Terorisme,
Agama dan Deradikalisasi Baru
Tom Saptaatmaja ; Kolumnis, Pegiat
Lintas Agama,
Alumnus
STFT Widya Sasana Malang dan Seminari St Vincent de Paul
|
SINAR
HARAPAN, 24 November 2012
Dalam peringatan 10 tahun Bom Bali I, Menlu Marty Natalegawa
menyebut para teroris telah gagal. Tapi ucapan menteri yang mewakili Presiden
SBY itu jelas perlu dikritik, seiring dengan tertangkapnya jaringan teroris
baru oleh polisi.
Memang, selama 10 tahun terakhir ini
pemerintah sudah menangkap 700 tersangka teroris, 60 lebih ditembak mati,
termasuk para gembongnya. Namun harus diakui, persoalan terorisme
tidak mudah diurai, apalagi dituntaskan sampai ke akarnya. Malah ibaratnya,
ketika satu teroris berhasil dimatikan oleh polisi, 1000 yang lain muncul.
Indonesia seperti tidak pernah kehabisan stok teroris.Mereka terus ada di
sekitar kita.
Adanya jaringan baru menjadi bukti bahwa
teroris belum gagal, bahkan telah meraih kemenangan dari sisi yang lain,
yakni kemenangan wacana. Memang ada yang menyebut, hari-hari ini,
perang melawan para teroris sudah memasuki kawasan yang lebih substantif,
yakni tidak semata-mata konflik fisik. Melainkan sudah memasuki kawasan
konflik gagasan atau adu kekuatan untuk merebut hati dan pikiran.
Simak saja munculnya ratusan situs di
internet yang berisi ajakan untuk masuk surga lewat jalan menjadi pembom
bunuh diri. Di sana tertulis hal-hal seperti jika tidak mau menjalankan jalan
terorisme, mereka yang membaca situs-situs itu, akan dikutuk sepanjang
hayatnya. Teknik membuat bom-pun diajarkan dengan jelas.
Sayangnya, kita yang bukan teroris, kerap
hanya berapologi daripada mencoba memenangan wacana kontra terorisme. Sungguh
memprihatinkan bahwa pemikiran para teroris kini justru mendapat tempat di
masyarakat.
Contohnya, tindakan atau aksi bom bunuh
diri yang dulu kita nilai sebagai tindakan biadab dan terkutuk, kini diyakini
sebagai tindak kepahlawanan demi membela agama (mati syahid). Coba simak
pemakaman setiap teroris yang mati dan diliput media, selalu ada arak-arakan
seolah si teroris yang mati dalam serangan bom bunuh diri adalah orang benar.
Jelas ada yang salah jika tindakan
terorisme, yang kekejamannya atas para korban di luar batas kemanusiaan,
justru mendapat dukungan dan pembenaran dari sebagian khalayak kita. Ini jelas merupakan bentuk
keberhasilan dari para konseptor terorisme di negeri ini.
Para konseptor tersebut sampai sekarang
terus bergentayangan, tersembunyi di balik layar. Mereka mungkin sedang
tertawa terkekeh karena masyarakat kita bisa dibujuk, direkrut, dan sebagian
kecil justru akhirnya bangga menjadi teroris serta rela menggadaikan jiwanya
untuk ajaran terorisme. Para konseptor telah mampu merebut hati dan pikiran
sebagian warga kita.
Karena itu tidaklah cukup kita hanya
berapologi. Pasalnya para teroris jelas-jelas memakai dalil dan motif agama
dalam aksi terornya. Mereka, termasuk pelaku bom bunuh diri, sudah sejak lama
mengaitkan bom dengan agama. Mendiang Imam Samudra, pelaku peledakan bom Bali
I, selalu menunjuk agama sebagai motif utama aksi terornya.
Argumentasi yang disampaikan para teroris
sesudah Imam Samudra juga berisi argumentasi teologis, yang membela tindakan
pengeboman. Para teroris selalu menyalahkan bukan hanya agama lain, tapi juga
penganut mainstream dalam agamanya (Islam). Mereka dianggap telah sesat
karena berkolaborasi dengan Barat, terutama Amerika.
Bom bunuh diri adalah tindakan yang sah
menurut keyakinan para teroris, sebagaimana pernah dituturkan Imam Samudra.
Jadi, adalah kejahatan yang mengerikan
ketika para teroris sudah membajak agama dan menjadikan perjuangannya
seolah-olah selaras dan tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya.
Bahkan tindakan kekerasan lewat bom dianggap sebagai bentuk perjuangan yang
mulia.
Dalam buku karangan Mark Juergensmeyer “Teror in the Mind of God: The Global Rise
of Religious Violence” (University
of California Press, 2000), kita diajak lebih menyelami pemikiran para
pelaku bom bunuh diri.
Dalam buku itu dibeberkan konsep “cosmic war”, yakni peperangan antara
yang baik dan yang jahat. Para pelaku bom bunuh diri yakin bahwa apa yang
dilakukannya adalah berjuang membela agama melawan dominasi jahat (dalam hal
ini Amerika/Barat), sehingga cara perjuangan bom bunuh diri adalah sah.
Untuk menghadapi musuh dibutuhkan sikap
pengorbanan sebagai syuhada atau martir. Juergensmeyer menambahkan, "...suffering imparts the nobility of
martyrdom...the image of cosmic war forge failure – even death – into victory
" .
Jadi mereka yang mati demi agama dan Tuhan, dan membunuh musuh
agama dan musuh Tuhan, dianggap sebagai martir yang mati suci. Pintu surga
pun terbuka.
Apalagi, para teroris menyebut, Indonesia
sudah dimasukkan dalam wilayah perang dengan kekuatan kolonialis (Amerika
atau Barat) yang menindas umat Islam. Jadi dalam konteks perang, semua cara dihalalkan.
Bagi para teroris, perang itu sungguh-sungguh nyata.
Guna mengurai benang kusut terorisme, kita
jangan hanya bereaksi dengan menyatakan terorisme tidak terkait agama.
Mempertahankan penalaran dikotomi, bahwa agama selalu baik dan kekerasan
hanyalah penyimpangan oleh segelintir orang, jelas hanya sebuah excuse (alasan) atau hanya sekadar
membuat alibi.
Jangan lupa, agama juga dihayati oleh
manusia-manusia yang seringkali tidak suci dan lebih condong kepada
kejahatan.
Dengan mengakui adanya kaitan antara
terorisme dengan agama, setidaknya para agamawan bisa memberi pencerahan dan
melakukan moderasi terhadap umatnya. Penafsiran atau pemahaman keagamaan yang
ekstrem dan radikal hanya akan menjebak penganut agama saling berperang.
Deradikalisasi Baru
Daripada kita hanya sibuk membuat alibi,
bahwa agama tidak terkait sama sekali dengan terorisme, lebih baik terus
berupaya memenangkan wacana bahwa terorisme itu jahat dan biadab.
Namun kita jangan sampai memusuhi umat
beragama lain atas kian diterimanya terorisme yang memanfaatkan agama. Kita
juga jangan keliru dan terjebak dengan menyalahkan agama (apapun), yang sudah
ada sebelum adanya terorisme.
Mari kita mencari jawaban. Mengapa dalam
perang melawan terorisme, para teroris justru terkesan menang dalam perbutan
hati dan pikiran sehingga mendapat simpati dan dukungan dari sebagian publik?
Apakah pemerintah dan hukum kita tidak tegas dan banyak memberi peluang bagi
suburnya paham radikalisme? Mengapa pula Undang-Undang No 15 Tahun 2003
tentang Tindak Pidana Terorisme hanya menjadi macan kertas?
Program deradikalisasi terorisme harus dievaluasi
total. Perlu disusun konsep baru, sehingga kelak tidak ada lagi orang muda
kita yang bisa dibujuk atau dicuciotaknya untuk menjadi teroris. Program
deradikalisasi ini harus digalakkan sejak dini, kalau perlu sejak pendidikan
dasar.
Bukan hanya terfokus di Perguruan Tinggi,
sebagaimana berlangsung selama ini. Brosur atau sosialisasi program
deradikalisasi disediakan di ruang publik. Keluarga, sebagai institusi dasar
dan terkecil dalam sistem sosial, perlu dilibatkan dalam program ini.
Intinya, segala yang berpotensi menumbuhkan
terorisme secara sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya harus diantisipasi.
Karena itu dibutuhkan sinergi dari banyak pihak. Sebagaimana perang melawan
kejahatan yang tiada mengenal kata akhir, mungkin demikian juga dalam menghadapi
terorisme ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar