Teradang
Persoalan Migas Hilir
Rusli Abdullah ; Peneliti dari
Institute for Economics Research and Social Studies (Interess) Semarang,
Mahasiswa Beasiswa Unggulan Kemendikbud pada Magister Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan (MIESP) Undip
|
SUARA
MERDEKA, 28 November 2012
PEMBUBARAN
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) tidak
lantas membuat persoalan pengelolaan energi gas dan minyak bumi di Indonesia
menjadi lebih baik. Terlebih persoalan kini tereskalasi ancaman kelangkaan
BBM di berbagai daerah. Dilema rencana penambahan kuota bahan bakar membawa
konsekuensi pada penambahan subsisi yang diprediksi menembus Rp 100 triliun.
Keputusan
terkait dengan pembubaran BP Migas sebenarnya baru ’’menyelesaikan’’
persoalan pengelolaan energi di sektor hulu. Padahal, kini kita bisa melihat
bahwa pengelolaan energi mencakup permasalahan di sektor hilir, yang ternyata
tidak kalah penting. BP Migas yang berperan dalam pengelolaan energi di
sektor hulu memiliki wewenang luas. Wewenang badan pelaksana tersebut antara
lain membina kerja sama, mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor
kontrak kerja sama (KKKS), membina seluruh aset KKKS yang menjadi milik
negara, dan berkoordinasi dengan pihak/ instansi terkait dalam pelaksanaan
kegiatan usaha hulu.
Menentang Konstitusi
Peran BP Migas
yang super power di sektor hulu tersebut dinilai menghambat pelaksanaan
amanat UUD 1945, terutama Pasal 33 yang menyebutkan bumi, air, dan kekayaan
lain yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Keberadaan BP Migas sebagai representasi sektor hulu pengelolaan
migas berperan dalam penguatan pola unbundling.
Pola itu memisahkan antara kegiatan hulu dan hilir pengelolaan. Pola ini
banyak ditengarai memecah-belah industri migas nasional.
Salah satu
’’hasil’’ dari pola itu adalah penjualan gas Tangguh ke China pada 2002,
dengan harga murah. Di sisi lain kebutuhan pasokan gas di dalam negeri cukup
besar. Akibat penjualan gas di lapangan ke China, Indonesia kekurangan
pasokan gas untuk industri dan pembangkit PLN.
Dampak
lanjutan di dalam negeri adalah daya saing industri menjadi rendah karena
harus memakai bahan bakar nongas yang harganya lebih mahal. Dampak bagi PLN
sudah terbukti. Pembangkit yang seharusnya dijalankan dengan gas terpaksa
dioperasikan dengan minyak, yang membuat ongkos produksi menjadi lebih mahal.
Hasilnya, efisiensi gagal dilakukan mengingat tak ada ketercukupan pasokan
gas untuk pembangkit PLN.
Seperti
diketahui, harga gas Tangguh sesuai perjanjian kontrak karya dengan China
berkisar pada 3,35 dolar AS per million metric British thermal units (MMBTU),
sedangkan harga jual gas dari kilang Bontang 15 dolar AS, sementara harga
domestik gas berkisar pada harga 5 dolar AS.
Sebenarnya
sektor hilir juga menjadi bagian penting dalam pengelolaan migas di
Indonesia. Sektor ini berujung pada kegiatan konsumsi yang menjadi penentu
berapa besaran minyak dan gas yang harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan.
Tak hanya itu, sektor hilir juga menjadi penentu seberapa besar anggaran
negara untuk menyubsidi minyak dan gas.
Pengelolaan
migas di sektor hilir yang saat ini belum optimal ditandai dengan makin
membengkaknya subsidi BBM dan listrik, menjadikan ruang gerak fiskal
pemerintah terbatas. Akibatnya, pemerintah tak bisa leluasa membelanjakan
anggaran untuk program yang lebih efektif, seperti infrastruktur.
Akibat
kebelumefektifan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi, anggaran
subsidi dalam APBN-P 2012 pun membengkak. Subsidi BBM dalam APBN-P 2012,
dialokasikan Rp 137,4 triliun, namun realisasi hingga akhir tahun
diperkirakan membengkak hingga Rp 216,8 triliun, atau masih kurang Rp 79,4
triliun. Hal ini karena ada penambahan kuota BBM bersubsidi yang diperkirakan
43,5 juta kiloliter hingga akhir tahun, atau perlu penambahan 3,5 juta
kiloliter dari kuota yang ditetapkan dalam APBN-P 2012. (SM,15/10/12).
Adapun untuk
subsidi listrik, mengalami kekurangan hingga akhir tahun ini. Semula dalam
APBN-P 2012 subsidi listrik dipatok sebesar Rp 64,97 triliun namun
diperkirakan melonjak hingga Rp 89,1 triliun, atau masih kurang Rp 24,1
triliun (SM,15/10/12). Dua Sektor Sektor hulu dan hilir pengelolaan migas di
Indonesia sama-sama memiliki perspektif jangka pendek dan panjang.
Pada sektor
hulu, keputusan pembubaran BP Migas merupakan perspektif jangka pendek yang
berdampak pada perspektif jangka panjang pengelolaan migas nasional. Dalam
jangka panjang, seiring berakhirnya kontrak karya beberapa kontraktor, peran
negara bisa lebih berdaulat dalam pengelolaan migas.
Pada sektor
hilir, besar subsidi BBM dalam APBN harus menjadi sesuatu yang
dipertimbangkan. Bukan dengan penghapusan total subsidi BBM melainkan dengan
menjadikan subsidi tersebut lebih tepat sasaran.
Dalam jangka
panjang, diversifikasi energi ke energi non-fuel harus benar-benar menjadi
prioritas kebijakan pemerintah. Jika tidak, pada masa mendatang Indonesia
menjadi negara yang memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap negara
lain mengingat cadangan minyak kita akan habis dalam 10 tahun lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar