Perut Republik
Sukardi Rinakit ; Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
|
KOMPAS,
27 November 2012
Ketika menerima proposal renovasi masjid di
lingkungan tempat tinggal, saya tersenyum. Bukan apa-apa, nama saya langsung
menduduki posisi penting, yaitu sebagai ketua pelaksana dan koordinator
pengumpulan dana sekaligus. Jadi, mohon dimaklumi apabila suatu saat saya
mohon bantuan.
Di ranah religiositas, posisi tidak
diperebutkan. Orang tahu diri, termasuk kalau harus menjadi imam sembahyang.
Sebaliknya, di ranah politik, posisi eksekutif dan legislatif diperebutkan.
Para politisi, terutama petualang politik, berani melakukan apa saja. Main
politik uang, pencitraan, intimidasi, bahkan fitnah. Itulah sebagian dari isi
perut demokrasi kita.
Dalam perspektif politik, ilustrasi yang
pas untuk melihat praksis politik Indonesia sekarang adalah realitas sumber
daya energi kita. Tidak mengherankan jika Moeslim Abdurrahman (almarhum)
pernah berkata kepada penulis bahwa siapa yang bisa menguasai perut bumi,
sejatinya dia menguasai Republik.
Pemilik Perut Bumi
Kang Moeslim benar. Mencermati figur-figur
yang berani menyatakan siap maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2014,
tampak bagi saya, mereka adalah para pemilik perut bumi. Mereka memiliki,
setidaknya berkaitan dengan, usaha minyak dan gas bumi. Aburizal Bakrie,
Hatta Rajasa, dan Prabowo Subianto, untuk menyebut beberapa nama, lekat
dengan dunia itu.
Munculnya nama-nama penguasa perut bumi
tersebut mempertegas persepsi publik bahwa kontestasi politik itu mahal. Ini
terkait dengan citra yang berkembang selama ini bahwa bisnis minyak
bergelimang uang. Hanya tokoh yang mampu menghidupi partai, mengongkosi
kampanye, dan membeli partai lain untuk berkoalisi yang kuat bertahan.
Akibatnya, seperti kondisi obyektif
cadangan energi fosil kita yang tinggal 4 miliar barrel minyak bumi, 104
triliun kaki kubik (TCF) gas, dan 21 miliar ton batubara, stok kepemimpinan nasional dari
sumber primer, yaitu partai politik, juga sangat terbatas. Dengan istilah
lain, sejatinya kita mengalami kemiskinan berlapis, yaitu miskin energi dan pemimpin dengan karakter
negarawan.
Sehubungan dengan hal itu, omong besar kita
tentang demokrasi yang telah terkonsolidasi dan posisi Indonesia sebagai
negara demokratis nomor tiga terbesar di dunia tak ubahnya dengan ilusi kita
tentang kekayaan energi fosil yang masih kita miliki. Kenyataannya, praktik
demokrasi di Tanah Air sampai sekarang masih kuat tarikan proseduralnya ketimbang
substansinya. Jika situasi demokrasi mengambang ini berlanjut, alih-alih
menjadi tenteram, masyarakat menjadi terpinggirkan dan hidup tidak tenang.
Sementara itu, keraguan pemerintah menyetop
subsidi bahan bakar minyak tak ubahnya seperti ketakutan elite parpol
membunuh praktik oligarki dan paternalistik dalam dirinya. Akibatnya, secara
prediktif bisa dikalkulasi, pembangunan nasional akan terus merosot dan
kemiskinan meluas. Ini mirip dengan kondisi parpol yang gagal menjadi
penyalur aspirasi rakyat akibat keengganan elitenya melakukan kaderisasi dan
perekrutan kepemimpinan.
Karakter jumud parpol itulah—apalagi kalau
ditambah dengan kecenderungannya yang mudah lupa terhadap perjuangan
ideologisnya—yang menjadi penyebab utama miskinnya pilihan figur untuk
menjadi kandidat presiden pada pemilu nanti. Dalam konteks ini, masyarakat
dipaksa untuk menengok, bahkan menerima, siapa pun tokoh yang disodorkan
parpol, termasuk kalau itu adalah sandal jepit.
Padahal, secara obyektif, ibarat
melimpahnya kandungan energi alternatif di perut Ibu Pertiwi, khususnya
geotermal yang potensinya mencapai 29.000 megawatt (setara dengan 1,1 juta
barrel ekuivalen minyak per hari atau barrels
of oil equivalent per day), bangsa ini sebenarnya sangat kaya dengan tokoh
alternatif. Mereka mempunyai integritas, kapabilitas, dan elektabilitas.
Seandainya variabel terakhir tersebut (elektabilitas) belum mencukupi, adalah
tugas bersama untuk mengibarkan dan memperkenalkan tokoh ”baru” itu kepada
publik.
Apabila ia tidak mempunyai dana, adalah
tugas masyarakat sipil untuk menggalang solidaritas dalam bentuk kerja
lapangan, pengumpulan koin, bahkan lelang domba! Semua ini untuk mengurangi
dominasi para pemilik perut bumi dalam kontestasi politik 2014. Secara
hipotesis, apabila tekanan publik tinggi dan tokoh tersebut berkarakter kuat,
berintegritas, dan mempunyai kapabilitas, kuat dugaan akan ada parpol yang
mau mengusung.
Isi Perut
Praktik oligarki dan paternalistik di tubuh
parpol, besarnya dana yang diperlukan dalam kontestasi politik, serta
absennya kesadaran para politisi bahwa berpolitik adalah dalam rangka
bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi, membuat perilaku korup
politisi susah dibendung.
Kenyataan itu menjadi lebih buruk karena
rumah civil society yang seharusnya menjadi tempat persemaian kader
transformatif kini sudah kosong. Tidak ada lagi darah segar yang bisa
dipersiapkan untuk memanggul perbuatan cinta kasih (al-ma’un). Sementara itu, rumah kebangsaan dengan segala
kemuliaannya acap digoyang kekerasan atas nama suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Itulah isi perut Republik. Begitu kotor tak
ubahnya perut bumi. Tak heran jika Kang Moeslim percaya bahwa siapa yang bisa
menguasai perut bumi, sejatinya dia menguasai Republik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar