Menstabilkan
Harga Daging
Hendri Saparini ; Ekonom
Econit
|
SUARA
KARYA, 27 November 2012
Harga
daging telah mencapai Rp 100 ribu per kilogram. Harga setinggi ini ternyata
membuat kaget pelanggan steak. Bisa dibayangkan, betapa resahnya keluarga
sederhana yang selama ini hanya mampu mengonsumsi daging dalam campuran
bakso. Jutaan pedagang bakso sangat khawatir dengan keberlanjutan usahanya
yang membutuhkan daging setiap hari.
Kini,
masalah makin pelik karena pedagang daging mulai mogok akibat tingginya
harga. Haruskah demo berulang seperti pedagang tahu dan tempe beberapa waktu
lalu? Haruskah kebijakan ad hoc selalu menjadi solusi? Pemerintah seharusnya
jangan mudah didikte pasar. Namun, tentu ada syaratnya.
Harga
daging ditentukan oleh jumlah pasokan dan permintaan lewat mekanisme pasar.
Oleh karena itu, intervensi pemerintah harus dilakukan lewat keduanya. Saat
ini lonjakan harga yang terjadi bukan akibat permintaan karena tidak ada hal
yang mendorong naiknya konsumsi masyarakat maupun industri signifikan.
Penyebab utamanya, lebih pada sisi pasokan yang selama ini cukup tinggi dipenuhi
dari impor.
Untuk
menyelesaikan lonjakan harga daging dan pangan lainnya, yang utama adalah
ketersediaan data tentang kemampuan pasok dalam negeri dan volume konsumsi.
Sayangnya, di Indonesia data selalu menjadi kelemahan utama. Untuk data
konsumsi, misalnya, terdapat perbedaan sangat mencolok. Data pedagang
menunjukkan konsumsi daging masyarakat sekitar 4,5 kg/kapita/ tahun,
sedangkan menurut data dari pemerintah kurang dari 2 kg/kapita/tahun.
Akurasi
data itu akan sangat menentukan kualitas kebijakan. Apabila pemerintah
menggunakan data resmi pedagang, terjadi kekurangan pasok dan kenaikan harga.
Sebaliknya, apabila digunakan data pemerintah, karena dianggap lebih tepat,
akan terjadi banjir impor yang tentu akan sangat menghambat swasembada sapi.
Harga daging yang rendah dan pasar makin sempit, akibat gempuran impor, pada
akhirnya menjadi disinsentif bagi peternak dalam negeri.
Informasi
lain yang sangat diperlukan adalah peta jumlah, wilayah produksi, dan
konsumsi sapi untuk seluruh Indonesia. Data ini penting tidak hanya untuk
merencanakan pemenuhan pasok dan pengendalian harga, tetapi juga sebagai
salah satu upaya pencapaian target swasembada. Sayangnya, target swasembada
itu terus bergeser dari semula 2010 menjadi 2014. Bahkan, dikhawatikan mundur
lagi karena sangat kuatnya desakan para pebisnis lewat organisasi
internasional seperti OECD dan APEC, yang meminta pemerintah, lewat Wapres
Boediono, agar tidak menerapkan swasembada pangan.
Pada
November lalu, APEC membuat kesepakatan di antara para anggotanya untuk
meninggalkan swasembada pangan. Sayangnya, Indonesia selalu mudah menerima
kesepakatan itu. Ini harus diakui tidak terhindarkan karena tidak ada cetak
biru yang didukung kebijakan komprehensif serta political will untuk
mewujudkan kedaulatan pangan.
Kebijakan
pangan Indonesia dengan 240 juta penduduk tidak boleh berhenti hanya sebatas
menjaga pasokan tanpa peduli sumber pangan. Semua negara berpenduduk besar
selalu mendukung kebijakan swasembada pangan nasional. Itu memerlukan
komitmen tinggi dan kebijakan yang komprehensif di sisi produksi maupun
konsumsi. Menekan biaya produksi dan menciptakan pasar yang pasti akan
menekan harga jual.
Solusi mengatasi
gejolak harga daging, kedelai, minyak tanah maupun bahan pangan lainnya
memang tidak bisa hanya dengan kebijakan kulit di sisi hilir, tetapi harus
pada akar masalahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar