Megaskandal
Bank Century dan Nasib Boediono
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 26 November 2012
''Selama ini Boediono dan Sri Mulyani
tersandera oleh kasus Bank Century ini.
Bila kasus hukum atas keduanya selesai, bukan mustahil Boediono dan Sri Mulyani akan bebas karena niat mereka baik. Mereka berdua juga hanyalah pelaksana dari sebuah keputusan yang dibuat orang yang memiliki otoritas politik lebih tinggi.''
HIRUK
pikuk mengenai megaskandal Bank Century muncul kembali. Ada tiga hal yang
menyebabkan skandal Bank Century mencuat kembali. Pertama, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan dua tersangka baru kasus
Bank Century, yaitu Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Siti Chalimah
Fadjrijah dan Budi Mulya.
Ketika ditanya wartawan bagaimana dengan nasib
Wakil Presiden Boediono yang saat bailout Bank Century sebesar Rp6,7 triliun
diberikan Boediono ialah Gubernur Bank Indonesia, Ketua KPK Abraham Samad
mengatakan KPK tidak memiliki otoritas untuk memeriksa wakil presiden. Itu
wewenang Mahkamah Konstitusi (MK). Pernyataan Abraham Samad ini dibantah
Ketua MK Mahfud MD bahwa justru MK yang tidak memiliki wewenang, sedangkan
KPK punya.
Dua hari kemudian Abraham Samad meralat pernyataan awalnya karena beberapa
ahli hukum menyatakan, “Semua warga negara bersamaan kedudukannya di muka
hukum. Karena itu, seorang wakil presiden atau bahkan presiden pun dapat
diajukan ke muka hukum.“
Kedua, batas waktu penjualan Bank Mutiara
(nama baru Bank Century) sesuai dengan UU No 24 Tahun 2004 terkait dengan
Lembaga Penjamin Simpanan dan penyelamatan bank ialah tiga tahun setelah
diselamatkan. Tahun ini (2012) batas waktu itu sudah terlampaui jika kita
hitung bahwa penyelamatan Bank Century terjadi pada 2008. Sampai saat ini
publik belum mengetahui apakah sudah ada investor atau gabungan investor baru
yang akan membeli Bank Mutiara dan berapa nilai harga penjualannya.
Ketiga, Dewan Pengawas DPR terkait dengan
pelaksanaan hasil angket Bank Century akan berakhir pada akhir tahun ini.
Tidaklah mengherankan jika kalangan DPR yang dulu mendukung hak angket Bank
Century kini kembali ramai membicarakan kelanjutan kasus tersebut.
Negara Bukan Aktor Rasional
Selama ini ada dua pandangan apakah presiden,
wakil presiden, atau seorang pejabat negara dapat diadili karena kebijakan
politik yang dibuatnya. Pandangan pertama yang sangat kuat ialah seorang
pejabat negara tidak dapat diadili karena kebijakan politik yang dibuatnya
sebab jika itu terjadi, para pejabat akan takut membuat sebuah kebijakan yang
sangat penting. Pandangan kedua menyatakan seorang pejabat tinggi negara bisa
saja dihadapkan ke muka hukum, apa pun jabatannya, karena semua orang
berkedudukan sama di muka hukum.
Kedua pandangan tersebut memiliki rasionalitas
politik dan hukum yang sama kuat. Namun, bila kita kaji lebih dalam, kita
harus mempertanyakan apakah pejabat tinggi negara tidak dapat berbuat
kesalahan? Dalil terkenal yang sudah ada sejak abad ke-17 dari Lord Acton
menyatakan, “Power tends to corrupt,
absolute power corrupt absolutely (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang
absolut sudah pasti korup)!“
Kita juga harus memahami bahwa sebuah
kebijakan bukan dibuat dalam situasi yang vakum atau kekosongan politik.
Bacaan kita mengenai bagaimana kebijakan bailout Bank Century itu dibuat
menunjukkan betapa diskusi, kalau tidak bisa dikatakan perdebatan, di antara
para aktor yang memiliki wewenang untuk memberikan bailout itu terjadi
berhari-hari. Ada yang setuju dan ada yang awalnya kurang setuju.
Besaran
dana untuk bailout juga ada yang dibicarakan secara transparan; ada juga yang
hingga kini ada dalam kegelapan. Sebagai contoh, mantan Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati pernah menyetujui diberikannya bailout ke
Bank Century sebesar Rp690 miliar, mengapa kemudian membengkak menjadi 10 kali
lipatnya menjadi Rp6,7 triliun?
Itu menunjukkan betapa terjadi tarik ulur politik soal bailout Bank Century tersebut dan bukan mustahil ada yang tidak beres dengan pemberian dan pembengkakan bailout tersebut. Ada juga pertarungan kepentingan yang begitu hebat di antara para pejabat tinggi pemerintah yang berwenang soal itu. Dengan kata lain, dalam kasus megaskandal Bank Century, negara dalam hal ini pemerintah bukanlah aktor rasional yang tunggal, melainkan terdiri atas banyak aktor yang kemudian menimbulkan politik birokratis dan atau pertarungan peran yang amat dahsyat dalam memutuskan diberi bailout atau tidaknya Bank Century dan berapa biaya yang harus dikeluarkan.
Selama ini Wapres Boediono selalu menyatakan
bailout itu diberikan demi menyelamatkan ekonomi Indonesia karena khawatir
terjadinya efek bola salju yang negatif bila Bank Century kolaps. Bayangan
kasus sub-prime morgage, kasus
kredit rumah yang macet di Amerika Serikat yang kemudian menimbulkan resesi
ekonomi di AS menjadi salah satu alasan pemerintah memberikan bailout kepada
Bank Century.
Pertanyaannya, apakah benar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
tidak tahu-menahu soal bailout Bank Century tersebut?
Padahal informasi yang bisa kita akses
menunjukkan betapa terjadi pembicaraan melalui telepon internasional antara
Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Presiden Yudhoyono saat Presiden berada di
pesawat atau di AS. Jika memang itu merupakan ketakutan bersama, mengapa pula
Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak diikutsertakan pada saat proses pengambilan
keputusan sedang berjalan dan bukan hanya diberi tahu setelah proses itu
selesai?
Pertanyaan lainnya yang perlu dikemukakan ialah
apakah benar isu yang selama ini berkembang mencurigai di era reformasi ini
setiap menjelang perhelatan politik lima tahunan (baca: pemilu), selalu ada
bank yang harus diselamatkan dengan biaya yang bukan main besarnya? Apakah
itu tidak terkait dengan adanya kongkalikong antara penguasa dan pemilik bank
agar pemerintah memberikan bantuan penyelamatan yang sebagian besar dananya
digunakan untuk kepentingan kampanye pemilu?
Pertarungan Kepentingan
Politik
Masih hangat dalam ingatan kita bahwa dari
beberapa kali usaha DPRRI untuk melakukan hak angket, hanya hak angket kasus
Bank Century yang akhirnya lolos di DPR. Usulan hak angket lainnya, seperti
soal penaikan harga BBM pada 2005 atau hak angket soal pajak, gagal disetujui
DPR di dalam sidang paripurna.
Namun, bila kita lihat apa yang terjadi di
akhir tahun ini, usulan anggota DPRRI dari Partai Golkar Bambang Soesatyo
agar DPR menggunakan hak menyatakan pendapat soal kasus megaskandal Bank
Century ternyata tidak mendapatkan tanggapan positif dari rekan-rekannya di
DPR, bahkan dari dalam partainya sendiri.
Fraksi Partai Golkar memang satu-satunya
partai yang mendukung pernyataan pendapat DPR ini, tetapi Wakil Ketua DPR RI
dari Partai Golkar Priyo Budi Santoso mengingatkan bahwa penggunaan hak menyatakan
pendapat akan meningkatkan suhu politik pada 2013.
Koalisi partai pendukung hak
angket kini juga sudah pecah. Fraksi PDIP menginginkan agar KPK diberi kesempatan
terlebih dahulu untuk menyelesaikan pengusutan kasus Bank Century. Pandangan
PDIP didukung Wakil Sekjen Partai Demokrat Saan Mustopa dan Sekjen Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuzy. Di koalisi pemerintahan, Partai
Demokrat, PAN, dan PKB menentang gagasan Partai Golkar. PKS dan PPP masih
menunggu perkembangan. Partai Gerindra dan Hanura yang merupakan dua partai oposisi
yang kecil masih belum menentukan sikap (The Jakarta Post dan Kompas,
24 November 2013).
Pernyataan pendapat itu lebih menjurus ke mosi
tidak percaya kepada Wapres Boediono yang sebagai Gubernur Bank Indonesia
saat itu memegang posisi yang amat menentukan dalam bailout Bank Century.
Pernyataan pendapat itu sangat penting agar KPK dapat mengawali langkah untuk
melakukan investigasi dan interogasi terhadap Wapres Boediono. Namun, bila
hanya Partai Golkar yang mendukung hak menyatakan pendapat dewan, sudah pasti
usulan Bambang Soesatyo ditolak dewan.
Kita patut bertanya apakah DPR serius ingin
menuntaskan kasus megaskandal Bank Century ini. Perdebatan di DPR bagaikan
menentukan apakah telur dulu baru ayam yang ada, yaitu apakah pengusutan KPK
selesai dulu baru DPR bikin pernyataan pendapat, ataukah pernyataan pendapat
itu penting untuk dikeluarkan oleh DPR agar KPK memiliki otoritas kuat untuk menjadikan
Wapres Boediono sebagai orang yang paling tahu dan bertanggung jawab atas
kasus Bank Century.
Wapres Boediono sudah menyatakan siap dan
bertanggung jawab atas keputusan pemerintah memberi bailout kepada Bank
Century. Kini tinggal KPK saja yang harus memiliki keberanian politik untuk
melanjutkan proses hukum atas kasus tersebut secara tuntas.
Pengajuan Boediono dan Sri Mulyani ke muka
hukum akan menjadi awal sejarah yang baik bagi negeri ini dan bagi keduanya.
Jangan sampai sejarah tidak diadilinya Presiden Soekarno dan Presiden
Soeharto atas kasus-kasus yang dituduhkan kepada mereka terulang, yang
membawa beban politik bagi kedua tokoh bangsa tersebut sampai ke liang lahat.
Selama ini Boediono dan Sri Mulyani tersandera
oleh kasus Bank Century ini. Bila kasus hukum atas keduanya selesai, bukan
mustahil Boediono dan Sri Mulyani akan bebas karena niat mereka baik. Mereka
berdua juga hanyalah pelaksana dari sebuah keputusan yang dibuat orang yang
memiliki otoritas politik lebih tinggi daripada mereka.
Lalu, siapa mengambil keuntungan ekonomi dari skandal Bank
Century ini? Siapa pula yang ingin mengambil keuntungan politik di DPR-RI?
Hanya melalui pengadilan yang jujur, adil, dan imparsial, segalanya akan
terungkap dan terselesaikan secara tuntas! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar