REDD+
Indonesia Jalan di Tempat
Silvia Werner ; Alumni
Free University of Berlin, Kini menetap di Hanover, Jerman
|
JARINGNEWS.COM,
23 November 2012
“Saat ini ada lebih dari 40 proyek REDD+ di
Indonesia. Menurut hasil penelitian Madeira dari CIFOR pada 2010, kebanyakan
proyek berkembang lamban.”
Inisiatif
konkret REDD+ dalam kerangka United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC)
merupakan skema global yang cerdas dimana inisiatif ini mengajak
negara-negara industri untuk memberikan insentif positif kepada negara-negara
berkembang yang menghindari pemotongan dan degradasi hutan. Dengan demikian,
emisi gas-gas rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan
akan dikurangi. Jumlah CO2 yang dicegah akan dikompensasikan secara moneter.
REDD artinya Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), sedangkan tanda plus (+) menunjukkan penambahan konservasi pasokan karbon hutan, peningkatan cadangan karbon hutan dan pengelolaan hutan lestari. Hal-hal tersebut di atas ternyata dapat dikompensasikan secara moneter bagi negara-negara yang sedang melindungi hutannya secara aktif. Di konferensi iklim ke-11 dalam rangka UNFCCC di Montreal pada 2005, REDD untuk pertama kalinya menjadi agenda setelah diusulkan oleh Papua New Guinea dan Costa Rica. Waktu konferensi iklim ke-13 di Bali pada 2007, cakupan REDD diperluas menjadi REDD+ dalam rangka "Bali Road Map" yang merupakan hasil puncak iklim di Indonesia. Konferensi iklim ke-13 menyerukan agar dikembangkan konsep dan insentif untuk tindakan yang terkait dengan REDD+. Versi skema global tersebut adalah kemajuan dari mekanisme REDD yang asli, ditambahkan dengan tiga pendekatan baru untuk menghindari penggundulan dan degradasi hutan. Penambahan mencakup konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan serta pengelolaan hutan lestari. Peningkatan cadangan karbon dapat dicapaikan lewat penanaman baru atau penanaman hutan kembali, misalnya di kawasan hutan yang telah dikonversikan sebelumnya. Proyek REDD+ sering dianggap sebagai langkah cerdas dengan biaya yang terjangkau untuk mengurangi sebab-sebab deforestasi dan perubahan iklim sambil menyediakan manfaat dari perkembangan berkelanjutan. Pada Oktober 2009 sudah ada 79 proyek REDD dan 100 proyek demonstrasi REDD serta aktivitas REDD+ di tingkat lokal yang kebanyakan dilakukan di Indonesia dan Brasil. Proyek GCS-REDD+ yang dilaksanakan oleh Center for International Forest Research (CIFOR) di Bogor sendiri memonitor perubahan sosial-ekonomi, pemerintahan dan biofisik berhubungan dengan implementasi 21 proyek REDD+ dalam enam negara. Sebagai hasil penelitian tersebut akan diketahui tindakan REDD+ yang berhasil meningkatkan efektivitas, efisiensi, keadilan dan keuntungan. Strategi REDD+ Secara Nasional Indonesia berpeluang untuk menjadi pendukung pengurangan perubahan iklim global yang kuat. Sebab, konversi lahan hutan adalah kontributor terbesar pada emisi karbon secara nasional. Karena konversi lahan hutan itu, secara global Indonesia menjadi produsen CO2 terbesar juga. REDD+ berpeluang mendatangkan penghasilan yang lumayan untuk Indonesia. Kalau emisi dikurangi sebanyak 5 % per tahun, kira-kira US$ 765 juta dapat diraih. Reduksi emisi karbon sebanyak 30% dapat menghasilkan US$ 4.5 miliar per tahun. Masuknya jumlah uang yang sebesar itu dapat digunakan dengain baik kalau ada pengelolaan institusional dan pemerintahan yang efektif. Indonesia menjadi salah satu negara pertama pengikut mekanisme REDD dan ikut serta dalam konsultasi pemangku kepentingan yang difasilitasikan oleh Bank Dunia sebelum konferensi iklim ke-13 di Bali pada Desember 2007 lalu. Pada 2009 Indonesia Forest Carbon Alliance (IFCA) disusulkan oleh World Bank Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dan Indonesia diundang untuk menyampaikan rencana kesiapannya secara nasional. Pada waktu yang sama, dalam rangka inisiatif multilateral di bawah program REDD PBB (dimulai pada 2011 di Indonesia) diluncurkan aktivitas lokal di propinsi Sulawesi Tengah. Kedua inisiatif berada di bawah naungan Kementrian Kehutanan dan dibiayai oleh pemerintah Norwegia. Pada 2007 ditandatangani memorandum of understanding (MOU) senilai US$1 miliar dengan pemerintah Norwegia yang didukung juga oleh PBB. Pada 2009 lalu Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan komiten Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dari pertanian, konversi lahan dan kehutanan sebanyak 26 % s/d tahun 2020. Surat pengajuan (Letter of Intent, LoI) dari 2010 mengekspos kebutuhan untuk strategi REDD+ nasional. Ada dua versi strategi tersebut: Pertama, dibina oleh BAPPENAS dan keduaoleh Menhut. Waktu SatGas REDD Nasional dibentuk oleh presiden RI, kedua versi tersebut dikonsolidasikan dan akan segera diluncurkan sebagai strategi nasional.
Langkah
konkret dalam rangka strategi nasional meliputi: Pertama, didirikan Satgas REDD+ dengas
tugas monitoring dan melaporkan aktivitas yang siap untuk verifikasi (MRV)
dan mengelola kompensasi moneter untuk aktivitas yang telah menghasilkan
carbon credits. Kedua, pengembangan
serta implementasi dari kebijakan dan tindakan (policies and measures, PAMs) untuk
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, termasuk penyesuaian
undang-undang dan aturan-aturan yang ada, berhubungan dengan tata ruang,
moratorium hutan serta data dan informasi tentang penggunaan lahan atau
penutup tanah. Ketiga, implementasi
pola pengelolaan bentang alam secara lestari dengan pendekatan partisipatif
yang mempromosikan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan, serta membagi
keuntungan secara adil.
Saat ini pun ada lebih dari 40 proyek REDD+ di Indonesia. Struktur dan progres dari masing-masing proyek pun berbeda-beda. Menurut hasil penelitian Madeira pada 2010, kebanyakan proyek berkembang lamban. Penjualan Voluntary Carbon Units (VCU) belum berhasil, walaupun organisasi yang mengajukannya telah memenuhi persyaratan validasi formal dari standar-standar internasional. Hasil penelitian Fogarty pada 2011 yang diterbitkan dalam Reuters Special Report menunjukkan bahwa pengaturan dari pemerintah daerah dan pusat yang lemah terus menghambat kemajuan proyek REDD+ yang sudah maju walaupun telah memenuhi standar validasi internasional tertinggi. REDD+ di Kawasan Bekas Proyek "Sejuta Hektar Padi" Pada 2009 pernah dikembangkan Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Australian. Bentuk konkret IAFCP adalah Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) dengan aktivitas REDD di daerah rawa terdegradasi yaitu bekas kawasan proyek sawah sejuta hektar. Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) tersebut terdiri dari tiga komponen. Pertama, mengurangi deforestasi dan degradasi hutan rawa lewat penutupan saluran drainase agar permukaan air tanah dinaikkan, penanaman pohon di daerah terdegradasi dan menyediakan sumber penghasilan bagi masyarakat setempat. Kedua, diperoleh pengetahuan dari aktivitas percobaan REDD yang akan dibagi secara nasional dan internasional. Ketiga, dikembangkan program untuk pengukuran dan monitoring emisi gas rumah kaca yang terkait dengan Sistem Perhitungan Karbon Nasional (National Carbon Accounting System Indonesia, NCASI). Pada Juni 2011 para mantir adat dari Kabupaten Kapuas menuntut agar proyek tersebut dihentikan. Alasannya, masyarakat tidak dikonsultasikan sebelumnya dan merasa akses pada lahan adatnya terhalangi. Penduduk dari 14 desa di daerah tersebut lebih menginginkan agar aktivitas swadayanya didukung, hak adat atas lahan diterima dan masalah pengikutan pada suatu proyek didiskusikan sebelumnya. Masyarakat lokal juga takut akan pengaruh destruktif dana besar dari REDD+ itu pada kerukunan. Kalimatan Tengah dipilih menjadi provinsi percobaan REDD+ bersama dengan delapan propinsi yang lain yaitu Aceh, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua Barat dan Papua. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar