Reposisi Ujian
Nasional
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 26 November 2012
KEMARIN, 25 November 2012, bertempat di Warung
Daun Wolter Monginsidi, Jakarta, sejumlah pakar dan praktisi pendidikan dari
beragam latar belakang keilmuan bersepakat merilis petisi tentang reposisi
ujian nasional (UN). Itu bertujuan untuk mengingatkan sekaligus menggugat
otoritas pendidikan di Tanah Air (baca: Kemendikbud) yang seakan salah kaprah
dalam menerjemahkan hasrat untuk menjadikan pendidikan lebih berkualitas. Ujian
nasional dianggap salah arah karena bertentangan dengan naluri teori belajar
yang seharusnya mendominasi kebijakan bidang pendidikan yang bermutu.
Petisi tersebut menjadi kian menarik karena
digagas begitu banyak pendidik yang menyadari arti penting pendidikan bagi
perkembangan suatu bangsa. Mereka secara terus terang menyatakan Petisi untuk
Perbaikan Mutu Pendidikan Nasional itu ditujukan sebagai penyikapan terhadap
semakin buruknya dampak ujian nasional bagi upaya pencerdasan kehidupan
bangsa. Belenggu ujian nasional telah secara signifikan mereduksi pendidikan
nasional menjadi sekadar pabrik pencetak generasi pekerja yang nirnalar dan
beriman pragmatis.
Benarkah UN sudah menjadi pabrik pekerja yang
nirnalar dan beriman pragmatis? Apa implikasi nirnalar dan beriman pragmatis
dalam konteks kehidupan secara luas di masyarakat kita? Itu dua pertanyaan
yang harus terus diuji siapa pun yang mencintai pendidikan di Tanah Air. Jika
memang terbukti bahwa proses pendidikan kita menjadikan anak-anak mencintai
ijazah dan kelulusan semata, tanda-tanda kebangkrutan sosial sudah di depan
mata.
Namun jika pendidikan masih mempertimbangkan
aspek moralitas, etika, dan kohesi sosial yang kuat, prosesnya tentu saja
harus diubah sedemikian rupa sehingga ketakutan untuk tidak lulus dan gagal
bisa diminimalkan dan anak-anak dapat lebih percaya diri dengan kegagalan
mereka.
Dalam rumusan petisi itu, UN dianggap sebagai
jenis ujian kelulusan berisiko tinggi bagi siswa, guru, dan sekolah. Dinas pendidikan
daerah telah menyepelekan proses pendidikan dasar dan menengah menjadi
berfokus pada kelulusan dalam ujian nasional semata. Berbagai permasalahan
dan perilaku negatif yang timbul sebagai konsekuensi logis penempatan ujian
nasional, antara lain, penyempitan kurikulum, pengastaan mata pelajaran,
pengajaran berbasis soal ujian, pembelajaran yang bersifat hafalan, dan
perilaku jalan pintas.
Tentu saja tak sembarangan jika para pakar dan
praktisi pendidikan yang mendeklarasikan petisi tersebut memiliki anggapan
negatif tentang UN. Penyempitan kurikulum jelas sangat terlihat nyata jika
faktanya ialah kemampuan guru dalam membuat rencana pembelajaran. Dalam
bahasa Fenwick W English (2002), kemampuan guru untuk melihat secara
komprehensif dan luas keterpautan dokumen tertulis (written curriculum) dengan cara mengajarkannya (taught) dan mengujinya (tested) sangatlah rendah untuk tidak
mengatakannya terbiasa menyontek SKKD yang bak barang suci dan tidak bisa
diubah sebagai basisnya. Di situlah terlihat bentuk penyempitan kurikulum
terjadi.
Pengastaan mata ajar juga terjadi karena
secara kasatmata jumlah mata ajar yang dipelajari di sekolah dengan mata ajar
yang akan diujikan secara nasional dan memengaruhi kelulusan siswa sangat
mencolok. SMP dan SMA belajar kurang lebih 13-14 mata pelajaran, yang
diujikan secara nasional hanya 4-5. Belum lagi pengastaan secara rumpun, yang
terkadang baik guru maupun orangtua memberikan status berbeda antara
anak-anak yang cenderung ke ilmu sosial dan anakanak ilmu pengetahuan alam. Bahasa
kebijakan pendidikan kita jelas tidak memberikan pemahaman yang benar bahwa
semua mata ajar sesungguhnya berhubungan satu sama lain dan tugas gurulah
untuk mengintegrasikannya ke dalam skema belajar-mengajar secara baik.
Efek dari dua hal pertama yang menjadi
keprihatinan para pakar dan praktisi penggagas petisi itu saja telah
melunturkan hasrat dan suasana kesenangan dalam proses belajar mengajar,
serta menggantinya dengan suasana keterpaksaan dan ketakutan. Karena itu, ja
ngan heran jika implikasi negatif dari UN yang sudah terlihat ialah usaha
kecurangan masif dan sistematis dari satuan pendidikan, perilaku kecurangan
kolektif, kecanduan pada bimbingan tes dan latihan soal, serta berbagai
tindakan ritual keagamaan maupun klenik yang tidak proporsional dan
mengasingkan rasionalitas.
Alasan lainnya yang juga harus dikritisi ialah
UN secara sadar telah berlaku tidak adil karena memberlakukan kelulusan
standar di seluruh Indonesia yang bersifat menghukum pelaku pendidikan. Karena
itu, reposisi terhadap UN menjadi perlu dan penting agar UN kembali ke fungsi
seharusnya, yaitu sebagai salah satu uji diagnostik untuk pemetaan kualitas
layanan pendidikan dengan menaati kaidah-kaidah uji diagnostik yang tepat
(dilakukan dengan pengambilan sampel secara periodik 3-5 tahunan, mendalam,
dan mencandra spektrum kecakapan yang benar-benar penting untuk kehidupan di
abad ke-21), serta tidak dikaitkan dengan kelulusan peserta didik ataupun
penghakiman terhadap guru dan satuan pendidikan.
Selebihnya, biarkan sekolah dengan segala macam pernak-pernik
mereka menjadi penanggung jawab tunggal kelulusan siswa-siswa mereka, sambil
tak lupa terus memberi pengayaan perspektif manajemen sekolah yang efektif
dan dicintai masyarakat sekitarnya. Jika kita berkeyakinan bahwa UN sebagai
alat ukur kualitas pendidikan nasional, yang harus diperhatikan ialah unit
atau satuan sekolah atau lembaga pendidikan, bukan mengorbankan anak-anak
dengan hukuman lulus dan tidak lulus. Kesalahan dalam melihat sekolah sebagai
unit analisis kualitas pendidikan itulah yang terus berlangsung sehingga
negara seakan abai dan lalai dalam membangun kesadaran warga tentang
pentingnya peran serta masyarakat dalam memajukan pendidikan di lingkungan
masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar