KOMPAS, 27 November 2012
|
|||
Dibandingkan dengan undang-undang lain atau
dengan undang-undang yang digantikannya, yakni UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
memang perkasa.
Undang-undang ini dalam usia ”baru” delapan
tahun sudah lebih dari 18 kali diuji materi (judicial review) di Mahkamah
Konstitusi. Perkasa sebab sampai saat ini tak pernah sekali pun MK
membatalkan secara keseluruhan UU Pemerintahan Daerah ini. UU No 32/2004
adalah salah satu dari sedikit UU yang sudah benar-benar teruji dalam
perjalanannya mewarnai dinamika politik dan pemerintahan di negeri ini.
Dari sisi usia, UU No 32/2004 lebih panjang
dibandingkan dengan UU yang digantikannya. UU No 22/1999, sebagai UU pertama
yang mengatur pemerintahan daerah setelah era Reformasi, hanya berumur lima
tahun. Namun, UU yang mengatur pemerintahan di daerah sebelumnya, yang dibuat
dalam pemerintahan Orde Baru, berusia lebih panjang. UU No 5/1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah baru diganti setelah rezim Orde Baru
tumbang dengan UU No 22/1999. UU yang mengatur pemerintahan daerah sebelumnya
pun tak berusia panjang, kurang dari 25 tahun.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintahan di
daerah diatur dengan UU No 1/1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite
Nasional Daerah, yang setelah tiga tahun berlaku diganti dengan UU No 22/1948
tentang Pemerintahan Daerah. UU inilah yang pertama kali mengenalkan istilah
pemerintahan daerah. UU No 22/1948 berumur sembilan tahun, dan digantikan
dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Setelah delapan tahun berlaku, UU No 1/1957
direvisi dengan UU No 18/1965. Namun, sembilan tahun kemudian pemerintah
memecah urusan pemerintahan di daerah dan pemerintahan di desa, dengan
melahirkan UU No 5/1974 yang menggantikan UU No 18/1965 serta UU No 5/1979
tentang Pemerintahan Desa. Urusan di daerah dan di desa itu akhirnya
disatukan kembali dalam UU No 22/1999.
Berbeda dengan UU yang mengatur
pemerintahan di daerah sebelumnya, UU No 32/2004 sudah mengenalkan cara
memilih kepala daerah, yaitu gubernur, bupati, dan wali kota, beserta
wakilnya secara langsung. UU sebelumnya memberikan kewenangan kepada DPRD
untuk menentukan kepala daerah.
Selain itu, UU Pemerintahan Daerah yang
sampai tahun 2012 masih berlaku juga menetapkan adanya pembatasan masa
jabatan bagi seorang kepala daerah. Bahkan, kepala daerah yang sudah dua
periode memimpin tidak bisa mencalonkan diri untuk jabatan yang sama di
daerah lain. Syarat seorang calon kepala daerah pun diperketat. Kondisi
inilah yang membuat UU No 32/2004 acap kali diujimaterikan di MK.
Bahkan, Pasal 58 Huruf (o), misalnya, yang
menyatakan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik
Indonesia yang memenuhi syarat serta belum pernah menjabat sebagai kepala
daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam
jabatan yang sama, sampai 2012 sudah empat kali diujimaterikan di MK.
Hasilnya, permohonan uji materi terhadap pasal itu selalu ditolak, tetapi
tidak berarti keinginan seseorang untuk mencoba uji materi terhadap ketentuan
itu bisa dihentikan begitu saja.
UU No 32/2004 pun dianggap masih memiliki
celah yang sangat besar terkait kepemimpinan di daerah itu sehingga,
misalnya, seorang kepala daerah yang sudah dua periode memimpin, karena tak
bisa mencalonkan diri lagi, bersedia ”turun kelas” menjadi calon wakil kepala
daerah atau menjadi ”penasihat” untuk istri atau anaknya yang mencalonkan
diri. Sampai hari ini, belum ada suami yang mencalonkan diri menggantikan
istrinya sebagai kepala daerah.
Bukan Sekadar Revisi
Sebenarnya sejak ada uji materi terhadap UU
No 32/2004 di MK, dan melahirkan beberapa putusan yang harus diakomodasi,
pemerintah dan DPR menyadari UU Pemerintahan Daerah itu tak bisa lagi
dipertahankan. Harus ada revisi terhadap UU Pemerintahan Daerah, bahkan
secara menyeluruh, agar sesuai dinamika dalam masyarakat. Tidak hanya revisi
parsial, sesuai putusan MK, seperti tak mengharuskan lagi seorang calon
kepala daerah melepaskan atau berhenti dari jabatannya, tetapi cukup hanya
nonaktif (Pasal 59 Ayat (5)).
Aturan itu pernah membuat Basuki Tjahaja
Purnama kehilangan jabatan Bupati Belitung Timur saat mencalonkan diri
sebagai gubernur Bangka Belitung tahun 2007. Putusan MK yang mengubah aturan
itu membuat sejumlah kepala daerah, termasuk, misalnya, Alex Noerdin, tak
perlu kehilangan jabatan sebagai Gubernur Sumatera Selatan saat mencalonkan
diri sebagai gubernur DKI Jakarta tahun 2012.
Pemerintah sejak 2010 membentuk tim untuk
merevisi UU No 32/2004. Namun, rancangan UU untuk memperbarui UU Pemerintahan
Daerah ini baru diterima DPR dan dibahas pada April 2012. DPR pun membentuk
panitia khusus untuk membahas rancangan yang diajukan pemerintah dan membuat
kajian sendiri untuk melengkapi usulan pemerintah. Apalagi, dalam RUU
Pemerintahan Daerah yang diajukan, pemerintah tak hanya sekadar merevisi UU
No 32/2004, tetapi juga menggantinya.
Banyak pengaturan dalam UU itu yang tak
lagi dipertahankan dalam RUU, terutama dari usulan pemerintah. Misalnya,
bupati, wali kota, atau gubernur cukup dicalonkan sendiri, tanpa wakil,
karena begitulah yang sesuai Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan
kepala daerah, ialah gubernur, bupati, dan wali kota.
Selain itu, untuk pemilihan gubernur,
pemerintah pun mengusulkan tak perlu lagi dilakukan secara langsung, tetapi
kembali melalui DPR. Usulan itu belum diterima DPR karena juga menyangkut
perubahan terhadap UUD 1945 meskipun pemerintah beralasan selama ini gubernur
lebih banyak berperan sebagai wakil pemerintah pusat.
Masih terkait pilkada, pemerintah
mengusulkan tidak cuma pembatasan, tetapi juga pengaturan terkait fenomena
politik kekeluargaan atau lahirnya dinasti politik di daerah. Keluarga
seorang kepala daerah yang sudah dua periode menjabat diusulkan tak bisa lagi
mencalonkan diri setidak-tidaknya untuk satu periode setelah masa jabatan
kepala daerah itu berakhir.
RUU Pemerintahan Daerah juga mengupayakan
optimalisasi prinsip uang mengikuti urusan (money follows function) karena
selama ini ada 31 urusan yang sudah diserahkan pemerintah pusat kepada
pemerintahan daerah, terutama di tingkat kabupaten dan kota. Pengelolaan
keuangan di daerah ini memang masih menimbulkan persoalan, termasuk
melahirkan korupsi di daerah, meskipun ada UU No 33/2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang merupakan
perubahan atas UU No 25/1999.
Namun, yang kian menguatkan, bahwa RUU Pemerintahan
Daerah adalah pengganti UU No 32/2004, bukan sekadar mengubah atau
memperbaiki, adalah diajukannya tiga RUU secara bersamaan. Selain RUU
Pemerintahan Daerah, pemerintah juga mengajukan RUU tentang Pemilu Kepala
Daerah (Pilkada) dan RUU tentang Desa. Kondisi ini seperti kembali pada era
pemerintahan Orde Baru yang memisahkan pemerintahan di daerah dan
pemerintahan di desa.
RUU Pemerintahan Daerah hanya mengatur hal-hal umum
terkait pilkada dan pemerintahan di desa, yang selanjutnya dirinci dalam UU
tersendiri.
Walaupun demikian, bukan berarti jika RUU
Pemerintahan Daerah akhirnya diundangkan, tak akan ada lagi uji materi
terhadap UU itu di MK. Juga UU Pilkada dan UU Desa akan mulus, tak ada uji
materi, sampai tiba saatnya direvisi atau diganti. Selama hasrat berkuasa
masih menguasai manusia, UU Pemerintahan Daerah yang diharapkan diundangkan
tahun depan akan terus diuji di MK untuk melihat kesesuaiannya dengan
dinamika masyarakat, dan masih adakah celah yang bisa dipersoalkan oleh
berbagai pihak. ●
|
|||
Bila Anda tertarik untuk membaca artikel melalui postingan artikel setiap hari di Grup WA, silakan bergabung dengan kami di Grup WA LOD melalui link berikut ini : https://chat.whatsapp.com/GTWUZic9Kbr5fwvfYN74mH
Rabu, 28 November 2012
Akhir Kisah UU Nomor 32/2004
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar