Pahlawan Masa
Depan
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS,
28 November 2012
Tahun 1945, ketika kaisar Jepang Hirohito
harus menerima fakta kalah dalam perang melawan Sekutu dan negerinya hancur,
ia bertanya kepada bawahannya, ”Berapa
banyak guru masih kita punya?”
Para bawahannya, terutama petinggi militer,
keberatan dengan pertanyaan itu, apalagi sudah lebih dari dua juta tentara
Jepang gugur membela kehormatan nama Kaisar.
Kaisar menjelaskan, bukannya ia menganggap
murah nyawa prajurit atau merendahkan profesi lain, tetapi masa depan Jepang
tidak lagi ditentukan oleh kekuatan militer. Jepang akan bangkit dari
puing-puing kehancuran dan kembali menjadi bangsa bermartabat dengan jalan
pendidikan.
Realisasi visi besar kebangkitan Jepang
ternyata jauh lebih cepat daripada perkiraan. Jepang mengalami keajaiban
ekonomi dan menjadi salah satu kekuatan teknologi dunia menyaingi Barat.
Salah satu pemicu kerusuhan sosial di Indonesia yang dikenal sebagai
Peristiwa Malari 1974 adalah protes atas investasi Jepang yang mendominasi
perekonomian di Tanah Air, penjajahan modern dalam bentuk ekonomi.
Obyektifikasi Guru
Kita sebenarnya mengakui kepahlawanan guru
dalam ”Hymne Guru” yang menjadi lagu wajib nasional sejak 1980. Guru adalah
patriot ”pahlawan bangsa tanpa tanda
jasa”. Sayangnya, atribut ”tanpa
tanda jasa” hanya membenarkan politik pemerintah untuk mengabaikan
kesejahteraan guru. Pahlawan tanpa tanda jasa pun tak dimakamkan di taman
makam pahlawan yang tersebar di banyak kota Indonesia.
Meski dipuja sebagai pahlawan, kepahlawanan
guru nyatanya tak dihargai. Perannya diakui besar untuk masa depan bangsa,
tetapi semua baktinya cukup terukir di dalam hati siswa. Realitas guru tanpa
masa depan itu membuat orang muda tak tertarik menjadi guru. Institut
keguruan negeri pun kekurangan mahasiswa dan akhirnya mengubah nama menjadi
universitas negeri.
Peraturan pemerintah diubah untuk
memberikan peluang bagi lulusan sekolah non-perguruan menjadi guru. Profesi
guru pun disamakan dengan profesi lain yang bersifat teknis. Padahal, guru
adalah profesi yang menyentuh intelek dan jiwa siswa. Menjadi guru adalah
sebuah panggilan hidup, yang membuat Oemar Bakri bertahan di jalan pengabdian
dengan hidup sederhana.
Perlakuan sebagai kaum terpinggirkan
membuat guru negeri kerap menjadi obyek politisasi saat pemilihan umum. Suara
mereka diarahkan kepada satu kandidat tertentu. Seusai pilkada, biasa terjadi
mutasi dan pegawai negeri yang tak termasuk gerbong penguasa digurukan. Murid
pun dididik oleh orang yang tak memiliki ilmu pendidikan dan panggilan
sebagai guru.
Untuk mengakhiri jalan panjang derita guru,
lirik ”Hymne Guru” sedikit diubah
atas persetujuan penggubahnya menjadi ”pahlawan
pembangun insan cendikia”. Surat edaran Pengurus Besar Persatuan Guru
Republik Indonesia pada 27 November 2007 mengukuhkan perubahan paradigma
kepahlawanan guru sebagai ”tonggak
pembangun dari sebuah bangsa”.
Balada guru di Indonesia masih ditambah lagi
dengan penyunatan gaji yang tidak seberapa, baik resmi oleh birokrasi ataupun
pungutan liar oleh oknum birokrasi. Birokrasi haus pungutan menjadikan guru
sebagai obyek apakah itu atas nama sertifikasi portofolio, uji kompetensi
guru, pendidikan dan pelatihan profesi guru, atau penelitian tindakan kelas.
Persoalan kompetensi guru menjadi urusan
teknis belaka. Pendidikan pun berarti proyek. Proyek berarti uang. Uang
berarti peluang untuk korupsi. Begitu logika korupsi di Indonesia. Tidak
adanya tindakan tegas dari instansi terkait untuk praktik pungli yang
membebani guru membuktikan bahwa korupsi sungguh terstruktur sampai ke atas.
Kebangkitan Bangsa
Heroisme guru tak bisa dipisahkan dari
kebanggaan tertingginya untuk berbagi ilmu dan memimpikan siswa kelak jadi
orang berguna. Kehadiran guru di kelas seharusnya menyentuh aspek kognitif
dan kesadaran siswa. Siswa disadarkan akan masa depannya dan harkatnya
sebagai insan bermartabat. Kesadaran eksistensial itu bertentangan dengan
tawuran, plagiarisme, dan konsumtivisme. Mereka suka dan sibuk belajar,
memiliki cita-cita untuk berkarya.
Dalam rangka mempersiapkan generasi emas
100 tahun kemerdekaan, Indonesia memiliki periode bonus demografi dengan usia
produktif. Jumlah penduduk Indonesia di antara usia anak dan orang tua adalah
tertinggi selama periode tahun 2010-2035.
Kesempatan emas seperti itu belum tentu
akan berulang untuk Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik 2011,
jumlah penduduk usia muda Indonesia tahun 2010 lebih banyak daripada usia
tua.
Sayangnya, pada saat yang sama posisi
indeks pembangunan manusia Indonesia tahun 2011 melorot ke posisi 124 dari
179 negara, dari posisi ke-108 (tahun 2010 dan 2008) dan ke-111 (2009).
Sebagian persoalan melorotnya kualitas sumber daya manusia Indonesia tentu tidak
lepas dari kerja birokrasi pemerintah yang justru memadamkan kepahlawanan
guru. Darurat kepahlawanan guru itulah yang memunculkan Gerakan Indonesia
Mengajar.
Masih cukup banyak kaum muda terdidik
Indonesia yang untuk suatu masa yang singkat mau mengabdi di tempat
terpencil.
Gerakan yang tak terkontaminasi birokrasi
pemerintah itu seharusnya menyadarkan presiden dan parlemen bahwa dunia
pendidikan adalah kunci masa depan Indonesia. Namun, gerakan idealis seperti
itu bukan solusi jangka panjang kemerosotan indeks pembangunan manusia
Indonesia.
Hari Pahlawan hendaknya bukan hanya
berorientasi ke masa lalu dengan menghargai jasa para pahlawan yang telah
gugur. Lebih penting lagi, Indonesia yang untuknya para pahlawan telah gugur
adalah sebuah cita-cita yang masih harus diwujudkan.
Untuk itu, kembalikan martabat profesi guru
yang Hari Nasional Guru juga jatuh pada bulan November. Kembalikan peran
strategis guru ke dalam politik bangsa dari Sabang sampai Merauke.
Membahagiakan guru adalah prasyarat bangsa
yang bahagia. Jika guru berkualitas tidak diproduksi secara massal, Indonesia
akan menyia-nyiakan kesempatan emas bonus demografi itu.
Sebagaimana Jepang sudah lama bangkit,
Indonesia masih belum terlambat untuk menjadikan guru sebagai kunci
kebangkitan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar