Perbaikan
Kebijakan Migas
Idries De Vries ; Analis Ekonomi dan Geopolitik
|
REPUBLIKA,
24 November 2012
Organisasi-organisasi Islam yang ada di belakang pembatalan UU
Tahun 2001 tentang Migas oleh Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini yang
menyebabkan dibubarkannya BP Migas, memuji keputusan itu sebagai kemenangan
besar bagi rakyat Indonesia. Perkembangan sumber daya migas Indonesia dimulai
sejak zaman kolonialisme. Perusahaan minyak internasional yang terkenal (IOC)
Shell sesungguhnya didirikan di Indonesia pada 1890 dengan memproduksi minyak
dari sebuah sumur pengeboran di Sumatra yang bernama Telaga Tunggal No 1.
Tujuan pemerintahan kolonial saat itu adalah untuk memastikan
bahwa industri ini memberikan keuntungan bagi pihak penjajah daripada kepada
bangsa Indonesia. Akibatnya, menjelang Perang Dunia II industri migas
Indonesia benar-benar dikontrol oleh perusahaan-perusahaan asing.
Setelah kemerdekaan, Soekarno ragu-ragu untuk membuat perubahan
yang berarti mengenai hal ini. Dia membiarkan SHell, Stanvac, dan Caltex
bebas beroperasi. Hanya menjelang akhir tahun 1965, Soekarno meningkatkan
tekanan pada "Tiga Besar". Dia memerintahkan Menteri Chaerul Saleh
untuk membuat ketiga perusahaan itu agar mau menerima pengaturan
pengambilalihan oleh pemerintah Indonesia.
Kemudian Dubes AS Green mencatat dalam memoarnya bahwa negaranya
sangat prihatin dengan hal ini dan bahwa dia telah diperintahkan untuk
bekerja sama dengan koneksinya dalam militer Indonesia untuk menghalangi
rencana ini. Dia pun menghubungi Jenderal Soeharto dan Menteri Adam
Malik sementara asistennya, Frank Galbraith, bekerja sama dengan Jenderal
Nasution. Akibatnya, pada 15 Desember 1965 Menteri Saleh mengeluarkan rencana
keputusan untuk menjadikan minyak dan gas Indonesia di bawah kontrol negara. Jenderal
Soeharto langsung terbang ke pertemuan itu dengan helikopter untuk
memperjelas kepada semua orang yang berkumpul bahwa militer tidak akan membiarkan
pemerintah bergerak melawan perusahaan minyak asing.
Setelah Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dari
Soekarno, perlakuan khusus atas perusahaan-perusahaan minyak asing berlanjut.
Bahkan, menjadi lebih buruk. Pada tahun 1965, perusahaan minyak milik negara,
Pertamina, membeli semua aset Shell di Indonesia dan terus mengembangkan
bisnis ini.
Premis dasar bahwa perusahaan-perusahaan asing adalah mitra pilihan bagi
pemerintah Indonesia dalam hal pengembangan migas sejak itu mulai berlaku.
Hal ini jelas terlihat pada 2005, ExxonMobil dan Pertamina memperdebatkan
siapa yang harus menjadi mitra operasi bagi ladang minyak di Cepu. Pertamina
ingin mengoperasikan ladang minyak itu dengan mengatakan mereka dapat
melakukannya.
Namun, Exxon juga ingin mengoperasikannya. Presiden SBY lalu campur
tangan dan menunjuk Exxon seba gai mitra operasinya. Sejarah ini menunjukkan
bahwa pembubaran BP Migas bisa menjadi kemenangan bagi masyarakat Indonesia,
namun hal ini tidak selalu terjadi. Perlu tindakan lebih lanjut.
Dari perspektif Islam, dapat diberikan sejumlah rekomendasi
terhadap bagaimanakah seharusnya kebijakan pemerintah itu. Pertama, kebijakan
ini harus didasarkan pada hadis Nabi Muhammad (SAW) yang mengatakan, "Muslim
berserikat dalam tiga hal, air, padang gembala, dan api." (HR Abu Daud).
Arti dari pernyataan ini adalah bahwa sumber daya energi (api) adalah milik
penduduk suatu negeri. Pengembangan sumber daya mungkin terjadi jika
dilakukan untuk kepentingan rakyat.
Kedua, karena menurut Islam pemerintah bukanlah pemilik sumber
daya migas itu melainkan milik rakyat, maka pengembangan sumber daya migas
tidak dapat dilakukan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang memberikan
sebagian keuntungan produksi bagi perusahaan yang beroperasi sebagai imbalan
atas usahanya.
Sebaliknya, pemerintah harus memberikan kontrak kerja seharga
satu dolar per barel dengan skema yang sama seperti Irak setelah kejatuhan
Saddam. Hal ini mungkin tampak seperti perubahan yang dibuat-buat,
namun sebenarnya tidak. Dengan kesepakatan bagi hasil, perusahaan yang
beroperasi menjadi pemilik dari setidaknya sebagian minyak. Pemerintah hanya
memiliki kontrol terbatas atas aliran minyak ini dan perusahaan yang
beroperasi dapat memutuskan ke mana mereka men jualnya, kepada siapa dan
berapa harganya.
Ketiga, karena ini dilakukan demi kepentingan negara untuk mengurangi
ketergantungan pada negara-negara atau perusahaan-perusahaan asing, Pertamina
harus dijadikan sebagai operator bagi semua ladang minyak dan gas Indonesia. Dengan
cara ini, miliaran dolar yang kini mengalir ke perusahaan-perusahaan asing
dapat diberikan bagi negara.
Keempat, pemerintah harus memimpin pengembangan 24 cekungan
migas (dari total 60 cekungan) yang belum dijamah. Kebijakan yang diuraikan
di atas akan memberikan negara sarana untuk membiayai kegiatan-kegiatan ini
dan akan mengaktifkan Pertamina untuk secara efektif dan efisien mengelola
hal itu. Pada akhirnya, hal ini akan menyebabkan berkembangnya pem- bangunan
potensi migas Indonesia secara penuh di bawah kontrol negara, bukan bagi
kepentingan siapa pun selain masyarakat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar