Teladan
Konsistensi Nalar Sokrates
Asep Salahudin ; Dekan IAILM
Suryalaya
|
MEDIA
INDONESIA, 28 November 2012
SEPERTI banyak ditulis
dalam traktat filsafat, Socrates ialah seorang filsuf yang pernah menjadi
terdakwa dari sebuah dakwaan yang absurd. Itu terjadi di 399 SM. Ia dituduh
telah meracuni kaum muda dengan pemikirannya yang liberal, antikemapanan, dan
selalu mempertanyakan ihwal yang dianggap kebenaran.
Kedua, Socrates dianggap
telah melecehkan agama karena menolak melakukan upacara dogmatis terhadap
dewa di Yunani, mempersoalkan iman yang telah dikukuhi masyarakat Athena
tentang dewa-dewa di Kahyangan sekaligus dituduh menodai kesakralan keyakinan
karena mempersoalkan teks agama yang telah baku.
Dua tuduhan itu tentu sangat serius karena
dianggap bisa meruntuhkan wibawa status quo baik yang berkaitan dengan wibawa
agama ataupun karisma negara. Apabila tidak dihentikan, nalar Socrates bisa
menjadi wabah yang meracuni kaum muda dan masyarakat Athena. Itu artinya pada
suatu saat akan menjadi energi dahsyat yang bisa merobohkan pranata sosial
dan sistem keyakinan yang tertutup.
Socrates bukanlah terdakwa yang cengeng. Dia
datang ke majelis pengadilan dengan wajah tengadah karena sejak awal merasa
tidak pernah bersalah.
Tidak ada pembela. Yang menjadi penuntutnya simpul dari tiga pilar kekuatan.
Pertama Anytus (politikus demokratik di kota itu). Kedua, Meletus (penyair
dengan kepandaian mengolah logika dan menangkap makna kata), dan ketiga Lykon
(pakar retorika yang kata-katanya bisa meyakinkan khalayak).
Yang terjadi berbeda dengan para terdakwa di
negara kita, apalagi terdakwa korupsi yang menjadikan pengadilan sebagai
panggung berkelit dan bersilat lidah, menjadi arena untuk mempertontonkan
kedunguannya dengan terusmenerus memproduksi dusta dan memperlihatkan
penyakit amnesia seperti dalam kasus Hambalang dan Wisma Atlet SEA Games di
Palembang.
Socrates tidak. Justru pengadilan dijadikan
medan untuk mempertaruhkan kebenaran dan membuktikan prinsip yang
diyakininya. Pengadilan pun dalam sekejap jadi ruang ceramah filosofis
mencerahkan sang terdakwa yang ditengarai sang Apollo sebagai manusia
terpandai dan hadiah para dewa untuk Athena.
Argumen Socrates benar-benar dijangkarkan
dalam dialektika nalar yang kukuh, logika yang runtut, dan akal budi yang
ajek. Tidak sekadar membantah, tetapi juga sekaligus menawarkan letak
kesalahan para penuntutnya. Bukan apologia agar dianggap benar, melainkan
spirit logika menunjukkan makna kebenaran yang autentik.
Pembelaan yang dilakukannya bukan sebagai
pembenaran, melainkan cermin untuk meneguhkan reputasi kebenaran dan
kejujuran yang harus dijunjung tinggi oleh siapa pun. Kebenaran dan kejujuran
sebagai kebajikan utama dari keseluruhan konstruksi moralitas kebudayaan
manusia. Mengingatkan saya pada sabda sang Nabi, “Kejujuran pintu kepada
kebenaran dan kebenaran awal dari tergelarnya keadaban publik.“ Dia berdebat
dengan tiga prosecutor dengan sangat meyakinkan sekaligus mematahkan seluruh
dakwaan yang sangat tidak berdasar.
Tentu kuasa berbicara dengan logikanya
sendiri. Sejak awal telah dipersiapkan strategi untuk membungkam terdakwa, rekayasa.
Ujung cerita dari pengadilan itu dapat diterka kemana muaranya.
Socrates sadar bahwa ia tengah berbicara
dengan `tembok' kekuasaan yang tuli, dan dengan massa yang telah terprovokasi.
Socrates semakin tersudutkan. Namun, dia tetap tidak mau berkompromi.
Negosiasi untuk mengatur perkara ditampik. Kesempatan untuk memengaruhi jaksa
dan hakim dengan cara disogok tidak diterimanya. Ditolak juga tawaran para
muridnya yang dapat membantunya kabur ke `luar negeri' dengan cara menyumpal
para penjaga.
Socrates lebih terpikat memilih bersama
kebenaran dan keyakinannya. Kematian bahkan dianggap sebagai ruang untuk
meneruskan renungan renungan filosofisnya. Katanya, “Orang mesti ikhlas menerima kematian. Di seberang kematian ada
kehidupan yang lebih indah dan ramah. Setelah mati pertanyaan-pertanyaan
filsafat itu akan aku lanjutkan walaupun tidak akan pernah menemukan jawaban.“
Kemudian dia sampaikan juga, “Tidak ada yang harus disesali. Sebuah
kematian yang saya hadapi demi menyambut fajar kehidupan yang lebih indah
bagi generasi masa depan, bagi kaum muda yang suatu saat akan larut atu saat
akan larut dalam nalar filosofis yang mencerahkan seperti yang kuajarkan!
Untuk dicatat bahwa pernah ada manusia yang tidak mau larut dalam keadaan;
menjadi limbo sejarah logika yang kacau, dari massa yang tidak memiliki
pendirian kecuali sekadar mengikuti sabda sang raja.“
Socrates sangat bertanggung jawab dengan
pilihannya, diambillah salah satu cawan dari tiga cawan yang diserahkannya.
Cawan yang dipilihnya tak lain racun. Diteguknya dengan tenang. Tidak
berkelit, apalagi mundur. Bukankah sedari awal dia sudah berujar bahwa hukum
harus dipatuhi walaupun hakim yang menjatuhkannya keliru.
Penuh Pesona
Dahsyat. Itulah kesan saya ketika membaca
fragmen-fragmen kehidupan Socrates. Itu pula yang kemudian menyebabkan filsuf
eksistensial Denmark Soren Keargaard di kemudian hari menahbiskan Socrates
sebagai contoh manusia yang telah sampai pada maqom etis. Sosok yang telah
berhasil menjadi `manusia' sempurna karena hidupnya berbanding lurus dengan
etika, prinsip dasarnya tidak pernah dibarterkan dengan kuasa, benda, dan
kepentingan diri.
Satu level di bawah manusia religius serupa Ibrahim yang
mencapai keutamaan dengan cara `lompatan iman'; seluruh miliknya
dipertaruhkan termasuk anak yang dicintainya atas nama Tuhan (kebenaran
dengan K besar). Yang paling rendah tentu, dalam tipologi Keargaard, ialah
manusia estetis yang hidupnya berporos untuk menghamba kan diri pada
kepentingan sesaat, keserakahan, dan kebendaan.
Socrates sesungguhnya tengah menyampaikan
pidato etik yang sangat relevan dalam konteks kebangsaan. Relevansinya justru
ketika hukum dan politik hari ini tidak meresapkan rasa keadilan yang merata.
Politik tidak membawa keberkahan bagi khalayak kecuali hanya kegaduhan yang
berujung pada uang, transaksi, dan atraksi berebut jabatan dan mencuri
anggaran.
Pengadilan menjadi panggung yang dengan sangat
sempurna memerankan dramaturgi kejujuran dan kebenaran yang terus mengalami
defisit. Tentu pada saat yang sama ialah surplus arogansi, dusta, dan
rekayasa.
Itulah yang menjadi alasan utama mengapa
koruptor tidak pernah jera. Korupsi terus menampakkan grafik menaik. Kasus
mafia anggaran, Wisma Atlet, mafia pajak, pengemplangan BUMN, titipan pejabat
di setiap kementerian sebagai sapi perah partai, dan lain sebagainya semakin
meneguhkan bahwa sesungguhnya kita tengah menerapkan sistem kleptokrasi. Korupsi
dilakukan secara berjemaah, sistemis, dan terorganisasi.
Di titik ini rakyat yang tempo hari
direpresentasikan Deddy Sugardi dengan geram membacok seorang mantan jaksa
korup di Kejaksaan Tinggi Cibinong Bogor, Sistoyo, karena melihat justru
pengadilan yang seharusnya menjadi pilar utama tegaknya keadilan malah
menjadi bagian dari lembaga korup.
Alhasil, Socrates menjadi sebuah terdakwa yang
sangat panas pada masanya. Kita menunggu terdakwa-terdakwa (dan calon
terdakwa) dengan tegap mengikuti langkah Socrates. `Meminum racun' untuk membuktikan kebenarannya. Bukan sekadar
pernyataan siap digantung di Monas, sumpah pocong, dan lain sebagainya yang
sekadar retorika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar