Korupsi dan
Degradasi Moral
Moh Faiz Maulana ; Ketua
Umum PK PMII Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta
|
SUARA
KARYA, 27 November 2012
"Kemerosotan moral adalah penyebab hancurnya
bangsa-bangsa di dunia." (Edward Gibbon)
Bangsa
Indonesia tampaknya telah mengalami kemerosotan moral yang drastis. Ini
terbukti dengan korupsi yang meraja-lela, korupsi berkembang pesat, menjalar
ke mana-mana. Belum jelas, mengapa korupsi masih bisa bertahan menjadi budaya
bangsa kita. Kalau toh faktor ekonomi menjadi penyebab, tapi mengapa
pelakunya selalu elite penguasa, yang notabene sudah tercukupi ekonominya
bahkan melebihinya?
Dari
sudut pandang itulah muncul salah satu alasan penilaian bahwa kita sekarang
sedang mengalami kemerosotan moral. Kemrosotan moral (akhlaq) bangsa kita telah
menjadi penyebab utama maraknya korupsi. Sejarawan Edward Gibbon- seperti
pada kutipan di atas telah mengingatkan kepada kita, bahwa bangsa akan hancur
jika moral bangsanya sudah mengalami kemerosotan.
Mengacu
pada cerita kosmis dalam kitab suci, mengenai 'pohon khuldi' - yaitu pohon
kehidupan abadi. Keberhasilan setan menggoda Adam dan Hawa hingga keduanya
melanggar pesan Tuhan untuk tidak mendekati pohon terlarang, dan kemudian
memakannya, mengakibatkan Adam dan Hawa tidak bisa abadi dalam surga. Terlepas
dari benar atau tidaknya cerita tersebut, tapi sesungguhnya cerita itu telah
menggambarkan bahwa tidak ada yang abadi. Nafsu untuk hidup abadi inilah yang
kemudian mendorong orang untuk menumpuk kekayaannya dengan korupsi dan hal
yang seperti ini pasti akan berakhir dengan sebuah kenistaan.
Sejarah
umat manusia telah banyak menyaksikan pelanggaran yang serupa dengan itu, dan
akibatnya rezim-rezim, bangsa-bangsa runtuh, hancur tak tersisa. Sebab,
semuanya itu akan menjerumuskan masyarakat kepada kemerosotan moral.
Kemerosotan moral dengan gejala gaya hidup mewah berlebihan itulah penyebab
utama hancurnya negara. Maka, usaha menegakkan standar moral merupakan salah
satu urgensi bagi bangsa kita. Sekali lagi, lemahnya standar moral inilah
yang menyebabkan kita sekarang mengalami banyak sekali penyelewengan dan
kejahatan korupsi, lebih-lebih korupsi dalam bentuk conflict of interest.
Perjalanan
pemberantasan korupsi di Indonesia penuh dengan hambatan. Hal ini tampaknya
disebabkan oleh masih melekatnya budaya feodalisme yang dulu pernah
menggelayuti bangsa ini. Ciri utama feodalisme adalah penghambaan rakyat
terhadap penguasa, dengan hirarki tinggi-rendah. Diyakini banyak orang bahwa
merajalelanya korupsi merupakan lanjutan dari tradisi upeti masyarakat feodal
itu.
Jika
kita lihat saat ini, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan
wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberikan hadiah kepada pejabat atau
pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan.
Kebiasaan seperti itu tampak sama dengan sistem upeti yang dulu pernah
terjadi di bangsa ini. Dan, kebiasaan koruptif inilah yang lama-kelamaan akan
menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata.
Ditambah
dengan mengendornya moral dan dimensi kerohanian dalam pola hidup modern yang
materialistik, orientasi hidup kebendaan, dikaitkan dengan feodalisme,
menjadi tolak ukur tinggi rendahnya gengsi dan harga diri banyak orang, yang
mengakibatkan semua ukuran manusia di Indonesia adalah materi dan hanya
materi.
Dan,
jika ada masalah mengenai materialisme atau kebendaan tersebut, maka terdapat
indikasi yang aneh terhadap bangsa kita, mereka mulai kembali
berbondong-bondong meminta bantuan kepada Tuhan untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Di mana, masyarakat telah asyik dengan materinya, Tuhan tak pernah
ada dalam ingatannya, dan jika materi itu telah hilang, seketika itu juga
Tuhan dipaksa untuk hadir dalam ingatannya. Sekali lagi, ini adalah bukti
kemrosotan moral bangsa kita.
Oleh
sebab itu, sebagai bangsa yang berketuhanan, tampaknya tidak pantas jika
sampai saat ini bangsa kita terus melakukan berbagai bentuk dosa korupsi.
Kita tahu bahwa Corruption by the best
is the worst - dosa yang dilakukan oleh orang baik merupakan dosa yang
terburuk - maka pelanggaran prinsip keagamaan oleh seorang yang (mengaku)
bertaqwa akan mendatangkan malapetaka yang berlipat ganda.
Dalam
hal itu, kita melihat banyak orang di antara kita menunjukkan kesenjangan
antara yang diucapkan dan yang dikerjakan. Tidak saja kita secara formal
menganut suatu agama yang mengajarkan taqwa, bahkan banyak dari kita yang
merasa, atau mengaku, telah ber-taqwa kepada Tuhan, namun bertingkah laku seolah-olah
tidak ada Tuhan. Karena itu, para pengikut agama dituntut untuk mengamalkan
dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan dalam segala bentuk kegiatan baik amaliyah
maupun ubudiyah.
Keyakinan
akan hadirnya Tuhan bagi setiap pengikut agama, tampaknya juga mengalami
degradasi. Bagaiman tidak? Keyakinan itu muncul jika seorang tersebut mulai
dilanda masalah, dan luntur ketika kebahagiaan menghampiri. Tuhan seolah
dinilai hanya hadir dalam ruang-ruang religi dan tidak ikut campur dalam
urusan lain selain religi. Paradigma yang seperti inilah yang menjadi
kesalahan kita.
Bung
Hatta pun pernah mengatakan, harusnya semua kegiatan berlangsung di bawah
kuasa Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana sila pertama itu menyinari empat sila
yang lain dalam Pancasila. Dan, sesuai petunjuk agama bahwa asas hidup yang
benar, termasuk hidup kenegaraan, ialah taqwa dan ridla Allah.
Dengan begitu setiap
kegiatan memiliki dasar metafisis, sehingga menghasilkan komitmen total, yang
tumbuh dari kesadaran bahwa semua perbuatan dan tingkah laku manusia
bermakna, dan akan dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Dan, jika saja
kita sadar akan hal itu, dan bahwa Tuhan selalu hadir dalam semua ruang
lingkup kehidupan kita, maka saya yakin, tidak akan ada lagi korupsi di
bangsa ini. Wassalam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar