduga bertanggung jawab atas
kebijakan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Century.
Kasus Century adalah perkara yang memiliki keistimewaan karena
penyelidikannya paling lama dan mendapat ”perlakuan khusus” DPR. Century
mengalami krisis keuangan internal yang membuat negara melalui Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) dengan melibatkan Gubernur BI dan Menteri Keuangan,
mengucurkan dana talangan hampir Rp 6,7 triliun.
Penyelamatan Century sebagai bank gagal
yang dianggap berpotensi berdampak sistemik ini menimbulkan kontroversi.
Karena diduga terjadi penyimpangan, DPR meminta KPK memeriksa dugaan
penyimpangan itu.
Adakah penyalahgunaan wewenang dan
perbuatan melawan hukum dalam proses penetapan kebijakan pemberian FPJP ini,
dalam konteks Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No
20/2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi?
Kepentingan Politik
Perlu catatan analisis terhadap kemajuan
KPK dengan meningkatkan status kasus Century ke penyidikan. Pertama, muncul
kesan di masyarakat bahwa peningkatan status kasus Century, dari penyelidikan
ke penyidikan oleh KPK ini adalah karena adanya tekanan politik dari kalangan
politisi DPR yang multifraksi terhadap KPK, yang dilatari kepentingan politik
terkait kekuatan salah satu partai berkuasa. Jadi, bukan semata penegakan
hukum murni atau untuk kepentingan pemulihan kinerja Century.
Peningkatan status kasus Century ke proses
penyidikan ini dianggap sebagai penyelesaian politik atas menggantungnya
kasus Century. Asumsinya, seolah penanganan kasus Century merupakan tekanan
politik DPR pada KPK.
Menuntaskan kasus Century pada akhir 2012
sendiri merupakan janji politik KPK ke DPR dan publik. Ada indikasi
politisasi hukum atau tarik-menarik antara penegakan hukum dan kepentingan
politik di sini.
Kriminalisasi Kebijakan?
Pemberian dana talangan kepada Century
merupakan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang dibentuk
berdasarkan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan
yang menetapkan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Eksistensi
KKSK sendiri jadi polemik tersendiri karena Perppu JPSK ditolak DPR pada 18
Desember 2008. Kebijakan pemberian dana talangan dalam bentuk FPJP ini
merupakan keputusan KKSK secara kolegial bukan BI semata.
Kedua, kebijakan dana talangan dalam bentuk
FPJP merupakan tindakan aparatur negara berdasarkan kebijakan negara atau staat beleid yang tak dapat dinilai
oleh disiplin ilmu hukum pidana karena staat
beleid atau aparatur pelaksananya (overheidsbeleid)
merupakan ranah hukum administrasi negara, terlepas dari ada tidaknya
kebenaran substansi atas kebijakan itu.
Kebijakan itu dikeluarkan dalam kondisi
mendesak, urgen, darurat, bahkan instan sehingga umumnya secara substansial
tak sesuai, bahkan bertentangan dengan peraturan tertulis. Karena itu,
kebijakan abnormal ini tidak dapat dinilai atau diukur dengan produk regulasi
dalam keadaan normal, baik terhadap unsur penyalahgunaan wewenang maupun
tindakan melawan hukum, termasuk substansi kebijakannya.
Perbuatan yang
dikategorikan penyalahgunaan wewenang ataupun melawan hukum ini karakter
perbuatan dalam ranah hukum administrasi negara, selain hukum pidana. Karakter
perbuatan yang sama di antara kedua disiplin hukum inilah yang kemudian menjadi
wilayah abu-abu sebagai kriminalisasi kebijakan.
Sebagai perbandingan, kebijakan dana
talangan oleh Federal Reserve dalam
peristiwa krisis keuangan AS tahun 2008, yang tetap memberikan imunitas atas
intervensi penegak hukum; kecuali intervensi penegak hukum atas
penyalahgunaan wewenang atau melawan hukum dari penerima kebijakan, seperti
dilakukan Bernard Madoff, yang diperbolehkan. Terhadap kebijakan itu sendiri
harus dihindari intervensi penegak hukum.
Ketiga, terkait perdebatan yang masih
berlangsung mengenai kriminalisasi kebijakan dalam kaitan kasus tindak pidana
korupsi. Lembaga yudikatif pun memiliki pandangan dan interpretasi berbeda
untuk kasus korupsi yang sama dalam kaitan kebijakan yang dapat atau tidak
dapat dikriminalisasikan.
Dalam kaitan penyaluran Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI), misalnya,
Putusan Mahkamah Agung yang diketuai oleh
Bagir Manan mengakui bahwa BLBI merupakan suatu kebijakan pemerintah, tetapi
MA menghukum para mantan Direktur BI akibat kebijakan ini.
Contoh lain, kasus korupsi Akbar Tandjung.
Ia telah dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum melalui putusan MA No
572 K/Pid/2003 tanggal 4 Februari 2004 yang menyatakan bahwa kebijakan
program pengadaan dan penyaluran sembako yang dijalankannya merupakan suatu
tindakan yang harus dilakukan oleh seorang koordinator/Mensesneg dalam
keadaan darurat sesuai kewenangan diskresioner. Putusan MA menegaskan bahwa
kebijakan tak dapat dinilai dalam kompetensi hukum pidana.
Diskresioner ini biasa terjadi karena
peraturan perundang-undangan tak mengatur kewenangan pemerintahan sama sekali
atau peraturan perundang-undangan mengatur suatu norma yang tidak jelas atau
samar (vague norm). Selain itu,
suatu dikresioner dapat dilakukan aparatur negara dalam keadaan penting,
perlu, dan mendesak. Filosofinya tentunya berpijak pada anggapan bahwa
mekanisme BI tak dapat berhenti semenit pun karena alasan wewenang tak
memiliki suatu landas hukum.
Kebijakan Dewan Gubernur BI sebagai ranah
hukum administrasi negara tegas tercantum pada Pasal 45 UU 23/1999 mengenai
BI bahwa ”Gubernur, Deputi Gubernur
Senior, Deputi Gubernur, dan atau pejabat BI tidak dapat dihukum karena
mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya
sebagaimana dimaksud UU ini sepanjang dilakukan dengan itikad baik”.
Kebijakan tidak termasuk penilaian oleh hukum pidana, yang memfokuskan diri
pada soal rechtmatigheid dan bukan doelmatigheid sebagai ranah hukum
administrasi negara.
Keempat, andaikata pun nanti kebijakan
ditetapkan sebagai perbuatan pidana korupsi, KPK harus secara cermat
membuktikan adanya niat jahat (mens rea)
atas pelaksanaan actus reus
(perbuatan yang mengandung tindak pidana, seperti penyalahgunaan wewenang dan
perbuatan melawan hukum). Mens rea
adalah pembuktian yang tak mudah karena bermakna mengandung faktor subyektif
dari pembuat kebijakan saat membuat kebijakan FPJP, yaitu Gubernur BI,
Menkeu, LPS (yang tergabung pada KKSK). Rasionalitasnya, KPK harus berasumsi
peningkatan ke penyidikan adalah langkah penegakan hukum, bukan pelunasan
utang politik KPK ke DPR! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar