KOMPAS, 27 November 2012
|
Setiap tahun, pemerintah pusat menaikkan
dana yang ditransfer ke daerah seiring dengan meningkatnya kebutuhan daerah.
Namun, apakah dana yang ditransfer ke daerah itu telah digunakan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat?
Dalam komposisi belanja Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN), daerah menerima alokasi anggaran yang dikenal
sebagai ”anggaran transfer ke daerah”. Anggaran transfer ke daerah tersebut
merupakan wujud desentralisasi fiskal. Dari data anggaran transfer ke daerah
tahun 2006-2013 Kementerian Keuangan terlihat bahwa dana yang disalurkan ke
daerah terus meningkat hingga lebih dua kali lipat. Tahun 2006 transfer ke
daerah sebesar Rp 226,179 triliun. Pada APBN 2013, transfer ke daerah
dianggarkan Rp 528,63 triliun. Porsi transfer ke daerah itu hampir sepertiga
(31,4 persen) dari keseluruhan belanja pemerintah APBN 2013 sebesar Rp 1.683
triliun.
Anggaran transfer ke daerah itu terdiri
dari dua bagian, yaitu (a) dana perimbangan serta (b) dana otonomi khusus dan
penyesuaian. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil pajak dan sumber
daya alam, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Dana
otonomi khusus disalurkan hanya di tiga provinsi, yaitu Aceh, Papua, dan
Papua Barat.
Dana bagi hasil dihitung berdasarkan
persentase tertentu untuk memenuhi kebutuhan daerah. Dana alokasi umum
ditujukan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah guna mendanai kebutuhan
daerah. Dana alokasi khusus ditujukan mendanai kegiatan khusus di daerah,
tetapi sesuai prioritas nasional. Dana penyesuaian adalah dana yang
dialokasikan untuk membantu daerah dalam menjalankan kebijakan tertentu.
Sekretaris Tim Revisi Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dari Kementerian Keuangan, Putut Hari Satyaka, mengemukakan,
Kementerian Keuangan mengikuti konsep ”uang mengikuti fungsi” (money follows
function) untuk menyalurkan uang ke daerah. Maksudnya adalah anggaran
dialokasikan berdasarkan fungsi atau urusan pemerintahan masing-masing
tingkatan, seperti diatur dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Sebanyak 31 urusan pemerintahan diserahkan
kepada daerah otonom. Anggaran yang transfer ke daerah itu sebetulnya tidak
terlalu memadai bagi daerah untuk melaksanakan urusan sebanyak itu. Namun,
urusan yang diserahkan kepada daerah tersebut terlalu normatif, tidak detail,
sehingga lebih sering menyebabkan munculnya wilayah abu-abu.
Pengaturan urusan pada Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota juga dinilai belum terlalu
detail. Karena sangat normatif, siapa yang berwenang mengelola dana menjadi
abu-abu. Akibatnya, terjadi tumpang tindih pendanaan.
Besarnya belanja pegawai merupakan isu
utama masalah keuangan daerah. Putut memaparkan data, dari keseluruhan
belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), rata-rata 46 persen
dipakai untuk belanja pegawai. Rata-rata belanjanya lebih besar di tingkat
kabupaten dan kota, yaitu 56 persen. Bahkan, ada daerah yang belanja
pegawainya mencapai 75 persen dari keseluruhan belanja APBD, yaitu Kabupaten
Klaten dan Karanganyar di Jawa Tengah.
Sekretaris Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan mengajukan data lain. Pada tahun
2011 sebanyak 298 dari 491 daerah (60,7 persen) belanja pegawainya di atas 50
persen dari keseluruhan belanja APBD. Pada tahun 2012 jumlah itu meningkat,
ada 302 dari 491 daerah (61,5 persen) yang belanja pegawainya di atas 50
persen dari keseluruhan belanja APBD. Bahkan, ada 11 daerah yang belanja
pegawainya 70 persen dari keseluruhan belanja. ”(Ke-11) daerah itu terancam
bangkrut,” kata Yuna.
Kondisi ini tidak menyehatkan APBD.
Ibaratnya, uang tidak lagi mengikuti fungsi, uang sekarang mengikuti orang.
Pemerintah pusat kehilangan kontrol atas struktur belanja yang tidak sehat di
daerah tersebut.
Belanja modal kecil
Besarnya belanja pegawai ini tentu akan
mengurangi belanja barang dan belanja modal yang penting untuk pembangunan di
daerah. Litbang Kompas pernah menghitung, komposisi belanja modal pada kurun
waktu 2007-2011 makin lama makin kecil. Belanja modal di atas 50 persen dari
total belanja APBD dilaksanakan 40 dari 420 daerah (9,5 persen). Jumlah itu
terus berkurang, hingga tinggal 7 dari 491 daerah (1,4 persen) yang belanja
modalnya di atas 50 persen dari total belanja APBD tahun 2011.
Sebaliknya, belanja modal di bawah 25
persen dari total belanja APBD justru meningkat. Pada 2007 terdapat 129 dari
420 daerah (30,7 persen) yang belanja modalnya kurang dari 25 persen dari
total belanja APBD. Jumlah itu terus bertambah, hingga mencapai 318 dari 491
daerah (64,8 persen) pada tahun 2011.
Tingginya belanja pegawai dan kecilnya
belanja modal itu akan mengurangi makna dari tujuan otonomi daerah yang ingin
meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat daerah. ”Bagaimana mau
meningkatkan kesejahteraan daerah kalau hanya 30 persen belanja untuk
pelayanan publik,” ujar Yuna.
Masalah lain yang menyebabkan dana ke daerah
kurang efektif untuk pembangunan adalah pemekaran daerah. Proses pemekaran
daerah terlalu mudah melalui pembentukan undang-undang. Pemekaran daerah
tersebut menyebabkan kompleksitas anggaran di daerah menyangkut kapan dana
desentralisasi itu disalurkan ke daerah pemekaran.
Salah satu penyebab yang mendorong
pemekaran daerah itu adalah dalam DAU
ada formula gaji pegawai. Alokasi dasar penghitungan dana alokasi umum
dihitung berdasarkan data jumlah pegawai negeri sipil daerah dan besaran gaji pegawai tersebut. Formula gaji
pegawai dalam DAU tersebut ditafsirkan seolah-olah pemerintah pusat menjamin
gaji pegawai. Padahal, kata Putut, tidak demikian. Alokasi dasar dalam DAK
tidak dimaksudkan untuk menutup seluruh kebutuhan belanja gaji pegawai,
terlebih untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi.
Belum lagi masalah kualitas sumber daya
manusia yang mengelola keuangan daerah. Putut memberikan contoh kualitas
pejabat pembuat komitmen anggaran di daerah. Jika ada 30 pejabat mengikuti
tes, hanya satu orang yang lulus. Bahkan, sering tidak ada yang lulus atau
sengaja tidak meluluskan diri. Pejabat pembuat komitmen takut dengan
konsekuensi hukum jika salah mengelola anggaran daerah.
Dari berbagai masalah desentralisasi fiskal
itu, sejumlah usulan diajukan untuk memperbaikinya. Ketua Panitia Khusus RUU
Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dari
Fraksi Partai Amanat Nasional Totok Daryanto mengajukan usul agar dalam
revisi diatur kewenangan yang memungkinkan daerah meningkatkan pendapatan
asli daerah (PAD).
Namun, Wakil Ketua Asosiasi Pemerintah Kota
Seluruh Indonesia Airin Rachmi Diany mengingatkan, pengalaman selama ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi PAD, nilai DAU cenderung diturunkan.
Akibatnya, daerah cenderung tidak ingin meningkatkan PAD. Padahal, DAU sangat
diperlukan daerah untuk pembangunan.
Airin Rachmi Diany, yang juga Wali Kota
Tangerang Selatan, mengusulkan dinaikkannya dana insentif daerah bagi daerah
yang berprestasi dalam hasil audit, penyelesaian APBD tepat waktu,
penyelesaian laporan keuangan, atau peningkatan indeks pembangunan manusia.
Dana insentif daerah itu dapat menjadi pendorong daerah untuk meningkatkan
kinerja.
Guna menekan belanja pegawai, Yuna sepakat
dengan upaya membatasi belanja pegawai maksimal 50 persen dari keseluruhan
belanja APBD. Namun, perlu tetap didasarkan pada karakteristik daerah
masing-masing, jumlah penduduk, dan luas wilayah. Ukuran-ukuran juga
diperjelas, yaitu pencapaian standar pelayanan minimum.
Kementerian Keuangan mengusulkan revisi UU
No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dilakukan terlebih dahulu di
DPR, untuk memperjelas urusan pemerintah daerah. Dengan demikian, revisi UU
No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dapat disinkronisasi dengan UU No 32/2004.
Dari berbagai diskusi tersebut, sedikitnya
ada lima hal yang perlu diperbaiki dalam revisi UU No 33/2004. Pertama,
mengendalikan pemekaran daerah dengan pembentukan daerah persiapan selama dua
tahun. Kedua, perlunya sertifikasi jabatan tertentu dalam pengelolaan
keuangan daerah.
Ketiga, mengendalikan belanja pegawai di
daerah. Keempat, perlunya mekanisme pengawasan yang tegas berikut mekanisme
penghargaan dan sanksi terhadap pengelolaan keuangan daerah. Kelima,
reformulasi sumber pendanaan APBD. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar