Mengorupsi
Kesejahteraan
Moh Faiz Maulana ; Mahasiswa STAINU Jakarta,
Pengelola Komunitas Waria (Wacana Riang dan Gembira) Jakarta |
SUARA
KARYA, 26 November 2012
Tampaknya
bukan kesejahteraan yang akan didapati oleh bangsa ini, jika melihat kondisi
bangsa yang semakin hari semakin kompleks masalahnya. Demokrasi yang
diidam-idamkan mampu menjadi tumpuan menuju puncak kesejahteraan ternyata tak
kunjung menunjukkan kekuatannya. Malahan, demokrasi di Indonesia terkesan
hanya untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang cukup. Sedangkan
bagi golongan ekonomi bawah, demokrasi belum memberikan dampak yang positif
bagi mereka.
Sila
'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' semakin redup terlihat. Ada
semacam stigma di cara pandang bangsa kita, kesenjangan sosial antara elite
penguasa dan masyarakat dinilai sebagai strata sosial yang berbeda jauh, bak
langit dan bumi.
Stigma
tersebutlah yang barangkali membuat elite penguasa bertindak 'semau gue'. Ini
membuat keadilan sosial bagi seluruh rakyat menjadi semakin jauh dari harapan
bangsa Indonesia.
Apa
yang dikatakan oleh banyak tokoh kenegaraan tentang status bangsa Indonesia
sebagai negara berkembang tampaknya ada benarnya juga. Bangsa ini memang
berkembang pesat, berkembang menuju negara yang sangat timpang, dilihat dari
sikap bangsa sekarang ini yang berlawanan dengan prinsip mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum
keadilan dan keseimbangan adalah hukum alam. Jadi, siapa pun yang melanggar
keadilan dan keseimbangan sama dengan melanggar hukum kosmos, sehingga apa
yang dihasilkan akan bersifat kosmis atau menyeluruh. Seperti halnya korupsi.
Korupsi
adalah salah satu sebab (penting) dari tidak munculnya kesejahteraan dan
keadilan dalam kehidupan berbangsa kali ini. Kita tahu bahwa saat ini korupsi
semakin meraja-lela, liar, buas, memangsa apa saja yang ada di hadapannya.
Adakah yang salah dalam proses penegakan hukum? Ataukah murni kesalahan dari
sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang terlalu rakus?
Karl
Gunnar Myrdal mengatakan, Indonesia merupakan sosok negara yang soft state,
negara yang lunak. Yaitu, negara yang pemerintahan dan warganya tidak
memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral sosial-politik. Kita
umumnya mengidap kelembekan (leniency), sikap serba memudahkan (easy going),
sehingga tidak memiliki kepekaan cukup terhadap masalah penyelewengan dan
kejehatan seperti korupsi, lebih-lebih korupsi dalam bentuk conflict of
interest.
Tampaknya
apa yang dikatakan Karl ada benarnya. Ini terbukti dengan tidak tuntasnya
beberapa kasus korupsi yang menggelayuti bangsa ini. Bagaimana dengan kasus
Century, korupsi pajak oleh Gayus Tambunan, dan juga kasus Hambalang yang
sampai saat ini masih 'ragu-ragu' dalam penanganannya. Mungkin karena
sebagian dari ribuan, atau jutaan, bahkan sampai miliyaran kasus yang tiba
akhirnya akan lenyap begitu saja, bak tertelan bumi tanpa ada penyelesaian.
Ini telah membuktikan sikap kelembekan (leniency) kita dalam menghadapi
korupsi.
Moral
Korupsi
Apakah
ini (korupsi), hasil dari demokrasi kita? Demokrasi yang dinanti-nanti
ternyata hanya berbuah simalakama. Sungguh jauh panggang dari api. Demokrasi
tampaknya lebih dimaknai dengan kebebasan. Kebebasan yang terlampaui batas,
bebas boleh ngapa-ngapain (termasuk korupsi), tetapi esensinya tidak bisa
ngapa-ngapain. Demokrasi di Indonesia (sudah) telanjur melenceng dari
maknanya yang suci. Kaburnya makna demokrasi bersamaan dengan melemahnya
moral bangsa. Lemahnya standar moral bangsa kita inilah yang menyebabkan kita
sekarang mengalami berbagai bentuk conflict of interest.
Melemahnya
kesadaran arah dan tujuan hidup bernegara yang menggejala saat ini berdampak
sangat negatif kepada usaha penegakan hukum dan keadilan. Karena, beroperasinya
praktik suap-menyuap, money laundering, membuat rakyat semakin banyak
kehilangan kepercayaan kepada para penegak hukum.
Ketidakadilan
dalam proses-proses penegakan hukum oleh aparat-aparat yang bersangkutan
telah mencoret nama baik keadilan di mata rakyat Indonesia. Keadilan yang
jujur tak berpihak menjadi idaman rakyat Indonesia yang saat ini kelihatan
mustahil diterapkan di negeri ini.
Demokrasi,
dianggap sebagai konsep yang paling representatif untuk diterapkan dalam
perjalanan bangsa ini. Namun, belum jelas (sebenarnya) demokrasi macam apa
yang dipakai. Tetapi, banyak orang menganggap (demokrasi) yang paling baik di
antara yang terburuk. Menganggap bahwa demokrasi-lah yang bisa menjadikan
Indonesia 'sedikit' lebih sejahtera.
Kesejahteraan
adalah ujung dari penantian panjang demokrasi yang sesungguhnya. Idealnya,
demokrasi semacam itulah yang diharapkan oleh seluruh elemen bangsa ini.
Namun realitas berkata lain. Gagasan dan visi demokrasi semakin hari semakin
melenceng dari apa yang dicita-citakan bangsa ini.
Gagasan dan visi
demokrasi kita telah dikorupsi. Koruptor telah membuat masyarakat Indonesia
kehilangan jati diri dan figure identifikasi tentang sebuah rumah (home) dan alamat (address) dalam konteks personal dan bangsa (nation) serta kebudayaan/peradaban (culture) dalam ruang tatanan sosial yang ada hingga tak sedikit
pun mampu mensejahterakan rakyat. Padahal, rakyat tentu selalu memimpikan
sebuah negara yang adiluhung gemah ripah loh jinawi. ●
|
subhanallah ... senior q d STAINU ... akhir'a ak menemukan ... menarik pembahasan'a ...
BalasHapus